Rabu, 28 Agustus 2019

Puputan Margarana I Gusti Ngurah Rai Melawan Belanda

I Gusti Ngurah Rai.
Inilah kisah heroik yang bener-bener meneteskan air mata, bagaiamana seorang komandan tempur terdepan berada bersama anak buahnya dan tidak gentar untuk menghadapi Belanda sampai titik darah penghabisan.

Dialah Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang  terkenal dengan istilah Puputan Margarana-nya. Dia mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Rl No. 063/TK/Tahun 1975 tanggal 9 Agustus 1975 dengan pangkat terakhir.  Brigadir Jenderal yang dikebumikan di Taman Pujaan Bangsa Margarana.

I Gusti Ngurah Rai lahir pada tanggal 30 Januari 1917 di Desa Carangsari, Badung, Bali. Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Patjung dan ibunya I Gusti Ayu Kompyang.  Awalnya I Gusti Ngurah Rai  mendapatkan pendidikan militer  dari kolonial Hindia Belanda di Gianyar, Bali, sejak  Desember  tahun  1936. Pendidikan militer ini dikhususkan untuk para bangsawan.

Selesai pendidikan di Gianyar kemudian melanjutkan ke  Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO),  Magelang, Jawa Timur dengan spesialisasi artileri perang.  Selesai pendidikan dengan pangkat letnan dua kemudian menjadi bagian dari Korps Prayudha Bali.  I Gusti Ngurah Rai sempat berdinas di kemiliteran Belanda di masa penjajahan Hindia Belanda.

Pada Perang Dunia II Jepang melakukan serangan ke Pearl Harbor dan menguasai sebagain besar Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Jepang masuk ke Bali melalui Pantai Sanur tanggal 18 sampai tanggal 19 Februari 1942.  Invasi ini benar-benar tanpa perlawanan berarti dari Belanda, maupun dari Pihak Republik. Belanda keluar dari Indonesia dan senjatanya di lucuti tentara Jepang. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai tidak aktif lagi di dinas militer Belanda.

I Gusti Ngurah Rai bersama Pasukan Ciung Wanara
Pada masa pendudukan Jepang para mantan militer Belanda  yang pribumi  banyak dipekerjaan berbagai instansi untuk kepentingan Jepang. Waktu itu Ngurah Rai bekerja sebagai pegawai pada Mitsui Hussan Kaisya, yaitu sebuah perusahan untuk mengumpulkan  dan membeli hasil pertanian para penduduk.

Pada riwayat selanjutnya Pemerintah Jepang  mulai membentuk  badan kemiliteran dari para penduduk Indonesia yang diberi nama Pembela Tanah Air (PETA), Haiho (prajurit cadangan) dan Kompetai (polisi Jepang). Pada masa kedepan setelah Jepang kalah perang para anggota PETA dan Haiho ini bergabung ke BKR atau TKR.

Para pemuda yang pernah terjun ke dunia militer dipaksa untuk ikut dalam organisasi kemiliteran ini, tetapi I Gusti Ngurah Rai menolak dan lebih ingin untuk membentuk sendiri  untuk kepentingan bangsa Indonesia sendiri.  Secara diam-diam  Ngurah Rai sudah mengumpulan para pemuda di Bali, kemudian perkumpulan itu diberi nama  “Gerakan Anti Fasis” (GAF) yang menentang penjajahan Jepang, yang perkembangannya kedepan dibentuk menjadi Badan Keamanan Rakyat.

Pada masa zaman Nippon inilah I Gusti Ngurah Rai menikahi wanita yang bernama Ni Desok Putu Kari. Dari pernikahan ini memperoleh  tiga  anak laki-laki dan satu orang  perempuan.  Sayangnya anak yang perempuan meninggal tidak lama paska diahirkan.

Ketika itu dorongan untuk membentuk badan resmi kemiliteran untuk kepentingan persiapan kemerdekaan Republik Indonesia sudah mulai besar.  Hasratnya itu baru terlaksana setelah Jepang tekuk lutut kepada Sekutu karena yang menghancurkan dua kota Jepang yaitu  Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom. Dorongan ini semakin kuat karena berbagai elemen masyarakat di tempat lain juga telah melakukan konsolitasi untuk membangun organisasi militer yang lebih resmi.

Pada masa selesai Perang Dunia  II dan tidak lama setelah itu  Proklamasi dikumandangkan oleh Ir. Soekarno di Jakarta,  I Gusti Ngurah Rai  yang semasa  dinas sudah berpangkat kolonel ilmunya dimanfaatkan untuk mendidik para pemuda yang akan bergabung ke  Badan Keamanan Rakyat  di Bali. Banyak pada pemuda yang turut bergabung, sebagian besar adalah para pemuda dari  “Gerakan Anti Fasis” (GAF). 

Untuk mengumpulkan senjata dari kepentingan BKR di Bali, I Gusti Ngurah Rai dan kawan-kawannya melakukan aksi perebutan senjata diberbagai tangsi-tangsi  dan kantor-kantor pemerintah Nippon. Usaha perebutan senjata ini terkadang secara damai tetapi juga terpaksa dengan aksi militer, karena ada juga tentara Jepang yang  hanya mau menyerahkan senjatanya kepada Sekutu.

Informasi bahwa Jepang telah bertekuk lutut dan akan menyerahkan senjatanya kepada Sekutu banyak didengar oleh para pemuda di Bali sehingga inisiatif untuk segera melucuti tentara Jepang banyak bermunculan. Usaha mengumpulkan senjata ini lebih giat lagi setelah Jepang menyerahkan kekuasaan pemerintahan sementara di Bali kepada  Gubernur Mr. Ketua Puja  pada tanggal 8 Oktober 1945.

Para pemuda di Bali mengikuti perkembangan dari Jakarta dan Yogyakarta yang meminta untuk segera membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), karena memang sebelumnya sudah terbentuk BKR, maka BKR bertransformasi menjadi  TKR yang diputuskan dalam rapat pada bulan November 1945 di  Puri Raja Badung, di Denpasar. 

Hasil putusan rapat itu juga mengangkat  Mayor I Gusti Ngurah Rai menjadi Kepala Divisi TKR Sunda Kecil di Bali.   Wayan Ledang  diangkat sebagai sebagai Kepala Staf, sedangkan Kepala Barisan Penggempur diserahkan kepada I Gusti Putu Wisnu.  Sebagai Kepala Devisi TKR I Gusti Ngurah Rai hanya bermodalkan senjata bekas penyembunyian pada masa dinas menjadi militer Belanda pada Satuan Prayoga tahun 1942.

Pasukan yang sudah terbentuk itu kemudian diberinama TKR Sunda Kecil. Pasukan TKR Sunda Kecil terkenal dengan kemampuan dalam bertempur. Walau baru berdiri tetapi berbagai pertempuran harus sudah dihadapi baik terhadap sisa-sisa pasukan Jepang&ndi Bali.

Pada tanggal 15 Desember 1945 di pihak Jepang sebagian Angkatan Lautnya ditarik ke Jepang, tetapi ternyata digantikan lagi dengan Angkatan Darat. Sikap serdadu Jepang Angkatan Darat ternyata lebih tegas dari pada Angkatan Lautnya. Tersiar kabar bahwa Jepang akan melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para pemimpin di Bali dan akan menuntut atas pengembalian tangsi dan kantor Jepang yang direbut oleh para pemuda Republik.

Atas sikap Jepang itu TKR dan laskar-laskar rakyat melakukan dibeberapa tempat seperti di Denpasar, Tabanan dan Singaraja yang menyebabkan korban berpuluh-puluh orang di pihak Jepang. Pada saat itu pihak Republik berpangkalan di Puri Kasiman. Serangan itu direspon oleh pihak Jepang dan kemudian melakukan penangkapan. Salah satu yang ditangkap adalah dr. Subadi yang menjadi Kepala Palang Merah di Bali. Korban-korban yang ditawan disiksa oleh Jepang sebagai aksi balas dendam. Sebagian tawanan tidak diketahui lagi termasuk dr. Subadi.

Pasukan BKR dengan senjata sederhana

Pada tanggal 2 Maret 1946 tentara Sekutu  yang diboncengi pasukan NICA (Netherlands India Civil Administration) mendarat di Sanur, Denpasar.   Kedatangan Sekutu ini merupakan misi dari  perjanjian Wina yang disepakati tahun 1942 antara para Sekutu pemenang Perang Dunia II. Salah satunya adalah mengembalikan kekuasan lama sebelum Jepang , negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki Jepang ke pemilik koloni sebelumnya. Dalam hal ini pendudukan Indonesia akan dikembalikan ke Belanda.

Tentara NICA Mendarat di Bali
Pasukan Sekutu berkompoi dengan truk dan tank memasuki kawasan perkotaan dan  pedesaan untuk melucuti tentara Jepang dan mengumpulkan senjatanya. Tentara Jepang hanya menunggu didalam tangsi-tangsi dan kantor Nippon.

Tentara Jepang yang diwajibkan untuk menyerahkan semua senjatanya kepada Sekutu semakin sulit untuk diajak berunding untuk menyerahkan senjatanya kepada para pemuda untuk kepentingan persenjatan TKR yang masih baru. Bahkan mereka menunjukkan permusuhan kepada para Pemuda di Bali. 

Hasil kesepakatan para  pemuda terpaksa mereka  melakukan serangan serentak  yang rencananya akan lakukan pada tanggal 13 Desember 1945 terhadap tangsi-tangsi Jepang, tetapi sayangnya pihak Jepang sudah mengetahui rencana ini sehingga pihak Jepang jutru melakukan penyerangan duluan. Pihak Jepang juga banyak melakukan penangkapan terhadap para pemuda salah satunya adalah Gubernur Mr. Ketua Puja untuk menghentikan niat para pemuda untuk merebut senjata Jepang.

Pada saat itu aksi-aksi pasukan Jepang terhadap para pemuda membuat konsolidasi dan konsentrasi pembentukan Tentara Keamanan Rakyat jadi berantakan. Senjata-senjata yang semula sudah dikumpulkan para pemuda diambil lagi oleh Jepang. 

Kondisi yang tidak menguntungkan ini menyebabkan  I Gusti Ngurah Rai bersembunyi ke Munsiang di Tabanan Utara. Dari sini konsolidasi para pemuda dibangun lagi.  I Gusti  Ngurah Raid an para pemuda mencari cara untuk mendapatkan pasokan senjata untuk memperkuat TKR yang baru terbentuk. Dari hasil rapat diputuskan untuk mencari senjata di Pulau Jawa.

I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta dan berusaha mengontak orang-orang di Markas Umum TKR di Yogyakarta. Sayangnya kondisi di Yogyakarta juga tidak berbeda jauh dengan di Bali yang fasilitar TKR-nya masih terbatas dan sulit, tetapi kedatangannya ke Yogyakarta menjadi konsolidasi secara nasional yang penting.

Agar  kekuatan militer tetap ada dan para pemuda TKR tetap memiliki semangat tempur, berbagai persenjataan seadanya dikumpulan termasuk juga membuat bambo runcing.  Pusat-pusat kekuatan rakyat dan TKR digunung-gunung  dan hutan juga dibuat agar Jepang dan Sekutu tidak mudah datang. Berbagai pertahanan semu dan jebakan-jebakan juga dirancang untuk menipu  tentara Jepang dan Belanda yang berpusat di kota-kota.

Di lain tempat hasil Perundingan Linggarjati, Jawa Barat, pada tanggal 15 November 1946 menyebabkan Republik Indonesia secara de facto hanya diakui memiliki Jawa, Sumatra dan Madura. Jelas perundingan ini sangat merugikan bangsa Indonesia.  Pulau Bali akan masuk ke dalam Republika Indonesia Timur yang dikendalikan oleh Belanda.

Hasil perundingan ini banyak ditentang oleh rakyat Bali yang tidak menginginkan Republik ini dipecah-pecah dan bahwa Proklamasi Kemerdekaan yang disampaikan  pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan untuk Jawa, Sumatra dan Madura saja tetapi untuk seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merouke.

Keputusan Linggarjati itu ditanggapi oleh I Gusti Ngurah Rai yang mengatakan, ”Jangan gentar, Sunda kecil harus mampu’berdiri sendiri. Lanjutkan perjuangan dengan apa yang ada walaupun perhatian dari pusat kurang.”

I Gusti Ngurah Rai meningkatkan aktifitas gerilyanya dengan serangan-serangan seporadis yang cepat kemudian segera masuk ke hutan.  Salah satu aksi serangan gerilya ke Tabanan terjadi pada tanggal 18 November 1946, tiga hari setelah Perundingan Linggarjati. Serangan ini benar-benar mendadak diluar perkiraan Belanda, sehingga pihak Belanda banyak yang tewas.

Pada tanggal 20 November 1946 aksi gerilya I Gusti Ngurah Rai dipusatkan untuk mendapatkan senjata dari tentara dan polisi NICA yang sedang ada di Tabanan. Operasi ini berhasil baik dan TKR mendapatkan beberapa pucuk senjata dan pelurunya, bahkan seorang komandan polisi Belanda pribumi juga ikut menggabungkan diri dalam perjuangan I Gusti Ngurah Rai.

Terjadi juga berbagai serangan kecil dimana-mana yang membuat posisi Belanda mulai kewalahan sehingga meminta didatangkan pasukan dari berbagai tempat di Sunda Kecil.  Dengan sesegera mungkin pihak Belanda mengumpulkan seluruh kekuatannya di Bali untuk menghadapi pasukan TKR yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai.

Termasuk juga pasukan Belanda yang ada di Pulau Lombok dan Sunda Kecil lainnya ditarik ke Pulau Bali. Pasukan Ngurah Rai berhadapan dengan berbagai satuan militer Belanda seperti “Gajah Merah” dan “Anjing NICA”, juga satuan polisi Belanda.

Belanda juga mendatangkan pesawat-pesawat tempur dari Makassar untuk berbagai  operasi di Tabanan. Pada tanggal 20 November 1946 itu juga pesawat-pesawat tersebut berputar-putar diatas Tabanan untuk melihat dan menyerang pasukan gerilya TKR yang masuk ke Tabanan. Terpaksa pasukan TKR mundur kearah Dusun Marga dengan menyusuri hutan disekitar Gunung Agung.  Pada hari yang sama hampir semua pasukan TKR  berkumpul dan terkonsolidasi di Dusun Marga.

Belanda benar-benar menjaga sekitar desa dengan kekuatan penuh dan berlapis. Kemudian pada jam 05.30 tanggal 20 November 1946  pasukan Belanda benar-benar merangsak ke dalam Dusun Marga, Desa Kalaci. Kondisi perbekalan dan peluru yang kurang I Gusti Ngurah Rai membuat taktik menunggu. Posisi I Gusti Ngurah Rai yang belum diketahui pasti menyebabkan Belanda mencari-cari di sekitar Desa Marga.

Pada jam 9.00 pagi pasukan Belanda sudah mengetahui posisi tentara TKR. Pada jarak yang dekat pertempuran sengit terjadi.  Di udara pesawat pengintai Belanda terus berputar untuk memastikan posisi-posisi pasukan Ciung Wanara. Serangan dari timur, barat dan selatan harus dihadapi oleh tentara TKR.

Pada kurang lebih jam 10.00 senjata mesin yang sebelumnya tidak digunakan karena harus menghemat  peluru terpaksa digunakan untuk menghentikan  laju pasukan Belanda. Untungnya hal ini berhasil menghentikan laju pasukan Belanda dalam jarak yang sudah dekat, dan justru keadaan menjadi membalik pasukan baris depan Belanda banyak yang tewas tertembak. Komandan Belanda meminta bantuan didatangkan lagi pasukan tambahan, juga pesawat-pesawat tempur.

Pasukan Ciung Wanara tetap memberikan perlawanan sengit, justru tentara Belanda banyak terjadi korban sehingga mereka tidak berani untuk mendekat. Dalam kondisi yang semakin sulit dan jumlah pasukan yang tinggal satu kompi saja I Gusti Ngurah Rai berusaha meloloskan diri dari posisi kepungan yang mengunci. 

Pasukan Ngurah Rai menggunakan kondisi alam untuk berlindung dan bergerak kearah utara menyusuri lembah.  Pesawat Belanda lagi berputar-putar di atas lembah dan tidak ingin kehilangan targetnya. Kemudian melakukan tembakan-tembakan dari udara.

I Gusti Ngurah Rai memerintahkan anak buahnya untuk berpencar. Sayangnya disekitar lembah ada jurang yang dalam. Tembakan dari udara juga diselingi dengan peluncuran roket dari pesawat-pesawat yang membuat pasukan Ciung Wanara benar-benar terjepit.

Di sisi lain pasukan Belanda juga terus mendekat dan melakukan berondong tembakan. Kondisi yang kritis ini tidaklah mengendurkan semangat I Gusti Ngurah Rai. Dia berteriak kepada anak buahnya. “Puputan,” Seru I Gusti Ngurah Rai.  Akhirnya pertempuran yang tidak seimbang itu menyebabkan I Gusti Ngurah Rai gugur bersama dengan seratus orang anggota pasukan Divisi Sunda Kecil gugur.

Sumber dan Referensi :
- Indrawati Muninjaya, Nyoman Sirna, Biografi Drs. I Nyoman Sirna MPH, "Sang Guru, Sebuah Memoar Tentang Perjuangan dan Pengabdian"
- Dr. A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia", 1984.
- Wayan Djegug A Giri, "Puputan Margarana", Denpasar: YKP, 1990.
-  M. Soenjata Kartadarmadja, "I Gusti Ngurah Rai", 1985.
- I Gusti Ngurah Pindha, "Perang Bali - Sebuah Kisah Nyata", 
-  wikipedia.org
Read more ...