Selasa, 03 September 2019

Bandung Lautan Api Sebuah Sejarah Pilu yang Tidak Akan Terlupakan

Para Pejuang dan Rakyat meninggalkan Bandung Utara.
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 belumlah menjadi akhir dari perjuangan untuk menempuh kemerdekaan yang hakiki, tetapi itu barulah tonggak untuk masuk ke era perjuangan berikutnya untuk menghadapi Belanda dan Sekutu yang ingin masuk dan berkuasa lagi.

Salah satu perjuangan yang sangat heorik terjadi di Bandung, Jawa Barat. Sebuah riwayat sejarah yang terkenal dengan istilah Bandung Lautan Api. Sampai sekarang istilah itu masih akrab terdengar dan memberi inspirasi atas sebuah sejarah perjuangan bangsa ke generasi berikutnya.

Sejarah Bandung lautan api dimulai pada tanggal 12 Oktober 1945 dengan kedatangan  pasukan Inggris yang dipimpin Brigade MacDonald. Kedatangan pasukan Inggris ini diikuti oleh NICA yang memiliki niat untuk kembali menjajah Indonesia yang baru merdeka.

Kedatangan pasukan sekutu ini menimbulkan dilema bagi para pemimpin RI di Jakarta, disatu sisi harus menunjukkan sikap hormat sebagai bagian dari diplomasi tetapi juga harus menunjukkan sikap tegas sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.  Tetapi sikap bersahabat itu tidak ditunjukan oleh pihak Sekutu. Pada saat kedatangannya mereka sudah mengultimatum rakyat untuk segera menyerahkan senjata. Mereka juga tidak mengakui Pemerintah RI dan juga TKR.

Ultimatum Sekutu ini ditanggapi dingin oleh rakyat Jawa Barat, mereka meyakini bahwa kemerdekaan sudah diraih dan harus dipertahankan.  Berbagai konflik banyak terjadi setelah kaum interniran Belanda yang semula ditahan Jepang dibebaskan. Mereka dengan sengaja mengacaukan keadaan dan melakukan berbagai insiden terhadap pihak rakyat Indonesia. Bentrokan tidak dapat dihindari antara TKR dan Sekutu yang dibantu NICA.

Berbagai intrik dan insiden dari para interniran ini direaksi oleh rakyat Bandung Pengumuman dari Pemerintah Jawa Barat untuk mengosongkan Bandung bagian utara seperti yang ditulis di buku  A.H.Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, sebagai berikut:

“….Berhubung dengan keadaan genting di Bandung yang disebabkan oleh adanya pengumuman dari fihak Inggris tentang pengosongan daerah kota Bandung sebelah utara jalan kereta api, maka pemerintah pusat telah mengadakan pembicaraan langsung dengan pimpinan tentara Inggris di Pulau Jawa.

Mengingat sukarnya keadaan penduduk kota Bandung sebelah utara kalau bagain tiu mesti dikosongkan maka hal itulah yang mendapat perhatian istimewa dalam pembicaraan itu.

Hasil pembicaraan itu ialah bahwa penduduk  kampung-kampung di bagian utara itu tidak usah dipindahkan. Sebaliknya keamanan di dalam di dalam kota bagian kota itu mesti terjamin dan usaha di dalam hal itu ialah supaya orang-orang yang mengganggu keamanan itu dikeluarkan dari bagian kota itu.

Untuk mencapai hal itu maka dengan segera akan diadakan pembicaraan antara Brigadir Mac Donald dan Gubernur Jawa Barat.

Perlu diterangkan disini, bahwa bukan saja bangsa Indonesia yang membawa senjata akan ditangkap, segala bangsa yang membawa senjata juga akan ditangkap.

Kami mengeluarkan penghargaan seupaya rakyat Bandung tetap tenang dan menjaga supaya keamanan jangan terganggu.

Dari pemerintah akan diambil seperlunya supaya kedudukan Negara kita jangan diancam oleh orang-orang yang terang berusaha melemahkan kedudukan kita…”

Kabiner Sahrir sendiri sebulan kemudian akan memerintahkan pengosongan oleh TKR dan lascar-laskar RI. Pemerintah pusat yakin bahwa jalan diplomasi yang paling tepat untuk  mencapai pengakuan kemerdekaan. Untuk itu harus dihindari kerusuhan-kerusuhan dan insiden-insiden. Untuk itu haruslah ditunjukkan pemerintah sipil kita berjalan dengan baik.

Mengosongkan Bandung Utara
Sesungguhnya tidaklah  terjadi apa yang telah muluk-muluk disampaikan oleh para pemimpin Sekutu kepada para Pemimpin bangsa kita, karena faktanya mereka membawa AMACAB, RAPWI,  DAN KNIL  yang merupakan organ-organ untuk menciptakan kembali penjajahan Belanda di Indonesia.

Di sisi TKI dan laskah-laskar RI yang sedang siap-siapnya berjuang merasa bahwa de facto itu tak mungkin dapat dicapai tanpa tekanan dan aksi dari TKR. Untuk menyampaikan perasaan itu para komandan TKR berkonsolidasi dan mengirimkan utusan ke Jakarta. Utusan tersebut adalah Kepala Staf Komandemen Jawa Barat sendiri dan juga bersama dengan Panglima berangkat ke Jakarta pada bulan Oktober dan November 1945. Serta ikut juga dalam berbagai perundingan Menteri Penerangan dan Menteri Pertahanan dengan pihak Sekutu.

Pembakaran gedung dan bagunan
Posisi Sekutu di Bandung sangat terancam sehingga merasa perlu untuk mendatangkan lagi 1 batalyon Maharatta (tentara Gurka India Sekutu) untuk membantu Devisi Mabutji (Devisi tentara Jepang). Devisi Mabutji ini adalah tentara Jepang yang dimanfaatkan oleh Sekutu untuk ikut memukul perjuangan TKR dan Laskah-laskar di Bandung. Kekuatan dan keahlian dari Devisi Mabutji ini sangat tinggi dan peralatan yang sudah cukup canggih.  Untungnya Sekutu sendiri sedang kesulitan tentara yang dapat digunakan di Bandung karena Divisi India ke-7 sedang sagnat diperlukan di Malaya.

Pada tanggal 1 Desember 1945 Kota Bandung dibombardir oleh Sekutu. Ledakan-ledakan besar tersebut sampai meninggalkan lubang selebar 12 meter.  Pertempuran di Bandung meluas sampai wilayah-wilayah lain di Jawa Barat.  Dari Cibadak, Sukabumi, Cianjur, Ciujung dan Padalarang.

Aksi pesawat-pesawat terbang Masquioto dan Thunderbold juga dimanfaat untuk terus menggempur Kota Bandung secara membabibuta. Cibadak yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian TKI juga diserang habis dengan pesawat tempur. Gedung, bangunan, rumah-rumah dan jalan-jalan rusak berat.

Bogor juga dianggap menjadi tempat bagi TKR dan lascar rakyat sehingga dikepung penuh oleh tentara India yang banyak  menimbulkan korban dipihak kita. Istana Bogor diduduki oleh Sekutu dan wilayah sekitarnya di hancurkan.

Tanggal 24 November 1945  TKR dan lascar-laskar rakyat melancarkan serangan gerilya terhadap markas sekutu di Bandung bagian utara. Tiga hari pascapenyerangan, MacDonald mengultimatum Gubernur Jawa Barat segera mengosongkan wilayah Bandung bagian utara, termasuk rakyat dan tentara. Pimpinan di Jakarta memerintahkan TKR dan  laskah rakyat mundur dan menghindari pertempuran agar memberikan suasana yang lebih kondusif  untuk melakukan diplomasi.

Pada tanggal 27 November 1945  Pimpinan Tinggi Sekutu, MacDonald menyebarkan ultimatum kembali agar  Gubernur Jawa Barat dan rakyat beserta TKR secepatnya meninggalkan wilayah Bandung bagian utara.Ultimatum tersebut membuat Bandung terpecah menjadi dua bagian wilayah kekuasaan, diaman Bandung bagian utara dikuasai oleh Sekutu dan Bandung bagian selatan dikuaasi oleh pihak Indonesia.
Pembagian wilayah ini justru memicu pertempuran yang lebih sering dan lebih frontal. Hampir selama satu bulan penuh di bulan Desember 1945 tidak ada henti-hentinya suara letusan senjata di berbagai medan pertempuran di Bandung. 

Pertempuran yang paling seru berada diwilayah Sukajadi,  Cihaurgeulis, Pasar Kaliki. dan Viaduct. Sekutu menargetkan untuk mendapatkan jaringan kereta api tetapi karena luasnya dan panjangnya jaringan rel yang banyak berada pada wilayah yang dikuasai oleh pejuang mereka selalu gagal untuk menguasainya.

Alih-alih ingin menguaasi jaringan kereta api tetapi justru pasukan semakin berkurang dan amnunisi semakin terbatas sehingga Sekutu terjepit dimana-mana. Diplomasi Sekutu dijalankan mereka mengontak kepada Perdana Menteri (PM) Sultan Syahrir untuk paling lambat tanggal pada 24 Maret 1946  jam 24.00 WIB pasukan Indonesia sudah harus meninggalkan Bandung bagian utara sejauh 10 sampai 11 km dari pusat Kota Bandung.

Pimpinan TRI menolak ultimatum tersebut sedangkan PM Syahrir mendesak Jenderal Mayor Nasution  yang waktu itu menjabat sebagai Panglima Divisi III/Siliwangi  memenuhi ultimatum tersebut.  PM Shahrir menilal perimbangan kekuatan TRI belum sepadan.  Keputusan sangat a lot antara dua pihak yang berbeda pandangan itu.

Pada pertemuan selanjutnya antara Pimpinan Pemerintah dan  AH Nasution, para Komandan TRI, para ketua Laskar pejuang bersepakat utnuk membumihangutkan Bandung Selatan sebelum kota itu dimasuki oleh tentara Sekutu.

Bumi hangus kota akan dilakukan pada tanggal 24 Maret mulai pukul 21.00 WIB.  Salah satu gedung yang pertama dibakar dengan diledakkan adalah gedung Bank Rakyat. Pembakaran dilanjutkan ke Banceuy, selanjutnya Cicadas, Braga dan Tegallega.  Asrama-asrama anggota TRI juga ikut dibakar. Pembakaran juga terus berlanjut ke Ciroyom, Tegallega Utara, Cikudapateuh, Cicadas, sepanjang Jalan Otto Iskandardinata, Jalan Asia Afrika, Cibadak, Kopo, dan Babakan Ciamis.

Para aparat pemerintah, pejuang dan rakyat Bandung akhirnya meninggalkan kota itu dengan hati sedih. Ibu-ibu, anak-anak, kakek nenek semua ikut dalam rombongan yang perpindahannya sebagian besar dilakukan dengan berjalan kaki.  Inilah kisah perjuangan yang kemudian lebih dikenal sebagai Bandung Lautan Api yang sejarahnya tidak akan terlupakan.

Sumber dan referensi :
- A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia", 1994.
- A.H. Nasution, "Catatan-catatan Sekitar Politik Militer Indonesia", CV. Pembimbing, 1955.
- Kahin, George, Mac, Turnan, "Nasionalism and Revolution in Indonesia", Cornell University Press, Ithaca, New York, 1963.
- wikipedia.org
Read more ...

Kamis, 29 Agustus 2019

Pertempuran Medan Area yang Frontal dan Sengit

Para Pemuda Pejuang di Medan
Masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan Sekutu yang disusupi NICA adalah saat paling berdarah-darah  dari episode perjuangan RI mencapai Indonesia Merdeka yang sudah diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakil Rakyat Indonesia.  Hal ini pun terjadi di Medan, Sumatra Utara.

Sesuai dengan perkembangan di Pulau Jawa dan instruksi dari pusat Komando Milter TKR di Yogyakarta maka pada tanggal 13 September 1945 terjadi konsolidasi  tentara-tenara dari BKR dan lascar-laskar dibentuk ulang menjadi Tentara Keamanan Rakya di Medan.

Pihak sekutu yang diwakili oleh Komando Asia Tenggara (South East Asia Command atau SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mounbatten. Pasukan Sekutu yang bertugas di Indonesia adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.

Pada tanggal 9 Oktober 1945 tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly. Tentara NICA yang datang dari Brigade 4 dari Divisi India ke-26.

Awalnya mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara yang berdalih akan melucuti tentara Jepang di Indonesia dan membebaskan tawanan perang yang dipenjara di tangsi-tangsi Jepang. Sebagian besar tawanan itu adalah tentara Belanda dan interniran dari keluarga serdadu Belanda.

Para perwira tinggi Sekutu dan NICA dipersilahkan untuk menginap di Hotel de Boer, Hotel Astoria,  Grand Hotel dan hotel lainnya. Sementara serdadu lainnya mendirikan tenda-tenda dan barak di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat lain.

Bahkan tim Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulau Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi dengan dibantu oleh Gubernur M. Hassan dan pejabat pemerintah di Sumatra Utara . Hal yang sangat mengejutkan adalah semua tawanan militer itu tidaklah dipulangkan tetapi langsung dibentuk dalam satuan-satuan tempur KNIL.

Semua kondisi kondusif itu berubah total setelah sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia sambil menghina.

Aksi seorang NICA direspon keras oleh rakyat Medan. Mereka sangat marah sehingga  para pemuda melakukan penyerangan dan pengrusakan terhadap hotel dan orang-orang NICA yang menginap disana. Akibat kejadian ini menimbulkan korban dipihak NICA 96 orang luka-luka. Insiden ini terus berlanjut dan menyebar ke tempat-tempat lain seperti  di  Berastagi  dan juga di Pematang Siantar.

Respon dari rakyat Medan itu direspon keras oleh Pihak Sekutu.  Pada tanggal 1 Desember 1945, Jenderal T. E. D. Kelly  mengeluarkan perintah untuk memberi ultimatum ke pihak Republik dengan memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan, tetapi para pemuda menghiraukan seruan tentara Sekutu tersebut.

Konflik Sekutu dan Pihak Republik tak bisa dihindari lagi. Pertempuran terus berlanjut gaung sentiment di hotel itu menjadi tidak sederhana, karena seluruh Kota Medan menjadi area perang yang frontal.  Pasukan Inggris dan NICA melakukan patrol masuk keluar kampung di Kota Medan untuk melakukan pembersihan terhadap para gerilyawan pejuang.

Tidak hanya sampai disitu Pihak Inggris dan NICA juga melakukan penyerangan terhadap pusat-pusat konsolidasi TKR di Medan.  Serangan ini banyak memakan korban di pihak TKR dan juga pihak Inggri – NICA. Salah satu serangan Sekutu pada 10 Desember 1945 dimana pasukan Inggris dan NICA berusaha  membumihanguskan markas Tenatara Keamanan Rakyat (TKR) di Trepes. Untungnya usaha sekutu itu gagal karena kekuatan rakyat dari berbagai daerah turut membantu TKR.

Para pemuda yang  turut berjuang menculik salah satu perwira Sekutu dan truk militer Inggris di rebut. Jenderal T. E. D Kelly mengancam pihak yang menculik perwira akan langsung ditembak mati.

Pada bulan April 1946 pasukan Inggris – NICA berhasil menguasai Kota Medan,  Para Pejuang Republik terpaksa mundur dan berpindah-pindah tempat dan kemudian ke Siantar dan perang gerilya dijalankan.  Pada tanggal 10 Agustus 1946 pasukan Inggris dan NICA Belanda menuju Tebing Tinggi yang menimbulkan pertempuran sengit dan korban di kedua kubu.

Untuk mengurangi korban yang  terus berjatuhan TKR mendur ke Gubernur, Makras Divisi TKR, Walikota RI akhirnya dipindahkan ke Pematang Siantar.  Pemindahan ini beserta Gubernur  Sumatra Utara, Walikota Medan dan para pejabat Divisi TKR. Pertempuran besar dan frontal mereda, tetapi perang kecil disana-sini masih terus terjadi.

Itu semua bukan berarti pihak Republik kalah karena konsolidasi terus dilakukan. Pada 10 Agustus 1946, di Tebingtinggi, dikumpulkan berbagai komandan-komandan dari beberapa sector yang terlibat dalam perjuangan di Medan Area. Konsolidasi ini memperkuat basis TKR dengan membentuk satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando itu dibagi atas 4 sektor. Masing-masing sector dibagi lagi atas 4 sub sector. Satu sector dibekali kekuatan satu batalyon.

Tempat pusat komando diputuskan di Sudi Mengerti (Trepes), dari sini perjuangan di Medan khususnya dan Sumatra Utara umumnya diteruskan.

Sumber dan Referensi :
-  Dr. A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia",Penerbit Angkasa Bandung, 1995.
-  Dr. A.H. Nasution, "Catatan-catatan Sekitar Politik Militer Indonesia", CV. Pembimbing, 1955.
- Adam Malik, "Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945". Wijaya Jakarta, 1962.
-  wikipedia.org
Read more ...

Rabu, 28 Agustus 2019

Puputan Margarana I Gusti Ngurah Rai Melawan Belanda

I Gusti Ngurah Rai.
Inilah kisah heroik yang bener-bener meneteskan air mata, bagaiamana seorang komandan tempur terdepan berada bersama anak buahnya dan tidak gentar untuk menghadapi Belanda sampai titik darah penghabisan.

Dialah Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang  terkenal dengan istilah Puputan Margarana-nya. Dia mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Rl No. 063/TK/Tahun 1975 tanggal 9 Agustus 1975 dengan pangkat terakhir.  Brigadir Jenderal yang dikebumikan di Taman Pujaan Bangsa Margarana.

I Gusti Ngurah Rai lahir pada tanggal 30 Januari 1917 di Desa Carangsari, Badung, Bali. Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Patjung dan ibunya I Gusti Ayu Kompyang.  Awalnya I Gusti Ngurah Rai  mendapatkan pendidikan militer  dari kolonial Hindia Belanda di Gianyar, Bali, sejak  Desember  tahun  1936. Pendidikan militer ini dikhususkan untuk para bangsawan.

Selesai pendidikan di Gianyar kemudian melanjutkan ke  Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO),  Magelang, Jawa Timur dengan spesialisasi artileri perang.  Selesai pendidikan dengan pangkat letnan dua kemudian menjadi bagian dari Korps Prayudha Bali.  I Gusti Ngurah Rai sempat berdinas di kemiliteran Belanda di masa penjajahan Hindia Belanda.

Pada Perang Dunia II Jepang melakukan serangan ke Pearl Harbor dan menguasai sebagain besar Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Jepang masuk ke Bali melalui Pantai Sanur tanggal 18 sampai tanggal 19 Februari 1942.  Invasi ini benar-benar tanpa perlawanan berarti dari Belanda, maupun dari Pihak Republik. Belanda keluar dari Indonesia dan senjatanya di lucuti tentara Jepang. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai tidak aktif lagi di dinas militer Belanda.

I Gusti Ngurah Rai bersama Pasukan Ciung Wanara
Pada masa pendudukan Jepang para mantan militer Belanda  yang pribumi  banyak dipekerjaan berbagai instansi untuk kepentingan Jepang. Waktu itu Ngurah Rai bekerja sebagai pegawai pada Mitsui Hussan Kaisya, yaitu sebuah perusahan untuk mengumpulkan  dan membeli hasil pertanian para penduduk.

Pada riwayat selanjutnya Pemerintah Jepang  mulai membentuk  badan kemiliteran dari para penduduk Indonesia yang diberi nama Pembela Tanah Air (PETA), Haiho (prajurit cadangan) dan Kompetai (polisi Jepang). Pada masa kedepan setelah Jepang kalah perang para anggota PETA dan Haiho ini bergabung ke BKR atau TKR.

Para pemuda yang pernah terjun ke dunia militer dipaksa untuk ikut dalam organisasi kemiliteran ini, tetapi I Gusti Ngurah Rai menolak dan lebih ingin untuk membentuk sendiri  untuk kepentingan bangsa Indonesia sendiri.  Secara diam-diam  Ngurah Rai sudah mengumpulan para pemuda di Bali, kemudian perkumpulan itu diberi nama  “Gerakan Anti Fasis” (GAF) yang menentang penjajahan Jepang, yang perkembangannya kedepan dibentuk menjadi Badan Keamanan Rakyat.

Pada masa zaman Nippon inilah I Gusti Ngurah Rai menikahi wanita yang bernama Ni Desok Putu Kari. Dari pernikahan ini memperoleh  tiga  anak laki-laki dan satu orang  perempuan.  Sayangnya anak yang perempuan meninggal tidak lama paska diahirkan.

Ketika itu dorongan untuk membentuk badan resmi kemiliteran untuk kepentingan persiapan kemerdekaan Republik Indonesia sudah mulai besar.  Hasratnya itu baru terlaksana setelah Jepang tekuk lutut kepada Sekutu karena yang menghancurkan dua kota Jepang yaitu  Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom. Dorongan ini semakin kuat karena berbagai elemen masyarakat di tempat lain juga telah melakukan konsolitasi untuk membangun organisasi militer yang lebih resmi.

Pada masa selesai Perang Dunia  II dan tidak lama setelah itu  Proklamasi dikumandangkan oleh Ir. Soekarno di Jakarta,  I Gusti Ngurah Rai  yang semasa  dinas sudah berpangkat kolonel ilmunya dimanfaatkan untuk mendidik para pemuda yang akan bergabung ke  Badan Keamanan Rakyat  di Bali. Banyak pada pemuda yang turut bergabung, sebagian besar adalah para pemuda dari  “Gerakan Anti Fasis” (GAF). 

Untuk mengumpulkan senjata dari kepentingan BKR di Bali, I Gusti Ngurah Rai dan kawan-kawannya melakukan aksi perebutan senjata diberbagai tangsi-tangsi  dan kantor-kantor pemerintah Nippon. Usaha perebutan senjata ini terkadang secara damai tetapi juga terpaksa dengan aksi militer, karena ada juga tentara Jepang yang  hanya mau menyerahkan senjatanya kepada Sekutu.

Informasi bahwa Jepang telah bertekuk lutut dan akan menyerahkan senjatanya kepada Sekutu banyak didengar oleh para pemuda di Bali sehingga inisiatif untuk segera melucuti tentara Jepang banyak bermunculan. Usaha mengumpulkan senjata ini lebih giat lagi setelah Jepang menyerahkan kekuasaan pemerintahan sementara di Bali kepada  Gubernur Mr. Ketua Puja  pada tanggal 8 Oktober 1945.

Para pemuda di Bali mengikuti perkembangan dari Jakarta dan Yogyakarta yang meminta untuk segera membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), karena memang sebelumnya sudah terbentuk BKR, maka BKR bertransformasi menjadi  TKR yang diputuskan dalam rapat pada bulan November 1945 di  Puri Raja Badung, di Denpasar. 

Hasil putusan rapat itu juga mengangkat  Mayor I Gusti Ngurah Rai menjadi Kepala Divisi TKR Sunda Kecil di Bali.   Wayan Ledang  diangkat sebagai sebagai Kepala Staf, sedangkan Kepala Barisan Penggempur diserahkan kepada I Gusti Putu Wisnu.  Sebagai Kepala Devisi TKR I Gusti Ngurah Rai hanya bermodalkan senjata bekas penyembunyian pada masa dinas menjadi militer Belanda pada Satuan Prayoga tahun 1942.

Pasukan yang sudah terbentuk itu kemudian diberinama TKR Sunda Kecil. Pasukan TKR Sunda Kecil terkenal dengan kemampuan dalam bertempur. Walau baru berdiri tetapi berbagai pertempuran harus sudah dihadapi baik terhadap sisa-sisa pasukan Jepang&ndi Bali.

Pada tanggal 15 Desember 1945 di pihak Jepang sebagian Angkatan Lautnya ditarik ke Jepang, tetapi ternyata digantikan lagi dengan Angkatan Darat. Sikap serdadu Jepang Angkatan Darat ternyata lebih tegas dari pada Angkatan Lautnya. Tersiar kabar bahwa Jepang akan melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para pemimpin di Bali dan akan menuntut atas pengembalian tangsi dan kantor Jepang yang direbut oleh para pemuda Republik.

Atas sikap Jepang itu TKR dan laskar-laskar rakyat melakukan dibeberapa tempat seperti di Denpasar, Tabanan dan Singaraja yang menyebabkan korban berpuluh-puluh orang di pihak Jepang. Pada saat itu pihak Republik berpangkalan di Puri Kasiman. Serangan itu direspon oleh pihak Jepang dan kemudian melakukan penangkapan. Salah satu yang ditangkap adalah dr. Subadi yang menjadi Kepala Palang Merah di Bali. Korban-korban yang ditawan disiksa oleh Jepang sebagai aksi balas dendam. Sebagian tawanan tidak diketahui lagi termasuk dr. Subadi.

Pasukan BKR dengan senjata sederhana

Pada tanggal 2 Maret 1946 tentara Sekutu  yang diboncengi pasukan NICA (Netherlands India Civil Administration) mendarat di Sanur, Denpasar.   Kedatangan Sekutu ini merupakan misi dari  perjanjian Wina yang disepakati tahun 1942 antara para Sekutu pemenang Perang Dunia II. Salah satunya adalah mengembalikan kekuasan lama sebelum Jepang , negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki Jepang ke pemilik koloni sebelumnya. Dalam hal ini pendudukan Indonesia akan dikembalikan ke Belanda.

Tentara NICA Mendarat di Bali
Pasukan Sekutu berkompoi dengan truk dan tank memasuki kawasan perkotaan dan  pedesaan untuk melucuti tentara Jepang dan mengumpulkan senjatanya. Tentara Jepang hanya menunggu didalam tangsi-tangsi dan kantor Nippon.

Tentara Jepang yang diwajibkan untuk menyerahkan semua senjatanya kepada Sekutu semakin sulit untuk diajak berunding untuk menyerahkan senjatanya kepada para pemuda untuk kepentingan persenjatan TKR yang masih baru. Bahkan mereka menunjukkan permusuhan kepada para Pemuda di Bali. 

Hasil kesepakatan para  pemuda terpaksa mereka  melakukan serangan serentak  yang rencananya akan lakukan pada tanggal 13 Desember 1945 terhadap tangsi-tangsi Jepang, tetapi sayangnya pihak Jepang sudah mengetahui rencana ini sehingga pihak Jepang jutru melakukan penyerangan duluan. Pihak Jepang juga banyak melakukan penangkapan terhadap para pemuda salah satunya adalah Gubernur Mr. Ketua Puja untuk menghentikan niat para pemuda untuk merebut senjata Jepang.

Pada saat itu aksi-aksi pasukan Jepang terhadap para pemuda membuat konsolidasi dan konsentrasi pembentukan Tentara Keamanan Rakyat jadi berantakan. Senjata-senjata yang semula sudah dikumpulkan para pemuda diambil lagi oleh Jepang. 

Kondisi yang tidak menguntungkan ini menyebabkan  I Gusti Ngurah Rai bersembunyi ke Munsiang di Tabanan Utara. Dari sini konsolidasi para pemuda dibangun lagi.  I Gusti  Ngurah Raid an para pemuda mencari cara untuk mendapatkan pasokan senjata untuk memperkuat TKR yang baru terbentuk. Dari hasil rapat diputuskan untuk mencari senjata di Pulau Jawa.

I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta dan berusaha mengontak orang-orang di Markas Umum TKR di Yogyakarta. Sayangnya kondisi di Yogyakarta juga tidak berbeda jauh dengan di Bali yang fasilitar TKR-nya masih terbatas dan sulit, tetapi kedatangannya ke Yogyakarta menjadi konsolidasi secara nasional yang penting.

Agar  kekuatan militer tetap ada dan para pemuda TKR tetap memiliki semangat tempur, berbagai persenjataan seadanya dikumpulan termasuk juga membuat bambo runcing.  Pusat-pusat kekuatan rakyat dan TKR digunung-gunung  dan hutan juga dibuat agar Jepang dan Sekutu tidak mudah datang. Berbagai pertahanan semu dan jebakan-jebakan juga dirancang untuk menipu  tentara Jepang dan Belanda yang berpusat di kota-kota.

Di lain tempat hasil Perundingan Linggarjati, Jawa Barat, pada tanggal 15 November 1946 menyebabkan Republik Indonesia secara de facto hanya diakui memiliki Jawa, Sumatra dan Madura. Jelas perundingan ini sangat merugikan bangsa Indonesia.  Pulau Bali akan masuk ke dalam Republika Indonesia Timur yang dikendalikan oleh Belanda.

Hasil perundingan ini banyak ditentang oleh rakyat Bali yang tidak menginginkan Republik ini dipecah-pecah dan bahwa Proklamasi Kemerdekaan yang disampaikan  pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan untuk Jawa, Sumatra dan Madura saja tetapi untuk seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merouke.

Keputusan Linggarjati itu ditanggapi oleh I Gusti Ngurah Rai yang mengatakan, ”Jangan gentar, Sunda kecil harus mampu’berdiri sendiri. Lanjutkan perjuangan dengan apa yang ada walaupun perhatian dari pusat kurang.”

I Gusti Ngurah Rai meningkatkan aktifitas gerilyanya dengan serangan-serangan seporadis yang cepat kemudian segera masuk ke hutan.  Salah satu aksi serangan gerilya ke Tabanan terjadi pada tanggal 18 November 1946, tiga hari setelah Perundingan Linggarjati. Serangan ini benar-benar mendadak diluar perkiraan Belanda, sehingga pihak Belanda banyak yang tewas.

Pada tanggal 20 November 1946 aksi gerilya I Gusti Ngurah Rai dipusatkan untuk mendapatkan senjata dari tentara dan polisi NICA yang sedang ada di Tabanan. Operasi ini berhasil baik dan TKR mendapatkan beberapa pucuk senjata dan pelurunya, bahkan seorang komandan polisi Belanda pribumi juga ikut menggabungkan diri dalam perjuangan I Gusti Ngurah Rai.

Terjadi juga berbagai serangan kecil dimana-mana yang membuat posisi Belanda mulai kewalahan sehingga meminta didatangkan pasukan dari berbagai tempat di Sunda Kecil.  Dengan sesegera mungkin pihak Belanda mengumpulkan seluruh kekuatannya di Bali untuk menghadapi pasukan TKR yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai.

Termasuk juga pasukan Belanda yang ada di Pulau Lombok dan Sunda Kecil lainnya ditarik ke Pulau Bali. Pasukan Ngurah Rai berhadapan dengan berbagai satuan militer Belanda seperti “Gajah Merah” dan “Anjing NICA”, juga satuan polisi Belanda.

Belanda juga mendatangkan pesawat-pesawat tempur dari Makassar untuk berbagai  operasi di Tabanan. Pada tanggal 20 November 1946 itu juga pesawat-pesawat tersebut berputar-putar diatas Tabanan untuk melihat dan menyerang pasukan gerilya TKR yang masuk ke Tabanan. Terpaksa pasukan TKR mundur kearah Dusun Marga dengan menyusuri hutan disekitar Gunung Agung.  Pada hari yang sama hampir semua pasukan TKR  berkumpul dan terkonsolidasi di Dusun Marga.

Belanda benar-benar menjaga sekitar desa dengan kekuatan penuh dan berlapis. Kemudian pada jam 05.30 tanggal 20 November 1946  pasukan Belanda benar-benar merangsak ke dalam Dusun Marga, Desa Kalaci. Kondisi perbekalan dan peluru yang kurang I Gusti Ngurah Rai membuat taktik menunggu. Posisi I Gusti Ngurah Rai yang belum diketahui pasti menyebabkan Belanda mencari-cari di sekitar Desa Marga.

Pada jam 9.00 pagi pasukan Belanda sudah mengetahui posisi tentara TKR. Pada jarak yang dekat pertempuran sengit terjadi.  Di udara pesawat pengintai Belanda terus berputar untuk memastikan posisi-posisi pasukan Ciung Wanara. Serangan dari timur, barat dan selatan harus dihadapi oleh tentara TKR.

Pada kurang lebih jam 10.00 senjata mesin yang sebelumnya tidak digunakan karena harus menghemat  peluru terpaksa digunakan untuk menghentikan  laju pasukan Belanda. Untungnya hal ini berhasil menghentikan laju pasukan Belanda dalam jarak yang sudah dekat, dan justru keadaan menjadi membalik pasukan baris depan Belanda banyak yang tewas tertembak. Komandan Belanda meminta bantuan didatangkan lagi pasukan tambahan, juga pesawat-pesawat tempur.

Pasukan Ciung Wanara tetap memberikan perlawanan sengit, justru tentara Belanda banyak terjadi korban sehingga mereka tidak berani untuk mendekat. Dalam kondisi yang semakin sulit dan jumlah pasukan yang tinggal satu kompi saja I Gusti Ngurah Rai berusaha meloloskan diri dari posisi kepungan yang mengunci. 

Pasukan Ngurah Rai menggunakan kondisi alam untuk berlindung dan bergerak kearah utara menyusuri lembah.  Pesawat Belanda lagi berputar-putar di atas lembah dan tidak ingin kehilangan targetnya. Kemudian melakukan tembakan-tembakan dari udara.

I Gusti Ngurah Rai memerintahkan anak buahnya untuk berpencar. Sayangnya disekitar lembah ada jurang yang dalam. Tembakan dari udara juga diselingi dengan peluncuran roket dari pesawat-pesawat yang membuat pasukan Ciung Wanara benar-benar terjepit.

Di sisi lain pasukan Belanda juga terus mendekat dan melakukan berondong tembakan. Kondisi yang kritis ini tidaklah mengendurkan semangat I Gusti Ngurah Rai. Dia berteriak kepada anak buahnya. “Puputan,” Seru I Gusti Ngurah Rai.  Akhirnya pertempuran yang tidak seimbang itu menyebabkan I Gusti Ngurah Rai gugur bersama dengan seratus orang anggota pasukan Divisi Sunda Kecil gugur.

Sumber dan Referensi :
- Indrawati Muninjaya, Nyoman Sirna, Biografi Drs. I Nyoman Sirna MPH, "Sang Guru, Sebuah Memoar Tentang Perjuangan dan Pengabdian"
- Dr. A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia", 1984.
- Wayan Djegug A Giri, "Puputan Margarana", Denpasar: YKP, 1990.
-  M. Soenjata Kartadarmadja, "I Gusti Ngurah Rai", 1985.
- I Gusti Ngurah Pindha, "Perang Bali - Sebuah Kisah Nyata", 
-  wikipedia.org
Read more ...

Senin, 26 Agustus 2019

Perjuangan Robert Wolter Mongonsidi di Makassar, Sulawesi Selatan

Robert Wolter Mongonsidi
Daerah kelahiran asli Pahlawan Nasional Robert Wolter Mongisidi adalah di Malalayang yang sekarang ini masuk diwilayah Kota Manado. Robert anak dari Petrus Mongisidi dengan ibundanay Lina Suawa.

Pada masa kecilnya ditahun 1951 dia mendapatkan pendidikan dia memulai pendidikannya pada Sekolah Dasar yang menggunakan bahasa Belanda (Hollands Inlandsche School atau (HIS), kemudian melanjutkan Sekolah Menengah di  Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO di Frater Don Bosco di Manado.

Ketertarikannya pada Jepang mengantarkan Robert untuk belajar menjadi guru Bahasa Jepang di sebuah sebuah sekolah di Tomohon.  Setelah lulus dia langsung mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, Minahasa. Kemudian pindah mengajar ke Luwuk, Sulawesi Tengah. Kemudian pindah lagi ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Di Kota Makassar pergaulan Robert Walter Mongonsidi meluas, beliau banyak berinteraksi dengan berbagai pergerakan pemuda di Makassar dari berbagai daerah.  Mereka adalah para pemuda yang ingin agar Indonesia Merdeka.

Bersama sahabatnya Ranggong Daeng Romo, Emmy Saelan seorang pemuda asli Makassar membuat membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada tanggal 17 Juli 1946.

Organisasi ini adalah salah satu dari sekian organisasi yang banyak dibentuk para pemuda di seluruh Indonesia  untuk mendukung Indonesia Merdeka. Pada saat itu juga sudah berdiri Taman Siswa di Makassar yang bergerak dalam bidang pendidikan.

Organisasi Kepemudaan  inilah yang pada saat terjadi penangkapan Dr. Sam Ratulangi ikut dalam protes dan pemogokan yang terkenal disebut sebagai  pemogokan “Stella Marris”.  Pada aksi pemogokan ini juga banyak terjadi penangkapan para pemuda oleh Belanda.

Diluar dari LAPRIS Robert Walter Mongonsidi juga membangun laskar perjuangannya sendiri yang disebut sebagai Laskar Harimau Indonesia yang diketuai langsung olehnya.  Turut bergabung juga kakak beradik Emmy Saelan seorang wanita pemberani dan Maulwi Saelan. Keduanya adalah kakak  Elly Saelan istri dari Jenderal M. Yusuf.

Pasca Perang Dunia II usai. Belanda ingin masuk kembali ke Indonesia dengan bantuan dari NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang didukung oleh Sekutu. Salah satunya adalah Inggris. Sebagai pemenang perang dunia II atas perang melawan Jepang, Sekutu melalui kekuatan serdadu Inggris dan NICA masuk ke Makassar, Sulawesi Selatan yang menjadi pusat dari wilayah Indonesia bagian Timur yang awalinya menyampaikan ke bangsa Indonesia hanya untuk melucuti senjata Jepang, tetapi faktanya berbagai tangsi Jepang yang sudah dikosongkan pasukan Nippon diserahkan ke Pasukan Belanda yang mengaku sebagai NICA. Termasuk kantor polisi dan Hotel Empres. Mereka juga secara terang-terangan membiarkan bendera Jepang berkibar di objek-objek vital tersebut.

Hal ini membuat darah para pemuda Makassar mendidih dan mereka secara berani dan terang-terangan juga merebut berbagai senjata dari lokasi markas dan tangsi Jepang dimana-mana. Perebutan senjata banyak terjadi pada berbagai aksi dari laskar pemuda untuk mendapatkan senjata dari bekas peninggalan serdadu Nippon. Perebutan ini juga terjadi sebelum Sekutu dan NICA masuk ke Makassar. Laskar-laskar termsuk LAPRIS dan Laskar Harimau Indonesia turut mengumpulkan senjata dari berbagai tempat markas Jepang di Sulawesi Selatan.
 
Para pemuda di Makassar juga menerima kabar tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disampaikan oleh Bung Karno di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Informasi ini semakin membuat semangat para pemuda termasuk Robert untuk merebut berbagai senjata di tangsi-tangsi Jepang.

Akhirnya konflik perebutan senjata Nippon terjadi yang mengakibatkan pertempuran dari para pemuda dengan Inggris dan NICA. Hal ini mulai terjadi pada  17 Juli 1946, Mongisidi dengan Ranggong Daeng Romo melakukan perlawanan dimana-mana.

Pada tanggal 28 Februari 1947 Robert Wolter Mongonsidi ditangkap Belanda, tetapi dia berhasil lolos dan kabur dari tangsi Jepang yang dikuasai oleh Belanda pada tanggal 27 Oktober 1947.

Belanda melakukan aksi penangkapan di mana-mana,  termasuk Robert yang sedang dicari. Akhirnya Robert tertangkap Belanda lagi. Kali ini Belanda langsung menjatuhkan hukuman mati kepada Robert Wolter Mongonsidi dihadapan regu tembak pada 5 September 1949.

Pada tanggal 10 November 1950 jasad Robert  dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar dan pada tanggal 6 November 1973 beliau mendapatkan gelas Pahlawan Nasional.
Read more ...

Minggu, 19 Februari 2012

Ahmad Soebardjo Djojodisoerjo Anggota Badan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


Pejuang kemerdekaan Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia yang pertama (1945). Guru besar dalam sejarah konstitusi dan diplomasi RI.

Soebardjo lahir di Krawang, Jawa Barat 23 Maret 1896. Gelar Meester in de Rechten diraihnya di Universitas Leiden, Belanda (1933). Semasa berkuliah ia giat dalam Perhimpunan Indonesia, dan mengunjungi berbagai kongres internasional, seperti Kongres Liga Anti Imperialis di Brussels, Kaln, dan Frankfurt.

Sewaktu di Moskow merayakan 10 tahun berdirinya Uni Soviet, ia menjadi anggota delegasi pelajar Indonesia atas undangan pemerintah negeri itu (1927). Kegiatannya dalam bidang jurnalistik berawal di negeri Belanda. Ia menjadi pemimpin redaksi majalah Rech en Vrijheid dan Indonesia Merdeka yang merupakan corong Perhimpunan Indonesia.

Sekembalinya di Indonesia, ia membuka kantor pengacara di Semarang (1934) sambil terus giat dalam lapangan jurnalistik. Ia membantu majalah Nationale Commentaren pimpinan Dr. Sam Ratulangie, di samping memimpin majalah Kritiek en Opbouw yang didirikannya bersama Dr. Coets dan D.M.G. Koch.

Semasa pendudukan Jepang ia menjadi pembantu kantor penasihat Angkatan Darat Jepang dan kepala Biro Riset Angkatan Laut Jepang pimpinan Laksamana Maeda. Menjelang proklamasi kemerdekaan, ia duduk dalam keanggotaan Badan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Bersama Mr. Dr. Supomo dan Mr. A.A. Maramis ia merancang Undang-undang Dasar negara Indonesia. Ia pun dikenal sebagai salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta. Setelah Indonesia merdeka, ia diangkat sebagai Menteri Luar Negeri RI dalam Kabinet Presidensial (1945).

Sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo ia menandatangani Perjanjian Keamanan (Mutual Security Act) dengan pemerintah Amerika (1951). Perjanjian ini mengakibatkan jatuhnya kabinet. Ia mengetuai delegasi Indonesia dalam Konferensi Perdamaian dengan Jepang yang diadakan di San Fransisco (1951). Pada kesempatan itu PM Jepang Yoshida meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas kekejaman pasukan pendudukan Jepang terhadap bangsa Indonesia selama peperangan.

Mr. Soebardjo pernah memegang beberapa jabatan non pemerintahan, antara lain ketua presiden Lembaga Indonesia dan wakil ketua Federasi Perhimpunan PBB., ia memberi kuliah di berbagai universitas, antara lain di Universitas Indonesia. Ia mengasuh mata kuliah Sejarah Pergerakan serta Pancasila. Wafat tanggal 15 Desember 1978, dimakamkan di Cipayung, Bogor.

Sumber : www.jakarta.go.id
Read more ...

Perjuangan Teuku Cik Ditiro di Aceh

Tengku Cik Ditiro

Pahlawan nasional, bernama asli Muhammad Saman, lahir pada tahun 1836 di Cumbok Lamlo, daerah Tiro, Pidie. Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang kuat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.

Sejak kecil ia sudah biasa hidup di lingkungan pesantren dan bergaul dengan para santri. Setelah belajar ilmu agama pada beberapa ulama terkenal di Aceh, ia menunaikan ibadah Haji dan memperdalam ilmu agama di Mekah. Sesudah itu ia menjadi guru agama di Tiro.

Dibesarkan pada saat memburuknya hubungan Aceh dengan Belanda. Pada tahun 1873 Kompeni mulai memerangi Aceh untuk menaklukkan kerajaan tersebut dan menempatkannya di bawah kekuasaan Belanda, pasukan pertama berhasil dipukul mundur. Panglimanya, Mayor Jenderal JHR Kohler, tewas dalam pertempuran. Sesudah itu, Kompeni mengirimkan pasukan yang lebih besar dan kuat. Lama-kelamaan pejuang Aceh terdesak.

Daerah Aceh Besar jatuh ke tangan Kompeni dan kekuatan Aceh mulai lemah. Pada waktu itu, ia muncul memimpin perang dan membentuk Angkatan Perang Sabil dengan mendapat bantuan golongan hulubalang. Sultan Aceh mempercayainya sebagai pemimpin perang, dan perjuangan dilakukan atas dasar agama dan kebangsaan.

Dalam serangan yang dilancarkan bulan Mei 1881, benteng Belanda di Indrapuri berhasil direbut pasukannya. Kemudian jatuh pula benteng Lambaro, Ancuk Galang, dan lain-lain. Belanda semakin terdesak, mereka bertahan saja dalam benteng di Banda Aceh. Tetapi, ke dalam benteng itu pun, ia mengerahkan pasukan untuk melakukan sabotase.

Pulau Breuh pun mendapat serangan, dari situ ia bermaksud merebut Banda Aceh. Kompeni jadi kewalahan dan daerah Aceh yang masih mereka kuasai tidak lebih dari empat kilometer persegi.

Belanda menyadari bahwa sumber semangat Aceh pada waktu itu ialah Teungku Cik Di Tiro, karena itu Kompeni bermaksud membunuhnya. Mereka berhasil membujuk seseorang yang bersedia bekerja sama yang diangkat menjadi Kepala Sagi. Kemudian,orang itu menyuruh seorang wanita memasukkan racun ke dalam makanan dan diberikannya kepada Cik di Tiro.

Akibatnya Cik di Tiro jatuh sakit dan meninggal dunia di benteng Ancuk Galang pada bulan Januari 1891. Di Jakarta namanya diabadikan sebagai nama jalan yang terletak di kawasan Menteng, menggantikan nama Jl. Mampangweg.

Sumber : www.jakarta.go.id, wikipedia
Read more ...

Jumat, 16 September 2011

Kekejaman Tentara Belanda Terhadap Rakyat Rawagede


Sudah lama cerita ini tenggelam sebagai sejarah, tetapi kesakitan masyarakat asli rawagede yang pernah menjadi saksi kekejaman penjajah Belanda, dengan mempertontonkan kejahatan terhadap kemanusiaan dimata anak-anak kecil yang tidak berdosa, didepan istri-istri yang menangis atas pembunuhan terhadap 431 laki-laki masih terus terjadi. Tentu hal ini menjadi bayangan pahit selama hidup mereka.

Sedikit obat yang datang dari kabar gembira dikabulkannya permohonan tuntutan atas tragedi itu justru terjadi di Belanda.

Pada Rabu 14 September 2011, Pengadilan Den Haag mengabulkan tuntutan keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede, Jawa Barat. Belanda harus mengakui kesalahannya dan memberi kompensasi kepada keluarga korban.

Sebuah cerita jujur dari seseorang yang mengaku ikut sertai membantai. Sebuah surat tanpa nama dikirim kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Belanda. Pengirimnya mengaku seorang veteran perang bagian dari sedadu NICA pada waktu itu menceritakan kejadian yang telah membaut sungai-sungai berubah menjadi merah darah dari para korban pada 9 Desember 1947 itu.

"Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata," kata orang tersebut seperti dimuat Radio Netherland Siaran Indonesia.

"Terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka yang terbelalak, ketakutan dan tak faham."

Seperti ini dia menceritakan dalam surat tersebut:

Wamel Rawa Gedeh

"Namaku tidak bisa aku sebutkan, tapi aku bisa ceritakan kepada Anda apa yang sebenarnya terjadi di desa Rawa Gedeh (Rawagede).

Anda tahu, antara tahun 1945 – 1949, kami mencoba merebut kembali jajahan kami di Asia Tenggara. Untuk itu dari tahun 1945 sampai 1949, sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia. Di sana terjadi berikut ini:

Di Jawa Barat, timur Batavia, di daerah Krawang, ada Desa Rawa Gedeh. Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.

Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata, dll)

Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Jumlahnya ratusan.

Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Rawa Gedeh telah menerima 'pelajarannya'.

Semua lelaki ditembak mati--kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'.

Semua perempuan ditembak mati--padahal kami datang dari negara demokratis.

Semua anak ditembak mati--padahal kami mengakunya tentara yang Kristiani.

Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata, terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham.

Aku tidak bisa menyebut namaku, karena informasi ini tidak disukai kalangan tertentu."(kd)


Sumber : VIVAnews, Suara Nederland Berbahasa Indonesia
Read more ...

Sabtu, 10 September 2011

Perjuangan Rakyat Banten Menghadapi VOC


Dilakukan sejak tahun 1619 oleh Kerajaan Banten saat VOC berusaha hendak merebut bandar pelabuhan Merak, yang membuat orang Banten sangat marah dan menaruh dendam terhadap VOC. Apalagi VOC telah dengan sewenang-wenang merebut Jayakarta yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Banten dan berusaha memblokade pelabuhan dengan Kerajaan Banten.

Untuk menghadapi bahaya dan ancaman Kerajaan Mataram, VOC berusaha mendekati Kerajaan Banten. Tetapi Banten sudah terlanjur menaruh dendam terhadap Belanda. Pada Desember 1627 orang-orang Banten merencanakan pembunuhan terhadap J.P. Coen. Tetapi rencana itu bocor dan telah diketahui musuh. Kemudian mereka mengamuk dan membunuh beberapa orang Belanda.

Tahun 1633, ketika VOC bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang Banten yang berlayar dan berdagang di Kepulauan Maluku, maka pecah lagi peperangan antara Banten dan VOC. Keangkuhan orang Belanda ini memicu kemarahan dan sikap anti terhadap sifat kolonialis. VOC bukan saja ingin menguasai perdagangan tetapi juga menerapkan pajak yang tinggi terhadap rakyat Banten.

Orang-orang Banten merasa harga diri mereka dilecehkan. Mereka adalah penganut Islam kuat dan selalu memiliki semangat untuk menegakkan keadilan. Rakyat Banten menganggap orang-orang Belanda adalah orang-orang yang akan merusak tatanan kehidupan di tanah Banten.

Hubungan antara Kerajaan Banten dan VOC lebih gawat lagi ketika kerajaan itu diperintah oleh Sultan Abdulfatah. Abdulfatah yang dikenal gelarnya Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1682). Hal ini dibuktikan dengan peperangan-peperangan yang dilakukannya melawan VOC atau Kompeni Belanda, baik di darat maupun di laut. Di daerah-daerah perbatasan antara Batavia dan Kerajaan Banten seperti di daerah Angke, 'Pesing dan Tangerang sering terjadi pertempuran-pertempuran yang membawa korban kedua belah pihak.

Untuk melawan Banten, VOC membentuk pasukan-pasukan bayaran yang terdiri dari pelbagai suku bangsa seperti: Suku Bugis, Suku Bali, Suku Banda dan lain-Iainnya. Selain itu VOC juga terdiri dari pelbagai suku bangsa Indonesia yang bermukim dan bertempat tinggal di Jakarta, termasuk orangorang Cina, orang-orang Jepang serta keturunan orang-orang Portugis yang sudah menjadi kawula atau pegawai-pegawai VOC. Orang-orang Belanda senfliri yang tidak seberapa jumlahnya, karenanya selalu berada di garis belakang, namun dengan persenjataan lengkap bahkan mempergunakan senjata meriam.

VOC juga mendirikan dan memperkuat perbentengan-perbentengan mereka di perbatasan Kerajaan Banten, seperti di daerah Angke, Pesing dan lain-lainnya, Tahun 1658, dipimpin Raden Senopati Ingalaga dan Haji Wangsaraja menyerang Batavia di daerah Angke dan Tangerang. Kedatangan tentara Banten itu sudah diketahui VOC melalui mata-mata dan kaki tangan mereka.

VOC menyiapkan pasukan-pasukannya dan segera menyongsong tentara Banten itu. Dan terjadilah pertempuran seru. Dengan kapalkapalnya dan persenjataan meriam-meriamnya yang besar VOC mengurung serta menutup pelabuhan Banten, yang berakibat terhentinya perdagangan Kerajaan Banten.

Dengan cara yang demikian VOC banyak menimbulkan kerugian lawan, karena hidup kerajaan itu sebagian besar bergantung kepada perdagangan. Belanda yang licik berusaha memecah belah dan mengadu domba orang-orang Banten, yang berhasil mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa dan puteranya, Sultan Haji. Akhimya ayah dan anak itu bermusuhan dan berperang. Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC, sedang Sultan Haji berpihak pada VOC.

Pada bulan Pebruari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Tanggal 6 Maret 1682 VOC mengirimkan bantuan di bawah pimpinan Saint Martin. Sultan Ageng Tirtayasa dipukul mundur dan bertahan di Tirtayasa. Januari 1683 Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya serta sejumlah pasukan Banten berada di Parijan, Tangerang. Mereka tetap melanjutkan perjuangan melawan VOC. Kemudian Sultan Haji mengirim surat kepada ayahnya agar datang ke Istana, yang curiga memenuhi undangan puteranya.

Tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng tiba di Istana dan diterima dengan baik, tetapi kemudian ditangkap dan dibawa ke Batavia. Tahun 1695 Sultan Ageng Tirtayasa wafat. Setelah Sultan Ageng wafat, sisa-sisa tentara Banten tetap mengadakan perlawanan.

Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh ulama dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Negara Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya. Hal ini terlihat di berbagai pemberontakan yang dipimpin oleh kiai dan didukung oleh rakyat, antara lain peristiwa "Geger Cilegon" pada tahun 1886 di bawah pimpinan KH Wasyid (w. 28 Juli 1888) dan "Pemberontakan Petani Banten" pada tahun 1888.

Sumber : www.jakarta.go.id
Read more ...