Sabtu, 01 Oktober 2011

Perang Fatahillah Terhadap Portugis Mempertahankan Sunda Kelapa


Fatahillah disebut juga Faletehan, merupakan Panglima Pasukan Cirebon. Beliau berasal dari Pasai, Aceh. Nama aslinya adalah Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan.

Pada masa itu Kesultanan Cirebon bersekutu dengan Demak dan berhasil menjadi penguasa Sunda Kelapa, dari kekuasaan Portugis pada tanggal 22 Juni tahun 1527.

Sunda Kelapa kemudian oleh Fatahillah pada tanggal 22 Juni 1527 diganti nama menjadi Jayakarta, Fatahillah anti terhadap penjajahan bangsa Portugis, karena mereka dengan bantuan syahbandarnya menaklukkan kota kelahirannya, yaitu Pasei di Aceh (Sumatera) pada tahun 1521. Ia meninggal pada tahun 1570 dan dimakamkan di Cirebon.

Nama aslinya Faddillah Khan atau Faletehan. Ia merupakan menantu dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.  Berdasarkan jalannya peristiwa sejarah yang diuraikan dalam Purwaka Caruban Nagari nama Fadhillah lebih memungkinkan untuk disamakan dengan berita Portugis yang menyebut Falatehan, demikian juga arti Fadhillah sangat mirip dengan Fatahillah yang berarti juga "kemenangan karena Allah".

Menurut sumber "Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari" dan "Negarakertabhumi", ayah Fatahillah dari Pasei merupakan seorang keturunan Arab dari Gujarat (India), Pada tahun 1521 Pasei berhasil direbut Portugis, kemudian ia berlayar ke Mekah. Sekitar tahun 1525 ia ke Jepara dan menikah dengan Nyai Ratu Pembayun (adik Sultan Trenggana dari Demak).

Kemudian berturut-turut menaklukkan daerah Banten dan Sunda Kalapa. Setelah kemenangan itu, kemudian Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu (puteri Sunan Gunung Jati). Tidak diketahui secara pasti ia menguasai Jayakarta, namun saat akhir hidupnya berada di Cirebon dan dimakamkan di sana.

Fatahillah merupakan seorang tokoh penyebar agama Islam di Jawa Barat yang berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis pada tanggal 22 Juni 1527. Kemudian ia menggantinya menjadi Jayakarta, yang berarti "kemenangan yang sempurna". Kota ini dalam perkembangannya berubah nama menjadi Jakarta dan tanggal 22 Juni menjadi hari jadi kota tersebut. Sifat perekonomian serta perdagangannya mengandung unsur-unsur Islam.

Usahanya untuk mensiarkan Islam, baik dalam usaha pemerintahan maupun diplomasinya dengan raja-raja Islam menunjukkan sebagai seorang ulama dan negarawan mahir. Ketekunannya dalam memperjuangkan Islam serta kesungguhannya mengamalkan agama Islam, menjadikannya tergolong deretan Wali Sanga (Wali Sembilan).

Ia dipandang sebagai Panglima Perang yang cakap dan gagah perkasa. Jasanya sangat besar dan pengaruhnya dalam memperluas wilayah dan penyebaran Islam terutama di pesisir air pantai utara Jawa. Selain Jakarta sebagai daerah dakwahnya adalah Kerajaan Demak, Banten, dan Cirebon. Itulah sebabnya sejarah Fatahillah yang telah mendirikan Kota Jakarta tak dapat dipisahkan dengan Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten.

Sebagai penghargaan dan peringatan akan jasa-jasanya, maka di Jakarta terdapat taman Fatahillah, dan sebagai lambang untuk melanjutkan cita-cita dakwah Islamnya serta perjuangannya menegakkan kebenaran serta mengusir penjajah, maka namanya dipergunakan sebagai nama salah satu Perguruan Tinggi Islam di bawah Departemen Agama, yaitu lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berlokasi di Ciputat.

Sumber dan referensi:
-  H.J. de Graaf dan Th. Pigeaoud, "Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa - Peralihan Dari Majapahit ke Mataram", 2003.
-  www.jakarta.go.id
-  wikipedia.org
Read more ...

Perjuangan Panjang Maluku Terhadap Kolonialisasi Eropa


Maluku merupakan salah satu propinsi tertua dalam sejarah Indonesia merdeka, dikenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Secara historis kepulauan Maluku terdiri dari kerajaan-kerajaan Islam yang menguasai pulau-pulau tersebut, oleh karena itu, diberi nama Maluku yang berasal dari kata Al Mulk yang berarti Tanah Raja-Raja. Seperti Kesultanan Tidore, Kesultanan Ternate, Kerajaan Sahulau dan sebagainya.

Daerah ini dinyatakan sebagai propinsi bersama tujuh daerah lainnya, Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera. Hanya dua hari setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun secara resmi pembentukan Maluku sebagai propinsi daerah tingkat I RI baru terjadi 12 tahun kemudian, berdasarkan Undang Undang Darurat Nomor 22 tahun 1957 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1958.

Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kepulauan Maluku memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan tidak dapat dilepaskan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan. Kawasan kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah ini sudah dikenal di dunia internasional sejak dahulu kala. Pada awal abad ke-7 pelaut-pelaut dari daratan Cina, khususnya pada zaman Dinasti Tang, kerap mengunjungi Maluku untuk mencari rempah-rempah. Namun mereka sengaja merahasiakannya untuk mencegah datangnya bangsa-bangsa lain kedaerah ini.

Pada abad ke-9 pedagang Arab berhasil menemukan Maluku setelah mengarungi Samudra Hindia. Para pedagang ini kemudian menguasai pasar Eropa melalui kota-kota pelabuhan seperti Konstatinopel. Abad ke-14 adalah merupakan masa perdagangan rempah-rempah Timur Tengah yang membawa agama Islam masuk ke Kepulauan Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik, antara 1300 sampai 1400.

Pada abad ke-12 wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi Kepulauan Maluku. Pada awal abad ke-14 Kerajaan Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Pada waktu itu para pedagang dari Jawa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Dimasa Dinas Ming (1368 ? 1643) rempah-rempah dari Maluku diperkenalkan dalam berbagai karya seni dan sejarah. Dalam sebuah lukisan karya W.P. Groeneveldt yang berjudul Gunung Dupa, Maluku digambarkan sebagai wilayah bergunung-gunung yang hijau dan dipenuhi pohon cengkih ? sebuah oase ditengah laut sebelah tenggara. Marco Polo juga menggambarkan perdagangan cengkih di Maluku dalam kunjungannya di Sumatra.

Era Portugis

Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen.

Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama.

Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.

Era Belanda

Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku.

Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC.

Pada permulaan tahun 1800 Inggris mulai menyerang dan menguasai wilayah-wilayah kekuasaan Belanda seperti di Ternate dan Banda. Dan, pada tahun 1810 Inggris menguasai Maluku dengan menempatkan seorang resimen jendral bernama Bryant Martin. Namun sesuai konvensi London tahun 1814 yang memutuskan Inggris harus menyerahkan kembali seluruh jajahan Belanda kepada pemerintah Belanda, maka mulai tahun 1817 Belanda mengatur kembali kekuasaannya di Maluku.

Pahlawan

Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura, seorang bekas sersan mayor tentara Inggris.

Pada tanggal 15 Mei 1817 serangan dilancarkan terhadap benteng Belanda ''Duurstede'' di pulau Saparua. Residen van den Berg terbunuh. Pattimura dalam perlawanan ini dibantu oleh teman-temannya ; Philip Latumahina, Anthony Ribok, dan Said Perintah.

Berita kemenangan pertama ini membangkitkan semangat perlawanan rakyat di seluruh Maluku. Paulus Tiahahu dan putrinya Christina Martha Tiahahu berjuang di Pulau Nusalaut, dan Kapitan Ulupaha di Ambon.

Tetapi Perlawanan rakyat ini akhirnya dengan penuh tipu muslihat dan kelicikan dapat ditumpas kekuasaan Belanda. Pattimura dan teman-temannya pada tanggal 16 Desember 1817 dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan, di Fort Niew Victoria, Ambon. Sedangkan Christina Martha Tiahahu meninggal di atas kapal dalam pelayaran pembuangannya ke pulau Jawa dan jasadnya dilepaskan ke laut Banda.

Era Perang Dunia Ke Dua

Pecahnya Perang Pasifik tanggal 7 Desember 1941 sebagai bagian dari Perang Dunia II mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jendral Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh , melalui radio, menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang dengan Jepang.

Tentara Jepang tidak banyak kesulitan merebut kepulauan di Indonesia. Di Kepulauan Maluku, pasukan Jepang masuk dari utara melalui pulau Morotai dan dari timur melalui pulau Misool. Dalam waktu singkat seluruh Kepulauan Maluku dapat dikuasai Jepang. Perlu dicatat bahwa dalam Perang Dunia II, tentara Australia sempat bertempur melawan tentara Jepang di desa Tawiri. Dan, untuk memperingatinya dibangun monumen Australia di desa Tawiri (tidak jauh dari Bandara Pattimura).

Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Maluku dinyatakan sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia. Namun pembentukan dan kedudukan Propinsi Maluku saat itu terpaksa dilakukan di Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda (NICA) langsung memasuki Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan colonial di Maluku. Belanda terus berusaha menguasai daerah yang kaya dengan rempah-rempahnya ini ? bahkan hingga setelah keluarnya pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 dengan mensponsori terbentuknya Republik Maluku Selatan (RMS).

Sumber : www.malukuprov.go.id/index.php/sejarah-maluku
Read more ...

Persaingan Dagang Kesultanan Banten dan VOC


Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, berinteraksi dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan sebagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513.

Proses Islamisasi Banten, yang diawali oleh Sunan Ampel, yang kemudian diteruskan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang seluruh kisahnya terekam dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari. Fase sejarah penting menguatnya pengaruh Islam terjadi ketika Bupati Banten menikahkan adiknya, yang beernama Nyai Kawunganten, dengan Syarif Hidayatullah yang kemudian melahirkan dua anak yang diberi nama Ratu Wulung Ayu dan Hasanuddin sebagai cikal bakal dimulainya fase sejarah Banten sebagai Kerajaan Islam (Djajadiningrat, 1983:161). Bersama putranya inilah Sunan Gunung Jati melebarkan pengaruh dalam menyebarluaskan agama Islam ke seluruh tatar Sunda hingga saatnya Sang Wali kembali ke Cirebon .

Takluknya Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (Banten Girang) pada tahun 1525 selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era Banten sebagai kerajaan Islam dengan dipindahkannya pusat pemerintahan Banten dari daerah pedalaman ke daerah pesisir pada tanggal 1 Muharam tahun 933 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 (Michrob dan Chudari, 1993:61).

Atas pemahaman geo-politik yang mendalam Sunan Gunung Jati menentukan posisi istana, benteng, pasar, dan alun-alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten yang kemudian diberi nama Surosowan. Hanya dalam waktu 26 tahun, Banten menjadi semakin besar dan maju, dan pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja di Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan (Pudjiastuti,2000:61).

Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Jawa, sejajar dengan Malaka. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah mesjid agung (Djajadiningrat,1983:84).

Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda.

Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda (Ekadjati (ed.),1984:97).

Wujud dari interaksi budaya dan keterbukaan masyarakat Banten tempo dulu dapat dilihat dari berkembangnya perkampungan penduduk yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara seperti Melayu, Ternate, Banjar, Banda, Bugis, Makassar, dan dari jawa sendiri serta berbagai bangsa dari luar Nusantara seperti Pegu (Birma), Siam, Parsi, Arab, Turki, Bengali,dan Cina (Leur, 1960:133-134; Tjiptoatmodjo, 1983:64). Setidaknya inilah fakta sejarah yang turut memberikan kontribusi bagi kebesaran dan kejayaan Banten.

Dalam usahanya membangun Banten, Maulana Hasanuddin sebagai Sultan Banten pertama (1522-1570), menitikberatkan pada pengembangan sektor perdagangan dengan lada sebagai komoditas utama yang diambil dari daerah Banten sendiri serta daerah lain di wilayah kekuasaan Banten, yaitu Jayakarta, Lampung, dan terjauh yaitu dari Bengkulu (Tjandrasasmita,1975:323).

Perluasan pengaruh juga menjadi perhatian Sultan Hasanuddin melalui pengiriman ekspedisi ke pedalaman dan pelabuhan-pelabuahn lain. Sunda Kalapa sebagai salah satu pelabuhan terbesar berhasil ditaklukkan pada tahun 1527 dan takluknya Sunda Kalapa tersebut ditandai dengan penggantian nama Sunda Kalapa menjadi "Jayakarta". Dengan takluknya Jayakarta, Banten memegang peranan strategis dalam perdagangan lada yang sekaligus menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme dalam usahanya menjalin kerjasama dengan Raja Sunda (Kartodirdjo, 1992:33-34).

Pasca wafatnya Maulana Hasanuddin, pemerintahan dilanjutkan oleh Maulana Yusuf (1570-1580), putra pertamanya dari Ratu Ayu Kirana, putri Sultan Demak. Kemasyhuran Banten makin meluas ketika politik ekspansinya berhasil pula menaklukkan Pakuan Pajajaran yang dibantu oleh Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Sunda akhirnya benar-benar runtuh (Atha, 1986:151-152,189).

Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, sektor pertanian berkembang pesat dan meluas hingga melewati daerah Serang sekarang, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut dibuat terusan irigasi dan bendungan. Danau (buatan) Tasikardi merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk kota , sekaligus sebagai sumber pengairan bagi daerah pesawahan di sekitar kota . Sistem filtrasi air dengan metode pengendapan di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih merupakan bukti majunya teknologi pengelolaan air pada masa tersebut.

Pada masa Maulana Yusuf memerintah, perdagangan Banten sudah sangat maju dan Banten bisa dianggap sebagai sebuah kota pelabuhan emporium, tempat barang-barang dagangan dari berbagai penjuru dunia digudangkan dan kemudian didistribusikan (Michrob dan Chudari, 1993:82-83). Tumbuh dan berkembangnya pemukiman-pemukiman pendatang dari mancanegara terjadi pada masa ini. Kampung Pekojan umpamanya untuk para pedagang Arab, Gujarat , Mesir, dan Turki, yang terletak di sebelah barat Pasar Karangantu. Kampung Pecinan untuk para pedagang Cina, yang terletak di sebelah barat Masjid Agung Banten.

Masa kejayaan Banten selanjutnya diteruskan oleh Maulana Muhammad pasca mangkatnya Maulana Yusuf pada tahun 1580. Maulana Muhammad dikenal sebagai seorang sultan yang amat saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam ia banyak menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya. Kesejahteraan masjid dan kualitas kehidupan keberagamaan sangat mewarnai masa pemerintahannya walaupun tak berlangsung lama karena kematiannya yang tragis dalam perang di Pelembang pada tahun 1596 dalam usia sangat muda, sekitar 25 tahun.

Pasca mangkatnya Maulana Muhammad, Banten mengalami masa deklinasi ketika konflik dan perang saudara mewarnai keluarga kerajaan khususnya selama masa perwalian Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan ketika ayahandanya wafat. Puncak perang saudara bermuara pada peristiwa Pailir, dan setelahnya Banten mulai kembali menata diri.

Dengan berakhirnya masa perwalian Sultan Muda pada bulan Januari 1624, maka Sultan Abul Mufakir Mahmud Abdul Kadir diangkat sebagai Sultan Banten (1596-1651). Sultan yang baru ini dikenal sebagai orang yang arif bijaksana dan banyak memperhatikan kepentingan rakyatnya. Bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat mendapat perhatian utama dari Sultan Banten ini. Ia berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Dialah penguasa Banten pertama yang mendapat gelar Sultan dari penguasa Arab di Mekah (1636). Sultan Abdul Mufakhir bersikap tegas terhadap siapa pun yang mau memaksakan kehendaknya kepada Banten. Misalnya ia menolak mentah-mentah kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten (Ekadjati (ed.), 1984:97-98). Dan akibat kebijakannya ini praktis masa pemerintahannya diwarnai oleh ketegangan hingga blokade perdagangan oleh VOC terhadap Banten.

Konflik antara Banten dengan Belanda semakin tajam ketika VOC memperoleh tempat kedudukan di Batavia . Persaingan dagang dengan Banten tak pernah berkesudahan. VOC mengadakan siasat blokade terhadap pelabuhan niaga Banten, melarang dan mencegah jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten yang membuat pelabuhan Banten hampir lumpuh. Perlawanan sengit orang Banten terhadap VOC pecah pada bulan November 1633 dengan mengadakan "gerilya" di laut sebagai "perompak" dan di daratan sebagai "perampok" sehingga memprovokasi VOC untuk melakukan ekspedisi ke Tanam, Anyer, dan Lampung. Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi perang terus berlangsung selama enam tahun, dan ketegangan masih terus terjadi hingga wafatnya Sultan Abul Mufakhir pada tahun 1651 dan digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma'ali Ahmad atau Pangeran Ratu Ing Banten atau Sultan Abufath Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672).

Sultan Ageng Tirtayasa yang ahli strategi perang berhasil membina mental para prajurit Banten dengan cara mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, Makassar, dan daerah lainnya. Perhatiannya yang besar pada perkembangan pendidikan agama Islam juga mendorong pesatnya kemajuan Agama Islam selama pemerintahannya.

Pelabuhan Banten yang semula diblokade VOC perlahan namun pasti mulai pulih ketika Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menarik perdagangan bangsa Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis yang notabene merupakan pesaing berat VOC. Strategi ini bukan hanya berhasil memulihkan perdagangan Banten namun sekaligus memecah konflik politik menjadi persaingan perdagangan antar bangsa-bangsa Eropa.

Selain mengembangkan perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa gigih berupaya juga untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia guna mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram yang telah masuk sejak awal abad ke-17. Selain itu, juga untuk mencegah pemaksaan monopoli perdagangan VOC yang tujuan akhirnya adalah penguasaan secara politik terhadap Banten (Kartodirdjo, 1988:113-115,150-154,204-209). VOC yang mulai terancam oleh pengaruh Sultan Ageng Tirtayasa yang makin luas pada tahun 1655 mengusulkan kepada Sultan Banten agar melakukan pembaruan perjanjian yang sudah hampir 10 tahun dibuat oleh kakeknya pada tahun 1645. Akan tetapi, Sultan dengan tegas bersikap tidak merasa pelu memperbaruinya selama pihak Kompeni ingin menang sendiri.

Meskipun disibukkan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan tetap melakukan upaya-upaya pembangunan dengan membuat saluran air untuk kepentingan irigasi sekaligus memudahkan transportasi dalam peperangan. Upaya itu berarti pula meningkatkan produksi pertanian yang erat hubungannya dengan kesejahteraan rakyat serta untuk kepentingan logistik jika mengadapi peperangan. Karena Sultan banyak mengusahakan pengairan dengan melaksanakan penggalian saluran-saluran menghubungkan sungai-sungai yang membentang sepanjang pesisir utara, maka atas jasa-jasanya ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa (Tjandrasasmita, 1995:116).

Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedaganga asing dari Persia, India, Arab, Cina, Jepang, Filipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat, dengan Inggris, Prancis, Denmark, dan Turki.

Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kejayaannya, di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya yang sangat disegani, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia (Ekadjati (ed.), 1984:98).

Puncak konflik antara Banten dengan VOC terjadi setelah Perjanjian Amangurat II dengan VOC membawa pengaruh politik yang besar terhadap Kesultanan Banten, dan setelah pemberontakan Trunojoyo dapat dipadamkan, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa harus berhadapan dengan VOC (Wangania, 1995:44). Pada saat yang bersamaan Kesultanan Banten mengalami perpecahan dari dalam. Putra mahkota, Sultan Abu Nasr Abdul Kahar, yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Purbaya.Pemisahan urusan pemerintahan ini dimanfaatkan VOC untuk mendekati dan menghasut Sultan Haji guna melawan ayahandanya. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana Surasowan yang kemudian berada di bawah antara ayah dan anak setahun lamanya hingga Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap akibat pengkhianatan putranya sendiri, Sultan Haji. Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692 dan kemudian dimakamkan di Kompleks Mesjid Agung Banten (Ekadjati, 1995:101-102; Ensiklopedi Sunda, 2000:661; Wangania, 1995:45).

Dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1684 antara Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, dengan Belanda yang diwakili oleh Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuer, serta kapten bangsa melayu Wan Abdul Bagus, maka lenyaplah kejayaan dan kemajuan Kesultanan Banten, karena ditelan monopoli dan penjajahan Kompeni, akibat perjanjian ini Kesultanan Banten diambang keruntuhan. Selangkah demi selangkah Kompeni mulai menguasai Kesultanan Banten. Benteng Kompeni mulai didirikan pada tahun 1684-1685 di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan, dan benteng ini dirancang oleh seorang arsitektur yang sudah masuk Islam dan menjadi anggota kesultanan yang bernama Hendrick Lucaszoon Cardeel. Benteng yang didirikan itu diberi nama Speelwijk, untuk memperingati kepada Gubernur Jenderal Speelma. Dengan demikian, praktis Banten sebagai pusat kekuasaan dan kesultanan telah pudar. Demikian pula peran Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa telah tertutup. Tidak ada lagi kebebasan melaksanakan perdagangan (Tjandrasasmita, 1995:118)

Penderitaan rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi, selain karena sultan harus membayar biaya perang, juga karena monopoli perdagangan Kompeni. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya, terutama lada dan cengkeh, kepada Kompeni melalui pegawai kesultanan yang ditunjuk, dengan harga yang sangat rendah. Raja seolah-olah hanya sebagai pegawai Kompeni dalam hal pengumpulan lada dari rakyat. Pedagang-pedagang Inggris, Francis, dan Denmark, karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang yang lalu, diusir dari Banten.

Kerusuhan demi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang bergejolak selama pemerintahan Sultan Haji. Perampokan dan pembunuhan terhadap para pedagang dan patroli Kompeni, baik di luar kota maupun di dalam kota, kerap terjadi dimana-mana. Bahkan pernah terjadi pembakaran yang mengabiskan 2/3 bangunan di dalam kota. Ketidakamanan pun terjadi di lautan, banyak kapal Kompeni yang dibajak oleh "bajak negara" yang bersembunyi di sekitar perairan Bojonegara sekarang. Sebagian besar rakyat tidak mengakui Sultan Haji sebagai Sultan. Oleh sebab itu, kehidupan Sultan Haji selalu berada dalam kegelisahan dan ketakutan. Bagaimanapun penyesalannya terhadap perlakuan buruknya terhadap ayah, saudara, sahabat, dan prajurit-prajuritnya yang setia selalu ada. Akan tetapi, semuanya sudah terlanjur. Kompeni yang dulu dianggap sebagai sahabat dan pelindungnya, akhirnya menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakamam Sedakingkin sebelah utara Mesjid Agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa (Ismail, 1983:7; Tjandrasasmita, 1967:46; Michrob dan Chudari, 1993:164).

Pasca peristiwa tersebut, Banten memasuki fase sejarah sebagai bagian dari daerah koloni Belanda. Dan perlawanan-perlawanan sporadis menjadi warna yang kental pada masa pemerintahan berikutnya yang praktis tak berdaulat sebagai sebuah negara sebagaimana pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, yang telah berhasil membangun negara modern yang berdaulat.
Read more ...

Sabtu, 10 September 2011

Karawang Pusat Lumbung Padi Pasukan Sultan Agung Melawan VOC


Oleh Ahmad Sanusi

Sultan Agung (memerintah 1613-1646), raja terbesar dari Mataram, menggantikan ayahandanya, Panembahan Seda (ing) Krapyak, setelah ayahandanya ini wafat pada tahun 1613. Dalam kenyataannya dia tidak memakai gelar sultan sampai tahun 1641; mula-mula dia bergelar pangeran atau panembahan dan sesudah tahun 1624 dia bergelar susuhunan (yang sering disingkat sunan, gelar yang juga diberikan kepada kesembilan wali). Namun demikian, disebut Sultan Agung sepanjang masa pemerintahannya dalam kronik-kronik Jawa, dan gelar ini biasanya dapat diterima oleh para sejarawan.

Bagian yang paling bersejarah dalam masa Mataram islam ini adalah perlawanannya terhadap kebijakan monopoli VOC di Batavia (Sunda Kelapa). Sebelumnya kota ini bernama Fatahillah, kemudian berganti menjadi Jayakarta, pada masa VOC diganti menjadi Batavia dan setelah merdeka dirubah lagi menjadi Jakarta sampai sekarang ini.

Merebut Batavia dari tangan VOC tidaklah mudah, mengingat jauhnya jarak dari Mataram (Yogyakarta) ke Batavia (Jakarta). Jarak yang harus ditempuh pasukan Mataram selama 90 hari perjalanan. Membutuhkan persiapan yang harus matang. Persediaan logistic pangan dan air minum harus mencukupi. Untuk itu harus membentuk daerah-daerah lumbung pangan bagi tentara Mataram sebelum pertempuran sebenarnya terjadi.

Karawang yang merupakan daerah yang masih hutan belantara dan berawa-rawa rencananya akan dibentuk menjadi lumbung pangan tersebut. Daerah ini pada Abad XV adalah tempat ulama besar Syeikh Hasanudin bin Yusup Idofi dari Champa yang terkenal dengan sebutan Syeikh Quro yang mendukung terhadap perjuangan melawan VOC. Sebagian besar masyarakat Karawang pada masa itu adalah seorang santri yang menjadi petani. Kondisi masyarakat dan geografis Karawang sangat cocok untuk mendukung serangan ke benteng-benteng VOC di Batavia.

Keberadaan daerah Karawang juga telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Daerah Bogor, karena Karawang pada masa itu merupakan jalur lalu lintas yang sangat penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Galuh Pakuan yang berpusat di Daerah Ciamis.

Luas Wilayah Kabupaten Karawang pada saat itu, tidak sama dengan luas Wilayah Kabupaten Karawang pada masa sekarang. Pada waktu itu luas Wilayah Kabupaten Karawang meliputi Bekasi, Purwakarta, Subang dan Karawang sendiri .

Setelah Kerajaan PaJajaran runtuh pada tahun 1579 Masehi, pada tahun 1580 Masehi berdiri Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Prabu Geusan Ulun. Kerajaan Islam Sumedanglarang, pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur dengan membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan,Sukakerta dan Karawang. Pada tahun 1608 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Ranggagempol Kusumahdinata.
Ranggagempol Kusumahdinata sebagai Raja Sumendanglarang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Agung dan mengakui kekuasaan Mataram. Maka pada Tahun 1620, Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan kerajaan Sumedanglarang di bawah naungan Kerajaan Mataram.

Ranggagempol Kusumahdinata oleh Sultan Agung diangkat menjadi Bupati (Wadana) untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah disebelah Timur Kali Cipamali, disebelah Barat Kali Cisadane, disebelah Utara Laut Jawa, dan disebelah Selatan Laut Kidul.

Pada Tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat, dan sebagai penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, Putra Prabu Geusan Ulun.

Pada Tahun 1624, Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung, Jawa Timur untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 Prajurit dengan keluarganya, dari Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membentuk Karawang sebagai pusat logistic pangan sebagai persiapan melawan VOC di Batavia dengan membangun gudang-gudang beras dan meneliti rute penyerangan Mataram ke Batavia.

Langkah awal yang dilakukan Aria Surengrono adalah dengan mendirikan 3 (tiga) Desa yaitu Waringinpitu (Telukjambe), Desa Parakansapi (di Kecamatan Pangkalan yang sekarang telah terendam Waduk Jatiluhur) dan Desa Adiarsa (Sekarang ternlasuk di Kecamatan Karawang Barat), dengan pusat kekuatan di ditempatkan di Desa Waringinpitu.

Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dengan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakan kepada Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung mempunyai angqapan bahwa tuqas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal dilaksanakan.

Demi menjaga keselamatan Wilayah Kerajaan Mataram sebelah barat, pada tahun 1628 dan 1629, bala tentara Kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia. Namun serangan ini gagal disebabkan keadaan medan yang sangat berat. Sultan Agung kemudian menetapkan Daerah Karawang sebagai pusat logistik yang harus mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung berada dibawah pengawasan Mataram serta harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang sehingga mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun pesawahan guna mendukung pengadaan logistik dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC (belanda) di Batavia.

Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa Sari Galuh dengan membawa 1.000 prajurit dengan keluarganya menuju Karawang. Tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang dianggap gagal.

Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya langsung dilaporkan kepada Sultan Agung. Atas keberhasilannya Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugrahi jabatan Wedana (Setingkat Bupati) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama "Karosinjang".

Setelah penganugrahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dahulu ke Galuh untuk menjenguk keluarganya.Atas takdir IIlahi Beliau kemudian wafat saat berada di Galuh.

Setelah Wiraperbangsa Wafat, Jabatan Bupati di Karawang dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677.

Pada abad XVII kerajaan terbesar di Pulau Jawa adalah Mataram, dengan raja yang terkenal yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. la tidak menginginkan wilayah Nusantara diduduki atau dijajah oleh bangsa lain dan ingin mempersatukan Nusantara.

Dalam upaya mengusir VOC yang telah menanamkan kekuasaan di Batavia, Sultan Agung mempersiapkan diri dengan terlebih dahulu menguasai daerah Karawang, untuk dijadikan sebagai basis atau pangkal perjuangan dalam menyerang VOC.

Ranggagede diperintahnya untuk mempersiapkan bala tentara/prajurit dan logistik dengan membuka lahan-Iahan pertanian, yang kemudian berkembang menjadi lumbung padi.

Tanggal 14 September 1633 Masehi, bertepatan dengan tanggal 10 Maulud 1043 Hijriah, Sultan Agung melantik Singaperbangsa sebagai Bupati Karawang yang pertama, sehingga secara tradisi setiap tanggal 10 Maulud diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Karawang.

Berawal dari sejarah tersebut dan perjuangan persiapan proklamasi kemerdekaan RI, Karawang lebih dikenal dengan julukan sebagai kota pangkal perjuangan dan daerah lumbung padi Jawa Barat.

Sumber Pustaka :

1. A. Sartono Kartodihardjo, Prof. Dr., Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Cet. III, Jakarta, PT Gramedia, 1992.

2. Abdurrahman Mas’ud, MA. Ph.D, Intelektual Pesantren (perhelatan agama dan tradisi), Yogyakarta, LKis, 2004

3. Darsiti Soeratman, Prof. Dr., Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1930, Yogyakarta, Yayasan Untuk Indonesia, 2000.

4. H.J. De Graaf, Geschiedenis van Indonesie, Bandung, W. van Hoeve, 1949.

5. www.karawangkab.go.id
Read more ...

Perjuangan Rakyat Banten Menghadapi VOC


Dilakukan sejak tahun 1619 oleh Kerajaan Banten saat VOC berusaha hendak merebut bandar pelabuhan Merak, yang membuat orang Banten sangat marah dan menaruh dendam terhadap VOC. Apalagi VOC telah dengan sewenang-wenang merebut Jayakarta yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Banten dan berusaha memblokade pelabuhan dengan Kerajaan Banten.

Untuk menghadapi bahaya dan ancaman Kerajaan Mataram, VOC berusaha mendekati Kerajaan Banten. Tetapi Banten sudah terlanjur menaruh dendam terhadap Belanda. Pada Desember 1627 orang-orang Banten merencanakan pembunuhan terhadap J.P. Coen. Tetapi rencana itu bocor dan telah diketahui musuh. Kemudian mereka mengamuk dan membunuh beberapa orang Belanda.

Tahun 1633, ketika VOC bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang Banten yang berlayar dan berdagang di Kepulauan Maluku, maka pecah lagi peperangan antara Banten dan VOC. Keangkuhan orang Belanda ini memicu kemarahan dan sikap anti terhadap sifat kolonialis. VOC bukan saja ingin menguasai perdagangan tetapi juga menerapkan pajak yang tinggi terhadap rakyat Banten.

Orang-orang Banten merasa harga diri mereka dilecehkan. Mereka adalah penganut Islam kuat dan selalu memiliki semangat untuk menegakkan keadilan. Rakyat Banten menganggap orang-orang Belanda adalah orang-orang yang akan merusak tatanan kehidupan di tanah Banten.

Hubungan antara Kerajaan Banten dan VOC lebih gawat lagi ketika kerajaan itu diperintah oleh Sultan Abdulfatah. Abdulfatah yang dikenal gelarnya Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1682). Hal ini dibuktikan dengan peperangan-peperangan yang dilakukannya melawan VOC atau Kompeni Belanda, baik di darat maupun di laut. Di daerah-daerah perbatasan antara Batavia dan Kerajaan Banten seperti di daerah Angke, 'Pesing dan Tangerang sering terjadi pertempuran-pertempuran yang membawa korban kedua belah pihak.

Untuk melawan Banten, VOC membentuk pasukan-pasukan bayaran yang terdiri dari pelbagai suku bangsa seperti: Suku Bugis, Suku Bali, Suku Banda dan lain-Iainnya. Selain itu VOC juga terdiri dari pelbagai suku bangsa Indonesia yang bermukim dan bertempat tinggal di Jakarta, termasuk orangorang Cina, orang-orang Jepang serta keturunan orang-orang Portugis yang sudah menjadi kawula atau pegawai-pegawai VOC. Orang-orang Belanda senfliri yang tidak seberapa jumlahnya, karenanya selalu berada di garis belakang, namun dengan persenjataan lengkap bahkan mempergunakan senjata meriam.

VOC juga mendirikan dan memperkuat perbentengan-perbentengan mereka di perbatasan Kerajaan Banten, seperti di daerah Angke, Pesing dan lain-lainnya, Tahun 1658, dipimpin Raden Senopati Ingalaga dan Haji Wangsaraja menyerang Batavia di daerah Angke dan Tangerang. Kedatangan tentara Banten itu sudah diketahui VOC melalui mata-mata dan kaki tangan mereka.

VOC menyiapkan pasukan-pasukannya dan segera menyongsong tentara Banten itu. Dan terjadilah pertempuran seru. Dengan kapalkapalnya dan persenjataan meriam-meriamnya yang besar VOC mengurung serta menutup pelabuhan Banten, yang berakibat terhentinya perdagangan Kerajaan Banten.

Dengan cara yang demikian VOC banyak menimbulkan kerugian lawan, karena hidup kerajaan itu sebagian besar bergantung kepada perdagangan. Belanda yang licik berusaha memecah belah dan mengadu domba orang-orang Banten, yang berhasil mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa dan puteranya, Sultan Haji. Akhimya ayah dan anak itu bermusuhan dan berperang. Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC, sedang Sultan Haji berpihak pada VOC.

Pada bulan Pebruari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Tanggal 6 Maret 1682 VOC mengirimkan bantuan di bawah pimpinan Saint Martin. Sultan Ageng Tirtayasa dipukul mundur dan bertahan di Tirtayasa. Januari 1683 Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya serta sejumlah pasukan Banten berada di Parijan, Tangerang. Mereka tetap melanjutkan perjuangan melawan VOC. Kemudian Sultan Haji mengirim surat kepada ayahnya agar datang ke Istana, yang curiga memenuhi undangan puteranya.

Tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng tiba di Istana dan diterima dengan baik, tetapi kemudian ditangkap dan dibawa ke Batavia. Tahun 1695 Sultan Ageng Tirtayasa wafat. Setelah Sultan Ageng wafat, sisa-sisa tentara Banten tetap mengadakan perlawanan.

Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh ulama dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Negara Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya. Hal ini terlihat di berbagai pemberontakan yang dipimpin oleh kiai dan didukung oleh rakyat, antara lain peristiwa "Geger Cilegon" pada tahun 1886 di bawah pimpinan KH Wasyid (w. 28 Juli 1888) dan "Pemberontakan Petani Banten" pada tahun 1888.

Sumber : www.jakarta.go.id
Read more ...

Perjuangan Untung Surapati Melawan VOC


Pahlawan nasional yang tidak diketahui asal usulnya, kapan dan dimana dia lahir secara pasti. Sewaktu kecil, ia dipelihara sebagai budak oleh seorang perwira VOC, yang kemudian menjualnya kepada Edelaar Moor. Setelah memelihara budak itu, Edelaar Moor bertambah kaya dan kedudukannya semakin meningkat. Karena itu, diberinya nama Untung. Karena terdapat hubungan cinta antara Untung dan putri Moor, ia dimasukkan ke penjara.

Di penjara, ia mengalami siksaan berat. Kemudian ia berhasil melarikan diri bersama budak-budak lain yang dipenjarakan. Setelah bebas, Untung dan kelompoknya berkali-kali melancarkan serangan terhadap orang-orang Belanda di Jakarta dan sekitarnya. Belanda mengajaknya bekerja sama. Untung diangkat menjadi letnan tentara VOC.

Menurut Babad Kraton, Untung yang menjadi budak Belanda bernama Kapitan Emur, memberontak akibat penyiksaan yang dialami karena menjalin hubungan dengan anak majikannya. Di Cirebon ia bisa mengalahkan Ki Surapati yang menghadangnya. Sultan Cirebon memperkenankan Untung menggunakan nama Surapati sebagai hadiah.

Untung kemudian terlibat dalam konflik politik di Keraton Kartosuro dan mendapat perlindungan dari Amangkurat II. Dalam pertempuran di Kartasura pada tanggal 8 Februari 1686, Kapitein Tack dibunuh oleh pasukan Untung. Dari sumber yang lain, terungkap bahwa Untung sendiri gugur dalam sebuah serangan di Bagil oleh tentara VOC pada tanggal 5 November 1706. Disebutkan pula bahwa Untung sempat mendirikan kerajaan di Pasuruan dan menjadi raja yang bergelar .

Para sejarawan yang meneliti dokumen VOC mempunyai versi lain, pemberontakan Untung dipicu oleh pergantian pemimpin etnik Indonesia. Untuk memimpin orang di Bali, diangkat bekas perampok. Hal ini dirasa merendahkan martabat orang-orang yang sebelumnya menjadi bagian keluarga terhormat seperti Untung. Apalagi saat itu Untung dijadikan milisi VOC hingga mencapai pangkat letnan dalam sebuah pasukan yang terdiri dari orang Bali.

Suatu kali Letnan Untung bertengkar dengan seorang perwira Belanda yang berlaku kasar dan sombong. Ia keluar dari dinas tentara dan bertekad tidak mau lagi bekerjasama dengan Belanda, lalu pergi ke Mataram. Susuhunan Mataram menyambutnya dengan baik dan dipercayakan memimpin sepasukan tentara. Waktu itu hubungan Mataram dengan VOC kurang baik.

Dalam pertempuran yang terjadi di Kartasura pada tanggal 8 Februari 1686, pasukan Untung berhasil menghancurkan pasukan VOC di bawah pimpinan Kapten Tack, bahkan kapten Tack tewas. Dengan persetujuan Susuhunan Mataram, Untung Surapati berangkat ke Jawa Timur. Ia mendirikan kerajaan yang berpusat di Pasuruan. Sebagai raja, ia memakai gelar Adipati Aria Wiranegara. Pada bulan November 1706, VOC dan sekutu-sekutunya mengerahkan kekuatan yang besar untuk menghancurkan kerajaan tersebut.

Pertempuran sengit terjadi. Karena persenjataan lebih unggul dan jumlah tentara lebih banyak, akhirnya VOC berhasil mengalahkan pasukan Untung Surapati. Ia sendiri mengalami luka-luka berat sewaktu bertempur mempertahankan Bangil dan meninggal dunia pada tanggal 5 November 1706. Namanya diabadikan sebagai nama taman di daerah Menteng yang dulu bernama Burgermeester.

Sumber : www.jakarta.go.id
Read more ...

Jumat, 09 September 2011

Kegigihan Pangeran Diponegoro Melawan VOC


Seorang pahlawan nasional, bernama kecil Raden Mas Ontowiryo, lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 Nopember 1785. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III, ingin mengangkatnya sebagai raja, tetapi ia menolak karena ibunya bukan permaisuri. Sekitar tahun 1820-an campur tangan Belanda dalam persoalan Kerajaan Yogyakarta makin besar. Peraturan tata tertib yang dibuat Pemerintah Belanda sangat merendahkan raja-raja Jawa, para bangsawan diadu domba sehingga dalam istana terdapat golongan yang pro dan yang anti Belanda. Kedua golongan itu saling curiga mencurigai. Sementara itu, tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil untuk perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belanda.

Diponegoro mulai memperlihatkan perasaan tak senang dan meninggalkan keraton untuk menetap di Tegalrejo. Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.

Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Belanda menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Tanggal 20 Juni 1825 pasukan Belanda menyerang Tegalrejo, dan mulailah perang terbesar yang pernah terjadi di Jawa (1825-1830).

Diponegoro membangun pusat pertahanan baru di Selarong dan perang dilancarkan secara gerilya, gerakan pasukan berpindah-pindah, sehingga sulit dihancurkan. Tahun-tahun pertama pasukannya unggul, Belanda menghadapi banyak kesulitan, lalu mengganti siasat. Di tempat-tempat yang sudah dikuasai didirikan benteng-benteng, sehingga gerakan pasukan Diponegoro dapat dibatasi. Selain itu, beberapa orang tokoh perlawanan dibujuk sehingga mereka menghentikan perang.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.

Sejak tahun 1829 perlawanan semakin berkurang, tapi belum padam. Belanda berjanji akan memberi hadiah sebesar 50.000 gulden kepada siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro. Kekuatan perlawanan tambah lemah, tapi ia tidak mau menyerah. Karena tidak berhasil menangkap, pimpinan tentara Belanda menjalankan muslihat. Pangeran Diponegoro diundang ke Magelang 28 Maret 1830 diajak berunding, namun justru ditangkap.

Pada 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC pada 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang yang dilukiskan kembali oleh Raden Saleh merupakan karya masterpiece yang pernah dibuat di Indonesia. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro.

Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.

Pada tanggal 30 April 1830 keputusan pun keluar. Sebelum dibuang ke Manado, Diponegoro disekap di Penjara Bawah Tanah Stadhuis. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno dipindahkan lagi ke Manado. Tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. Tahun 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Jl. Diponegoro Makassar, Sulawesi Selatan. Juli 2008 Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai saat ini keturunan Ki Sodewo masih tetap eksis dan salah satunya menjadi wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono.

Pangeran Diponegoro memiliki 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku. Di Jakarta, untuk menghargai jasanya namanya diabadikan sebagai nama jalan di Menteng (menggantikan Oranje Boulevard) dan dibuatkan sebuah patung yang menghiasi pelataran Monas.

Sumber bahan :

1. www.jakarta.go.id
2. wikipedia.org
3. wangsawijaya.wordpress.com
Read more ...

Sejarah Jakarta, Keberhasilan Fatahillah Mengusir Portugis

Disebut juga Faletehan, merupakan Panglima Pasukan Cirebon yang bersekutu dengan Demak dan berhasil menjadi penguasa Sunda Kelapa, dari kekuasaan Portugis pada tanggal 22 Juni tahun 1527. Sunda Kelapa kemudian oleh Fatahillah pada tanggal 22 Juni 1527 diganti nama menjadi Jayakarta, Fatahillah anti terhadap penjajahan bangsa Portugis, karena mereka dengan bantuan syahbandarnya menaklukkan kota kelahirannya, yaitu Pasei di Aceh (Sumatera) pada tahun 1521. Ia meninggal pada tahun 1570 dan dimakamkan di Cirebon.

Nama aslinya Faddillah Khan atau Faletehan. Ia juga dinamai Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Berdasarkan jalannya peristiwa sejarah yang diuraikan dalam Purwaka Caruban Nagari nama Fadhillah lebih memungkinkan untuk disamakan dengan berita Portugis yang menyebut Falatehan, demikian juga arti Fadhillah sangat mirip dengan Fatahillah yang berarti juga "kemenangan karena Allah".

Menurut sumber "Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari" dan "Negarakertabhumi", ayah Fatahillah dari Pasei merupakan seorang keturunan Arab dari Gujarat (India), Pada tahun 1521 Pasei berhasil direbut Portugis, kemudian ia berlayar ke Mekah. Sekitar tahun 1525 ia ke Jepara dan menikah dengan Nyai Ratu Pembayun (adik Sultan Trenggana dari Demak).

Kemudian berturutturut menaklukkan daerah Banten dan Sunda Kalapa. Setelah kemenangan itu, kemudian Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu (puteri Sunan Gunung Jati). Tidak diketahui secara pasti ia menguasai Jayakarta, namun saat akhir hidupnya berada di Cirebon dan dimakamkan di sana.

Fatahillah merupakan seorang tokoh penyebar agama Islam di Jawa Barat yang berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis pada tanggal 22 Juni 1527. Kemudian ia menggantinya menjadi Jayakarta, yang berarti "kemenangan yang sempurna". Kota ini dalam perkembangannya berubah nama menjadi Jakarta dan tanggal 22 Juni menjadi hari jadi kota tersebut. Sifat perekonomian serta perdagangannya mengandung unsur-unsur Islam atau syariah Islamiah.

Usahanya untuk mensiarkan Islam, baik dalam usaha pemerintahan maupun diplomasinya dengan raja-raja Islam menunjukkan sebagai seorang ulama dan negarawan mahir. Ketekunannya dalam memperjuangkan Islam serta kesungguhannya mengamalkan agama Islam, menjadikannya tergolong deretan Wali Sanga (Wali Sembilan).

Ia dipandang sebagai Panglima Perang yang cakap dan gagah perkasa. Jasanya sangat besar dan pengaruhnya dalam memperluas wilayah dan penyebaran Islam terutama di pesisir air pantai utara Jawa. Selain Jakarta sebagai daerah dakwahnya adalah Kerajaan Demak, Banten, dan Cirebon. Itulah sebabnya sejarah Fatahillah yang telah mendirikan Kota Jakarta tak dapat dipisahkan dengan Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten.

Sebagai penghargaan dan peringatan akan jasa-jasanya, maka di Jakarta terdapat taman Fatahillah, dan sebagai lambang untuk melanjutkan cita-cita dakwah Islamnya serta perjuangannya menegakkan kebenaran serta mengusir penjajah, maka namanya dipergunakan sebagai nama salah satu Perguruan Tinggi Islam di bawah Departemen Agama, yaitu lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berlokasi di Ciputat.

Sumber : www.jakarta.go.id
Read more ...

Perjuangan Tuanku Imam Bonjol Di Sumatra Barat


Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837.

Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. "Tuanku Imam Bonjol" adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin

Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belanda.

Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol.

Pahlawan nasional, bernama asli Muhammad Sahab. Lahir di Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, pada tahun 1772. Setelah belajar agama pada beberapa orang nulama di Sumatera Barat, ia menjadi guru agama di Bonjol. Dari sini ia menyebarkan paham Paderi di Lembah Alahan Panjang bahkan sampai ke Tapanuli Selatan. Sebagai tokoh Paderi, ia cukup disegani.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan ajaran Islam. Para penjuang Padri sangat taat menjalankan agamanya, hal inilah yang menjadi modal utama perjuangan Tuanku Imam Bonjol.

Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan berjudi sabung ayam, minum arak, dan kebiasaan lainnya yang dianggap merusak moral dan tatanan masyarakat. Sayangnya kebiasaan ini sudah membudaya di raja-raja adat.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tahun 1824.

Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya "Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.

Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terda[at nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
[sunting] Penangkapan dan pengasingan

Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Sebagai penghargaan bagi Pahlawan ini banyak kota lain di Indonesia banyak digunakan sebagai nama jalan. Di Jakarta namanya diabadikan di poros utarna Menteng, yang menghubungkan Jl. Diponegoro dengan Bundaran HI.

Sumber bahan:

1. www.jakarta.go.id

2. www.tokohindonesia.com

3. wikipedia
Read more ...