Minggu, 19 Februari 2012

Ahmad Soebardjo Djojodisoerjo Anggota Badan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


Pejuang kemerdekaan Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia yang pertama (1945). Guru besar dalam sejarah konstitusi dan diplomasi RI.

Soebardjo lahir di Krawang, Jawa Barat 23 Maret 1896. Gelar Meester in de Rechten diraihnya di Universitas Leiden, Belanda (1933). Semasa berkuliah ia giat dalam Perhimpunan Indonesia, dan mengunjungi berbagai kongres internasional, seperti Kongres Liga Anti Imperialis di Brussels, Kaln, dan Frankfurt.

Sewaktu di Moskow merayakan 10 tahun berdirinya Uni Soviet, ia menjadi anggota delegasi pelajar Indonesia atas undangan pemerintah negeri itu (1927). Kegiatannya dalam bidang jurnalistik berawal di negeri Belanda. Ia menjadi pemimpin redaksi majalah Rech en Vrijheid dan Indonesia Merdeka yang merupakan corong Perhimpunan Indonesia.

Sekembalinya di Indonesia, ia membuka kantor pengacara di Semarang (1934) sambil terus giat dalam lapangan jurnalistik. Ia membantu majalah Nationale Commentaren pimpinan Dr. Sam Ratulangie, di samping memimpin majalah Kritiek en Opbouw yang didirikannya bersama Dr. Coets dan D.M.G. Koch.

Semasa pendudukan Jepang ia menjadi pembantu kantor penasihat Angkatan Darat Jepang dan kepala Biro Riset Angkatan Laut Jepang pimpinan Laksamana Maeda. Menjelang proklamasi kemerdekaan, ia duduk dalam keanggotaan Badan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Bersama Mr. Dr. Supomo dan Mr. A.A. Maramis ia merancang Undang-undang Dasar negara Indonesia. Ia pun dikenal sebagai salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta. Setelah Indonesia merdeka, ia diangkat sebagai Menteri Luar Negeri RI dalam Kabinet Presidensial (1945).

Sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo ia menandatangani Perjanjian Keamanan (Mutual Security Act) dengan pemerintah Amerika (1951). Perjanjian ini mengakibatkan jatuhnya kabinet. Ia mengetuai delegasi Indonesia dalam Konferensi Perdamaian dengan Jepang yang diadakan di San Fransisco (1951). Pada kesempatan itu PM Jepang Yoshida meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas kekejaman pasukan pendudukan Jepang terhadap bangsa Indonesia selama peperangan.

Mr. Soebardjo pernah memegang beberapa jabatan non pemerintahan, antara lain ketua presiden Lembaga Indonesia dan wakil ketua Federasi Perhimpunan PBB., ia memberi kuliah di berbagai universitas, antara lain di Universitas Indonesia. Ia mengasuh mata kuliah Sejarah Pergerakan serta Pancasila. Wafat tanggal 15 Desember 1978, dimakamkan di Cipayung, Bogor.

Sumber : www.jakarta.go.id
Read more ...

Perjuangan Teuku Cik Ditiro di Aceh

Tengku Cik Ditiro

Pahlawan nasional, bernama asli Muhammad Saman, lahir pada tahun 1836 di Cumbok Lamlo, daerah Tiro, Pidie. Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang kuat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.

Sejak kecil ia sudah biasa hidup di lingkungan pesantren dan bergaul dengan para santri. Setelah belajar ilmu agama pada beberapa ulama terkenal di Aceh, ia menunaikan ibadah Haji dan memperdalam ilmu agama di Mekah. Sesudah itu ia menjadi guru agama di Tiro.

Dibesarkan pada saat memburuknya hubungan Aceh dengan Belanda. Pada tahun 1873 Kompeni mulai memerangi Aceh untuk menaklukkan kerajaan tersebut dan menempatkannya di bawah kekuasaan Belanda, pasukan pertama berhasil dipukul mundur. Panglimanya, Mayor Jenderal JHR Kohler, tewas dalam pertempuran. Sesudah itu, Kompeni mengirimkan pasukan yang lebih besar dan kuat. Lama-kelamaan pejuang Aceh terdesak.

Daerah Aceh Besar jatuh ke tangan Kompeni dan kekuatan Aceh mulai lemah. Pada waktu itu, ia muncul memimpin perang dan membentuk Angkatan Perang Sabil dengan mendapat bantuan golongan hulubalang. Sultan Aceh mempercayainya sebagai pemimpin perang, dan perjuangan dilakukan atas dasar agama dan kebangsaan.

Dalam serangan yang dilancarkan bulan Mei 1881, benteng Belanda di Indrapuri berhasil direbut pasukannya. Kemudian jatuh pula benteng Lambaro, Ancuk Galang, dan lain-lain. Belanda semakin terdesak, mereka bertahan saja dalam benteng di Banda Aceh. Tetapi, ke dalam benteng itu pun, ia mengerahkan pasukan untuk melakukan sabotase.

Pulau Breuh pun mendapat serangan, dari situ ia bermaksud merebut Banda Aceh. Kompeni jadi kewalahan dan daerah Aceh yang masih mereka kuasai tidak lebih dari empat kilometer persegi.

Belanda menyadari bahwa sumber semangat Aceh pada waktu itu ialah Teungku Cik Di Tiro, karena itu Kompeni bermaksud membunuhnya. Mereka berhasil membujuk seseorang yang bersedia bekerja sama yang diangkat menjadi Kepala Sagi. Kemudian,orang itu menyuruh seorang wanita memasukkan racun ke dalam makanan dan diberikannya kepada Cik di Tiro.

Akibatnya Cik di Tiro jatuh sakit dan meninggal dunia di benteng Ancuk Galang pada bulan Januari 1891. Di Jakarta namanya diabadikan sebagai nama jalan yang terletak di kawasan Menteng, menggantikan nama Jl. Mampangweg.

Sumber : www.jakarta.go.id, wikipedia
Read more ...