Selasa, 03 September 2019

Bandung Lautan Api Sebuah Sejarah Pilu yang Tidak Akan Terlupakan

Para Pejuang dan Rakyat meninggalkan Bandung Utara.
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 belumlah menjadi akhir dari perjuangan untuk menempuh kemerdekaan yang hakiki, tetapi itu barulah tonggak untuk masuk ke era perjuangan berikutnya untuk menghadapi Belanda dan Sekutu yang ingin masuk dan berkuasa lagi.

Salah satu perjuangan yang sangat heorik terjadi di Bandung, Jawa Barat. Sebuah riwayat sejarah yang terkenal dengan istilah Bandung Lautan Api. Sampai sekarang istilah itu masih akrab terdengar dan memberi inspirasi atas sebuah sejarah perjuangan bangsa ke generasi berikutnya.

Sejarah Bandung lautan api dimulai pada tanggal 12 Oktober 1945 dengan kedatangan  pasukan Inggris yang dipimpin Brigade MacDonald. Kedatangan pasukan Inggris ini diikuti oleh NICA yang memiliki niat untuk kembali menjajah Indonesia yang baru merdeka.

Kedatangan pasukan sekutu ini menimbulkan dilema bagi para pemimpin RI di Jakarta, disatu sisi harus menunjukkan sikap hormat sebagai bagian dari diplomasi tetapi juga harus menunjukkan sikap tegas sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.  Tetapi sikap bersahabat itu tidak ditunjukan oleh pihak Sekutu. Pada saat kedatangannya mereka sudah mengultimatum rakyat untuk segera menyerahkan senjata. Mereka juga tidak mengakui Pemerintah RI dan juga TKR.

Ultimatum Sekutu ini ditanggapi dingin oleh rakyat Jawa Barat, mereka meyakini bahwa kemerdekaan sudah diraih dan harus dipertahankan.  Berbagai konflik banyak terjadi setelah kaum interniran Belanda yang semula ditahan Jepang dibebaskan. Mereka dengan sengaja mengacaukan keadaan dan melakukan berbagai insiden terhadap pihak rakyat Indonesia. Bentrokan tidak dapat dihindari antara TKR dan Sekutu yang dibantu NICA.

Berbagai intrik dan insiden dari para interniran ini direaksi oleh rakyat Bandung Pengumuman dari Pemerintah Jawa Barat untuk mengosongkan Bandung bagian utara seperti yang ditulis di buku  A.H.Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, sebagai berikut:

“….Berhubung dengan keadaan genting di Bandung yang disebabkan oleh adanya pengumuman dari fihak Inggris tentang pengosongan daerah kota Bandung sebelah utara jalan kereta api, maka pemerintah pusat telah mengadakan pembicaraan langsung dengan pimpinan tentara Inggris di Pulau Jawa.

Mengingat sukarnya keadaan penduduk kota Bandung sebelah utara kalau bagain tiu mesti dikosongkan maka hal itulah yang mendapat perhatian istimewa dalam pembicaraan itu.

Hasil pembicaraan itu ialah bahwa penduduk  kampung-kampung di bagian utara itu tidak usah dipindahkan. Sebaliknya keamanan di dalam di dalam kota bagian kota itu mesti terjamin dan usaha di dalam hal itu ialah supaya orang-orang yang mengganggu keamanan itu dikeluarkan dari bagian kota itu.

Untuk mencapai hal itu maka dengan segera akan diadakan pembicaraan antara Brigadir Mac Donald dan Gubernur Jawa Barat.

Perlu diterangkan disini, bahwa bukan saja bangsa Indonesia yang membawa senjata akan ditangkap, segala bangsa yang membawa senjata juga akan ditangkap.

Kami mengeluarkan penghargaan seupaya rakyat Bandung tetap tenang dan menjaga supaya keamanan jangan terganggu.

Dari pemerintah akan diambil seperlunya supaya kedudukan Negara kita jangan diancam oleh orang-orang yang terang berusaha melemahkan kedudukan kita…”

Kabiner Sahrir sendiri sebulan kemudian akan memerintahkan pengosongan oleh TKR dan lascar-laskar RI. Pemerintah pusat yakin bahwa jalan diplomasi yang paling tepat untuk  mencapai pengakuan kemerdekaan. Untuk itu harus dihindari kerusuhan-kerusuhan dan insiden-insiden. Untuk itu haruslah ditunjukkan pemerintah sipil kita berjalan dengan baik.

Mengosongkan Bandung Utara
Sesungguhnya tidaklah  terjadi apa yang telah muluk-muluk disampaikan oleh para pemimpin Sekutu kepada para Pemimpin bangsa kita, karena faktanya mereka membawa AMACAB, RAPWI,  DAN KNIL  yang merupakan organ-organ untuk menciptakan kembali penjajahan Belanda di Indonesia.

Di sisi TKI dan laskah-laskar RI yang sedang siap-siapnya berjuang merasa bahwa de facto itu tak mungkin dapat dicapai tanpa tekanan dan aksi dari TKR. Untuk menyampaikan perasaan itu para komandan TKR berkonsolidasi dan mengirimkan utusan ke Jakarta. Utusan tersebut adalah Kepala Staf Komandemen Jawa Barat sendiri dan juga bersama dengan Panglima berangkat ke Jakarta pada bulan Oktober dan November 1945. Serta ikut juga dalam berbagai perundingan Menteri Penerangan dan Menteri Pertahanan dengan pihak Sekutu.

Pembakaran gedung dan bagunan
Posisi Sekutu di Bandung sangat terancam sehingga merasa perlu untuk mendatangkan lagi 1 batalyon Maharatta (tentara Gurka India Sekutu) untuk membantu Devisi Mabutji (Devisi tentara Jepang). Devisi Mabutji ini adalah tentara Jepang yang dimanfaatkan oleh Sekutu untuk ikut memukul perjuangan TKR dan Laskah-laskar di Bandung. Kekuatan dan keahlian dari Devisi Mabutji ini sangat tinggi dan peralatan yang sudah cukup canggih.  Untungnya Sekutu sendiri sedang kesulitan tentara yang dapat digunakan di Bandung karena Divisi India ke-7 sedang sagnat diperlukan di Malaya.

Pada tanggal 1 Desember 1945 Kota Bandung dibombardir oleh Sekutu. Ledakan-ledakan besar tersebut sampai meninggalkan lubang selebar 12 meter.  Pertempuran di Bandung meluas sampai wilayah-wilayah lain di Jawa Barat.  Dari Cibadak, Sukabumi, Cianjur, Ciujung dan Padalarang.

Aksi pesawat-pesawat terbang Masquioto dan Thunderbold juga dimanfaat untuk terus menggempur Kota Bandung secara membabibuta. Cibadak yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian TKI juga diserang habis dengan pesawat tempur. Gedung, bangunan, rumah-rumah dan jalan-jalan rusak berat.

Bogor juga dianggap menjadi tempat bagi TKR dan lascar rakyat sehingga dikepung penuh oleh tentara India yang banyak  menimbulkan korban dipihak kita. Istana Bogor diduduki oleh Sekutu dan wilayah sekitarnya di hancurkan.

Tanggal 24 November 1945  TKR dan lascar-laskar rakyat melancarkan serangan gerilya terhadap markas sekutu di Bandung bagian utara. Tiga hari pascapenyerangan, MacDonald mengultimatum Gubernur Jawa Barat segera mengosongkan wilayah Bandung bagian utara, termasuk rakyat dan tentara. Pimpinan di Jakarta memerintahkan TKR dan  laskah rakyat mundur dan menghindari pertempuran agar memberikan suasana yang lebih kondusif  untuk melakukan diplomasi.

Pada tanggal 27 November 1945  Pimpinan Tinggi Sekutu, MacDonald menyebarkan ultimatum kembali agar  Gubernur Jawa Barat dan rakyat beserta TKR secepatnya meninggalkan wilayah Bandung bagian utara.Ultimatum tersebut membuat Bandung terpecah menjadi dua bagian wilayah kekuasaan, diaman Bandung bagian utara dikuasai oleh Sekutu dan Bandung bagian selatan dikuaasi oleh pihak Indonesia.
Pembagian wilayah ini justru memicu pertempuran yang lebih sering dan lebih frontal. Hampir selama satu bulan penuh di bulan Desember 1945 tidak ada henti-hentinya suara letusan senjata di berbagai medan pertempuran di Bandung. 

Pertempuran yang paling seru berada diwilayah Sukajadi,  Cihaurgeulis, Pasar Kaliki. dan Viaduct. Sekutu menargetkan untuk mendapatkan jaringan kereta api tetapi karena luasnya dan panjangnya jaringan rel yang banyak berada pada wilayah yang dikuasai oleh pejuang mereka selalu gagal untuk menguasainya.

Alih-alih ingin menguaasi jaringan kereta api tetapi justru pasukan semakin berkurang dan amnunisi semakin terbatas sehingga Sekutu terjepit dimana-mana. Diplomasi Sekutu dijalankan mereka mengontak kepada Perdana Menteri (PM) Sultan Syahrir untuk paling lambat tanggal pada 24 Maret 1946  jam 24.00 WIB pasukan Indonesia sudah harus meninggalkan Bandung bagian utara sejauh 10 sampai 11 km dari pusat Kota Bandung.

Pimpinan TRI menolak ultimatum tersebut sedangkan PM Syahrir mendesak Jenderal Mayor Nasution  yang waktu itu menjabat sebagai Panglima Divisi III/Siliwangi  memenuhi ultimatum tersebut.  PM Shahrir menilal perimbangan kekuatan TRI belum sepadan.  Keputusan sangat a lot antara dua pihak yang berbeda pandangan itu.

Pada pertemuan selanjutnya antara Pimpinan Pemerintah dan  AH Nasution, para Komandan TRI, para ketua Laskar pejuang bersepakat utnuk membumihangutkan Bandung Selatan sebelum kota itu dimasuki oleh tentara Sekutu.

Bumi hangus kota akan dilakukan pada tanggal 24 Maret mulai pukul 21.00 WIB.  Salah satu gedung yang pertama dibakar dengan diledakkan adalah gedung Bank Rakyat. Pembakaran dilanjutkan ke Banceuy, selanjutnya Cicadas, Braga dan Tegallega.  Asrama-asrama anggota TRI juga ikut dibakar. Pembakaran juga terus berlanjut ke Ciroyom, Tegallega Utara, Cikudapateuh, Cicadas, sepanjang Jalan Otto Iskandardinata, Jalan Asia Afrika, Cibadak, Kopo, dan Babakan Ciamis.

Para aparat pemerintah, pejuang dan rakyat Bandung akhirnya meninggalkan kota itu dengan hati sedih. Ibu-ibu, anak-anak, kakek nenek semua ikut dalam rombongan yang perpindahannya sebagian besar dilakukan dengan berjalan kaki.  Inilah kisah perjuangan yang kemudian lebih dikenal sebagai Bandung Lautan Api yang sejarahnya tidak akan terlupakan.

Sumber dan referensi :
- A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia", 1994.
- A.H. Nasution, "Catatan-catatan Sekitar Politik Militer Indonesia", CV. Pembimbing, 1955.
- Kahin, George, Mac, Turnan, "Nasionalism and Revolution in Indonesia", Cornell University Press, Ithaca, New York, 1963.
- wikipedia.org
Read more ...

Sabtu, 31 Agustus 2019

Peranan Palang Merah Indonesia pada Masa Perjuangan Kemerdekaan RI

PMI masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Untuk segera mengulangi aspek-aspek kemanusiaan dalam perjuangan membela kemerdekaan,khususnya para korban pertempuran,dibentuklah palang merah Indonesia (PMI).

PMI tidak berpihak pada pihak mana pun, baik ras, agama, suku, negara tetapi berupaya untuk pertolongan dan perlindungan jiwa korban musibah bencana alam atau musibah bencana sosial, dan juga korban konflik.

Sejarah berdirinya dimulai sejak usaha-usaha untuk membentuk PMI jauh sebelum 1945, tetapi secara resmi pada tanggal 3 September 1945 sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.  Perhimpunan bermisi kemanusiaan ini secara resmi berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No 25 tahun 1950 dan ditetapkan sebagai salah satu dari organisasi perhimpunan nasional yang menjalankan tugas misi kemanusiaan sesuai Keputusan Presiden No 246 tahun 1963.

Secara global organisasi ini dibawah International Red Cross and Red Crescent Movement yang bergerak secara internasional untuk seluruh negara. Misi organisasi ini adalah bagain dari kesepakatan dalam Konvensi Genewa (Jenewa)  1863,  Konvensi Den Haag 1907,  Konvensi Jenewa tahun 1906, Konvensi Jenewa 1929 dan yang terakhir Konvensi Jenewa tahun 1949. Sampai tahun 2016 sudah 163 negara melakukan ratifikasi Konvensi Jenewa dan Protokol Jenewa tahun 1949. Protokol Jenewa adalah tiga kesepakatan tambahan dari hasil Konvensi Jenewa tahun 1949.

Konvensi  Jenewa  pada  tahun  1949  yang  secara khusus memberikan perlindungan bagi  para korban perang demikina juga hakhak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer, perlindungan bagi korban luka, dan menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan perang.

PMI kemudian menjadi bagian juga dari Komite Palang Merah Internasional (ICRC) pada tanggal 15 Juni 1950.  Pada tahap berikutnya PMI diakui sebagai anggota tetap Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) pada bulan  Oktober 1950.

Markas PMI di Jakarta, 1945.
Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) merupakan organisasi  yang mendukung aksi-aksi kemanusiaan yang pelaksanaannya dilakukan oleh perhimpunan nasional dinegara masing-masing atas nama IFRC mereka juga bertindak sebagai juru bicara dan sebagai wakil Internasional mereka.

IFRC ikut membantu mengembangkan sumber daya manusia dan penyebaran pengetahuan tentang HPI dan mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan untuk Perhimpunan Nasional dan ICRC diberbagai  negara anggota.

PMI pada masa perjuangan kemerdekaan RI
Sejarah PMI sering dikacaukan dengan sejarah Het Nederland-Indiche Rode Kruis yang berdiri sejak tanggal 21 Oktober 1873, yang kemudian menjadi  Nederland Rode Kruis Afdeling Indische (NERKAI) milik pemerintah Belanda. PMI tidak sama dengan NERKAI.

Pada masa penjajahan adanya NERKAI  di Indonesia ini justru merusak dan mengganggu aksi-aksi kemanusiaan PMI. Sebagai contoh pada terjadinya pertempuran hebat di Surabaya 1945 sehingga banyak berjatuhan korban sipil dan juga tentara. Banyak simpati mengalir dari dunia internasional terhadap rakyat Indonesia dan  perjuangan TKR sehingga dikirimlah bantuan dana dan obat-obat melalui organisasi internasional seperti International Committee of the Red Cross (ICRC),  tetapi sayangnya ternyata bantuan tersebut justru jatuh ke NERKAI yang digunakan untuk kepentingan penjajahan Blanda. Alih-alih untuk membantu bangsa terjajah tetapi justru adanya Nerkai malah memperkuat penjajahan itu. Untung saja hal itu segera disadari oleh ICRC sehingga pihak ICRC mengontak pihak PMI di Jakarta untuk meminta alamat PMI agar tidak salah kirim lagi.

Perihal aset NERKAI yang kemudian dikendalikan oleh PMI adalah bagian dari de facto kemerdekaan Indonesia yang tidak dapat diingkari lagi oleh Belanda. Walaupun secara resmi ada peralihan aset NERKAI yang dilakukan tanggal 16 Januari 1950 hanyalah seremonial belaka, karena semua aset Belanda di Indonesia sudah menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia. 

Pada era setelah Proklamasi Kemerdekaan Presiden Soekarno memerintahkan Mentri Kesehatan Dr.Boentaran Martoadmodjo untuk menindaklanjuti pembentukan PMI. Langkah ini diawali dengan  menunjuk lima orang dibawah pimpinan Prof.Dr.R.Mochtar untuk mulai mempersiapkan berbagai hal terkait pembentukan PMI itu.

Para tokoh dari lima orang tersebut yaitu Dr. R. Mochtar sebagai Ketua, Dr. Bahder Djohan sebagai Penulis dan tiga anggota panitia yaitu Dr. R. M. Djoehana Wiradikarta, Dr. Marzuki, Dr. Sitanala, Dr Boentaran mempersiapkan terbentuknya Palang Merah Indonesia.

Pada tanggal 17 september 1945 terbentuk Pengrus Besar Pleno PMI yang diketuai oleh Drs.Moh Hatta dan sebagai ketua pengrus besar harian ditunjuk Dr.Boentaran Martoadmodjo.

Tidak terkira besarnya jasa Palang Merah Indonesia didalam masa perjuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan.Pertempuran-pertempuran melawan musuh yang bersenjatakan jauh lebih kuat dan modern telah mengakibatkan banyaknya korban yang jatuh.

Berkat peranan Palang Merah Indonesia banyak korban yang dapat diselamatkan dan sebagian dari mereka dapat kembali dimedan pertempuran.dan serangan-serangan membabi buta dari tentara  Jepang, Inggris,dan Belanda telah sedikit dikurangi penderitaanya berkat pertolongan dari Palang Merah Indonesia.

Didalam usahanya untuk memperoleh obat-obatan dan peralatan kesehatan lainya, serta untuk memperoleh simpati dunia pada umumnya, Palang Merah Indonesia telah mengadakan hubungan dengan maksud memperoleh bantuan secara internasional dan juga relasi kemanusiaan yang ada diberbagai negara.

Sejarah perjuangan nasional untuk  meraih kemerdekaan selalu paralel dengan perjuangan PMI dari dulu sampai kini. Pada masa pertempuran bulan November 1945 di Surabaya contohnya. Peran dari para pejuang kemanusiaan di PMI sudah jelas nyata di Surabaya.

Ketika itu PMI di Surabaya disebut sebagai Palang Merah 45 yang di pimpin oleh Dokter Sidakjuar. Pos-pos yang dibangun untuk aktifitas PMI juga sangat darurat dengan segala keterbatasan. Contohnya pos yang dibangun di Gunungsari.

Penderitaan para pejung yang terluka dan terkena peluru sangat banyak, sehingga aksi-aksi Palang Merah 45 benar-benar heroik juga. Para pejuang PMI melakukan operasi dadakan ditempah, atau mengirim mereka kerumah sakit terdekat di Balongbendo dan Sidoarjo, tetapi yang sudah parah dikirim ke Rumah Sakit Budi Puji, Mojokerto. Saat operasi penyelamatan korban ini pesawat-pesawat sekutu berputar-putar diatas udara Surabaya menembaki para pejuang.

Pada masa perang kemerdekaan di Bali tahun 1945-1946 peran dari para sukarelawan PMI demikian penting, apalagi korban bayak berjatuhan di pihak RI. Palang Merah di Pulau Bali  berada di bawah kepemimpinan dr. Subadi, sayangnya pada masa itu beliau di tawan Jepang, kemudian mengalami penyiksaan oleh tentara Jepang.

Tokoh lain relawan PMI yang berjasa dalam perjuangan pergerakan kemerdekeaan Indonesia juga adalah pendiri dari  UGM, Prof. Dr.. Sardjito yang pada masa pertempuran hebat Bandung Lautan Api berperan penting mendirikan PMI pertama di Bandung. Dr. Sarjito juga ikut terlibat dalam perebutan Pusat Penelitian Medis Institut Pasteur yang menjadi tempat instalasi penting Belanda yang kemudian menjadi tempat markas PMI pertama di Bandung. Di lokasi pada masa perjuangan digunakan untuk melakukan pertolongan untuk pejuang-pejuang yang terluka.

Pada masa selanjutnya Institut Pasteur berubah menjadi Fakultas Kedokteran UGM setelah dipindah ke Klaten. Pemindahan perangkat penelitian medis yang penting itu akibat adanya serangan agresi Belanda I. Salah satu perangkat penting adalah perangkat penghasil vaksin serta obat-obatan utama. Pemindahan menggunakan kereta api yang dikuasai oleh Republik Indonesia. 

Demikian panjang perjalanan peran dan manfaat PMI bagi berdirinya Indonesia. Saat ini peran dari PMI dan juga organisasi sejenis Bulan Sabit Merah (Mer-C) yang organisasi internasionalnya berada dalam satu rumah IFRC semakin meluas sesuai dengan prinsip nilai kemanusiaan, penanggulangan bencana, kesiapsiagaan penanggulangan bencana, kesehatan dan perawatan di masyarakat.

Deklarasi kesepakatan itu tertuang dalam Deklarasi Hanoi (United for Action) yang berisi program penanggulangan bencana, penanggulangan wabah penyakit, remaja dan manula, kemitraan dengan pemerintah, organisasi dan manajemen kapasitas sumber daya serta humas dan promosi, maupun Plan of Action merupakan keputusan dari Konferensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-27 di Jenewa Swiss tahun 1999.

Sumber dan referensi :
- http://www.pmi.or.id
- Dr. A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia", 1994.
- http://www.ifrc.org/en/who-we-are/governance/the-governing-board
- Kementerian Penerangan Indonesia, "Lukisan Revolusi Indonesia",  1949.
- http://www.balairungpress.com/2018/07/ugm-luncurkan-film-perjuangan-sardjito-pada-masa-revolusi/
- https://www.icrc.org
Read more ...

Jumat, 30 Agustus 2019

Ki Hajar Dewantara Mencurahkan Perhatiannya Pada Bidang Pendidikan Bumi Putra

Ki Hajar Dewantara
Salah satu tokoh yang paling berpengaruh terhadap perjuangan pembangunan fondasi pendidikan nasional adalah Ki Hajar Dewantara yang dilahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.

Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara.

Pergantian namanya  ini untuk menghilangkan kesan keningratan yang ia yang ada pada dirinya. Beliau juga tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Riwayat hidupnya sangat diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda).  Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.


Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.

Di tahun 1908,  Ia sangat produktif untuk menggerakkan mesin organisasi Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Perjuangannya bersama sahabatnya Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913.

Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.

Organisasi Komite Boemipoetra itu selalu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Ini sangat mengiris hati Ki Hajar Dewantara.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi: “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya.

Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering.

Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil.

Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Cita-citanya akhirnya terwujud untuk memajukan kaum pribumi setelah mendirikan organisasi dalam bidang pendididikan yaitu Taman Siswa.  Melalui Taman Siswa inilah apa yang ia peroleh dalam Europeesche Akta ia wujudkan dalam pratek pendidikan di Indonesia.  Ki Hajar Dewantara tertarik pada berbagai model pendidikan seperti ide-ide tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, tetapi juga tertarik pada model pendidikan India yang mandiri dengan model praktek hidup seperti cara tokoh India, Santiniketan, demikian juga Mahatma Gandih.

Salah satu peninggalannya yang terkenal dan selalu terpampang di sekolah-sekolah dasar yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Telah memberi banyak inspirasi dan semagat baik bagi pendidik maupun bagi siswanya.

Pada awal berdirinya negeri ini Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia. Atas jasanya beliau ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Hari kelahirannyag dijadikan Hari Pendidikan Nasional sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959 pada tanggal 28 November 1959. 

Sumber dan referensi :
- www.tamansiswa.org
- wikipedia.org/Ki_Hadjar_Dewantara
- http://biografi.rumus.web.id/2010/10/biografi-ki-hajar-dewantara.html
Read more ...

Perjuangan Surabaya 10 November 1945, Antara Diplomasi atau Bertempur

Senjata warisan Jepang sangat efektif di Surabaya
Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 membakar moral arek-arek Surabaya untuk terus mempertahankannya.  Pada 3 September 1945, Residen Soedirman dan rakyat Surabaya merayakan proklamasi itu dan membacakan lagi apa yang sudah dibacakan oleh Soekarno di Jakarta dan dilanjutkan dengan aksi pengibaran Sang Saka Merah Putih di seluruh pelosok Kota Surabaya.

Di hari itu kabar akan kedatangannya Sekutu,  Inggris dan NICA sudah santer terdengar. Sebuah kontradiksi antara semangat proklamasi dengan kenyataan getir atas kedatangan kembali menjadi romantika sendiri bagi Rakyat Surabaya.

Pertempuran bersejarah 10 November 1945 yang paling berdarah dalam efisode Perjuangan Kemerdekaan RI  itu sudah akan dimulai, tetapi semangat dan optimisme dalam perayaan kemerdekaan atas diterimanya kabar proklamasi yang sudah dikomandangkan di Jakarta membahagiakan dan menenggelamkan rasa takut.

Di sisi lain rakyat Surabaya masih yakin bahwa kedatangan itu hanya sementara, karena seperti yang disampaikan bahwa kedatangan Sekutu hanya untuk melucuti senjata Jepang dan mengembalikan tawanan interniran dan tentara Belanda oleh Jepang.

Kabar kedatangan Sekutu yang menang perang itu semakin jelas, setelah pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet-pamlet pengumuman bahwa Sekutu/Belanda akan mendarat di Surabaya untuk menjalan tugas sebagai (Allied Forces Netherlands East Indies).

Kabar kedatangan ini telah menyebabkan para interniran dan orang-orang Pro Belanda pada masa penjajahan Hindia Belanda merasa mendapatkan angin segar.  Mereka merayakan kedatangan itu. Bahkan yang lebih berani adalah yang dilakukan para interniran yang berada di Orange Hotel. Pada tanggal 19 September 1945 mereka secara lancang mengibarkan bendera merah putih biru yang benar-benar menyinggung perasaan Arek-Arek Suraboyo.

Melihat ada bendera Belanda di atas Hotel Orange para pemuda segara sigap langsung naik dan merobek bagian biru dari bendera Belanda itu. Perang mulut terjadi yang berlanjut pada perkelahian dan insiden antara orang-orang Pro Belanda di hotel itu dengan para pemuda Surabaya.  Perkelahian itu membuat seorang interniran Belanda,  Mr. Ploegman tewas.

Pada 25 Oktober 1945 pihak Sekutu yang datang atas nama AFNEI yang didalamnya ada tentara Inggris, Australia dan NICA (Belanda yang secara administrasi sipil tercatat pada Hindia Belanda)  mendarat di Surabaya. Secara keseluruhan kedatangan Sekutu sudah dimulai sejak September 1945 sebanyak tiga divisi British-Indian Divisions secara lengkap telah mendarat di Jawa dan Sumatera, tetapi khusus untuk Surabaya satu devisi sendiri.

Kekuatan yang paling besar dari tamu yang tidak diundang ini adalah serdadu Inggris yaitu Brigade ke-49 dengan kekuatan 6.000 serdadu dipimpin Brig. Jend. A.W.S. Mallaby.  Pasukan ini adalah pasukan yang berpengalaman dalam Perang Dunia II, sehingga secara moril mereka datang dalam keadaan yang angkuh dan sombong. Selain itu ada juga pasukan yang sangat berpengalaman dari kancah Perang Dunia II yang terdiri dari pasukan Gurkha dan Nepal dari India Utara.

Pada besok harinya tanggal 26-27 Oktober 1945 beberapa pesawat Inggris menjatuhkan selebaran yang ditandatangani oleh  Mayjen. D.C. Hawthorn, Panglima Sekutu untuk wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di atas Kota Surabaya yang memerintahkan agar penduduk Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata. Barang siapa yang memegang senjata api selain Sekutu akan ditembak.

Arek-arek Surabaya mengabaikan selebaran itu, tidak satu pun penduduk Surabaya datang ke markas Sekutu untuk menyerahkan senjata. Apa yang terjadi justru berbagai insiden sejak tanggal 28 Oktober 1945 di seluruh pelosok Kota Surabaya.

Tetapi di Pusat bersikap lain. Perjuangan melalui diplomasi oleh para pemimpin bangsa juga dijalankan. Berturut-turut pada jam 21.00 sampai  jam 23.00 kontak dilakukan melalui Pemerintah Pusat di Jakarta tidak berhasil merubah pendirian Pimpinan Tentara Inggris, Mayjen. D.C. Hawthorn untuk mencabut ultimatumnya dan menjelaskan bahwa TKR berhak memegang senjata. Inggris tidak mengakui Pemerintahan RI yang baru saja berdiri dan juga TKR.

Puncaknya tanggal 30-31 Oktober 1945 tentara Inggris meninggalkan Gedung Internatio Brig. Mallaby meninggal, mobilnya meledak terbakar. Tanggal 9 Nopember 1945 ultimatum yang ditandatangani oleh May. Jend. E.S. Masergh Panglima Divisi Tentara Sekutu di Jawa Timur, minta rakyat menyerahkan senjata tanpa syarat sebelum jam 18.00 dan apabila tidak melaksanakan sampai jam 06.00 tanggal 10 Nopember 1945 pagi akan ditindak dengan kekuatan militer Angkatan darat, Laut dan Udara.

Gubernur Soerjo berpidato yang merupakan penegasan, "Lebih baik hancur daripada dijajah kembali" . Tanggal 10 Nopember 1945, terjadi pertempuran dahsyat di pelosok kota, perlawanan massal rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu, sehingga korban berjatuhan di mana-mana, selama 18 hari Surabaya bagaikan neraka. Dengan hancurnya kubu laskar rakyat di Gunungsari pada tanggal 28 Nopember 1945 menyebabkan sementara seluruh Kota Surabaya jatuh ke tangan Sekutu.

Pertempuran yang paling berdarah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia ini meletus. Mulai pukul 06.00 kanonnade Inggris membombardir Surabaya dengan meriam-meriam dari Kapal Perang. Surabaya Utara benar-benar hujan ledakan. Pelabuhan, Gedung Pengadilan, Kantor PTT, Gedung-gedung Pemerintahan dan kampung-kampung hancur lebur. Orang pribumi, Arab, Cina yang berada pada daerah utara banyak yang menjadi korban. Lokasi-lokasi seperti Pasar Turi, Kramat Gantung, Maspati, Pasar Besar benar-benar rata dengan tanah.

Suara Bung Tomo yang menggelegarkan nusantara dari stasiun radio Pemberontakan mengudara. Rangkaian kata-kata yang membangkitkan bulu kuduk apalagi pada masa itu, pada masa sekarang saja kita masih bisa membayangkan betapa heroiknya para pemuda Indonesia yang secara gagah berani maju ke medan perang berhadapan dengan tentara Inggris dan NICA yang bersenjata modern, tetapi bagi para Pemuda Indonesia kehormatan dan kemuliaan bangsa Indonesia adalah nomor satu, biarkan hanya bersenjata bambu runcing, kelewang atau senapan bekas NIPON  perlawanan harus dilakukan.

Ratusan ribu pejuang rakyat masuk kota Surabaya dari berbagai arah. Sementara Sekutu mengerahkan semua kekuatannya di Jawa Timur. Angkatan laut, udara dan darat mereka yang bersenjata modern dikerahkan semua. Jam 09.00 Inggris mulai juga melakukan aksi serangan udara, dengan menghujani bom-bom pada hampir seluruh daerah di Kota Surabaya dan pinggiran kota.

Hari pertama serangan Inggris dan NICA yang dimulai dari utara, tempat kapal-kapal perang mereka bersandar di pelabuhan ini tidak ada ampun banyak sekali rakyat kita yang menjadi korban. Pasukan Sekutu benar-benar pesta pembunuhan, wanita, orang tua, anak-anak mereka sikat tanpa ampun. Kampung-kampung yang sudah rata dengan tanah mereka masuki, jika ada rakyat yang masih terlihat hidup atau bergerak langsung mereka berondong.

Pukul 09.15 barulah fihak Indonesia mengeluarkan perintah untuk melancarkan serangan balasan, yang dilakukan secara ”jibaku”. Dengan tiada kesatuan pimpinan taktis dalam operasi ini, pemuda-pemuda TKR, Polisi, PRI, dan lain-lainnya berjuang seperti banteng yang mengamuk ke arah kolone-kolone dan posisi-posisi musuh. Hal ini menimbulkan korban yang tidak sedikit dikedua belah pihak.

Pada hari pertama ini garis pertahanan kita membujur dari barat ke timur kota Surabaya. Dari daerah Asem Jajar ke Selatan Pasar Turi. Melalui jalan kereta api yang tinggi samai Kali Mas dan sepanjang kali tersebut membelok ke utara sampai ke Jembatan Ferwerda, mengarah ketimur lagi melalui Kali Pegirikan. Di daerah Asem Jajar serangan-serangan balasan kita berhasil membuat pasukan musuh dipukul mundur. Kantor pos di utara berkali-kali pindah tangan dan akhirnya kita bumi hanguskan.

Hari kedua juga pertempuran ini masih kurang seimbang, tentara Sekutu masih mendominasi berbagai front pertempuran. Sehingga banyak pejuang kita yang menjadi suhada.

Pemuda-pemuda pemberani dengan gagah berani melawan tank-tank Sherman Inggis yang modern. Mereka ini bahkan berani mati menubrukkan diri ke tank-tank tersebut dengan membawa bahan peledak. Banyak sekali tank-tank sekutu yang rusak parah dan tewasnya pengendara didalamnya. Jika tank-tank ini rusak, para pejuang melembarkan bom bensin kedalamnya. Usaha-usaha ini tidak sia-sia banyak dari tank-tank tidak berani bergerak bebas. Mereka malah statis di satu tempat.

Rakyat Indonesia merupakan bangsa pemberani, walaupun berhadapan dengan senjata modern seperti tank-tank itu, mereka tidak takut bahkan dengan keberaniannya yang luarbiasa ini pasukan tank-tank Inggris ini malah yang takut untuk kelaur dari wilayah-wilayah yang mereka kuasa saja. Hal ini menguntungkan pejuang kita.

Senjata-senjata buatan Jepang dalam perang dunia kedua juga lumayan membantu, bahkan senjata berat ini merontokkan 2 pesawat udara Inggris dan menewaskan penumpangnya. Salah satu penumpang yang tewas adalah seorang perwira Inggris yang bernama Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds dari artireli.

Seluruh Indonesia pada waktu itu banyak yang memasang radionya siang-malam. Mendengarkan berita dan pidato-pidato dari Surabaya, termasuk suara Bung Tomo yang menggunakan stasiun ”Radio Pemberontakan” yang menggaungkan semangat perjuangan itu. Seluruh rakyat Indonesia merasa mencekam dan mendidih rasa nasionalismenya menunggu berita-berita dari suatu pertempuran antara rakyat bersenjata yang belum terlatih melawan pihak Sekutu yang menggunakan senjata modern dari laut, udara dan darat.

Tetapi seiring dengan bertambahnya perjuangan dari berbagai pelosok Surabaya dan suara lantang Bung Tomo dari Radio Perjuangan. Ratusan ribu perjuang rakyat yang datang bagaikan tawon itu tidak ada habis-habisnya. Dari Besuki, Malang, Kediri, Madiun, Bojonegoro, bahkan Semarang dan sebagainya.

Salah satu keberhasilan perjuang yang sangat penting adalah keberhasilan pejuang kita dengan menggunakan altireli buatan Jepang mampu merusak lapangan terbang musuh. Sehingga nyaris pesawat terbang Inggris tidak dapat mengudara dalam beberapa hari.

Pada hari keempat, 13 November 1945 pertempuran terus berjalan dengan hebat. Garis pertahanan kita masih membujur dari barat ke timur. Dari daerah Asem Jajah keselatan Pasar Turi, Rel kereta yang tinggi hingga Kali Mas. Di daerah Asem Jajar kita dapat memukul mundur Sekutu.

Hari ketiga ini Tank-Tank Shermen sudah benar-benar tidak digunakan lagi. Kita dapat secara efektif menghancurkan tank tersebut bersama 3 atau 5 tentara didalamnya hanya dengan satu atau dua orang pemuda berani mati kita. Musuh kita benar-benar kapok menggunakan tank-tank ini.

Bombardemen dari laut menjadi menggila pada hari ini. Dari kampung-kampung dekat pelabuhan sampai Simpang Lonceng benar-benar luluh lantak.

Pada hari ini kemenangan kita adalah pada logistik dan suplay makanan. Pasokan makanan berupa nasi bungkus, ketela pohon, pisang dan lain-lain membanjir masuk kota Surabaya. Sehingga dimanapun posisi pejuang nyaris tidak sulit dalam menemukan makanan. Pada umumnya makanan-makanan ini mengalir dari luar kota.

Simpati rakyat kita demikian besarnya sehingga hal ini benar-benar mempermudah para pejuang kita dalam medan pertempuran. Demikian membanjirnya makanan bahkan banyak makanan yang membasi karena tidak tertempung lagi. Lucunya nasi-nasi basi yang telah dibuang pejuang kita ini malah diambil oleh tentara Inggris untuk mereka makan.

Hari Kelima tanggal 14 November 1945. Pertempuran berjalan terus. Pasukan sekutu mulai terdesak, kekuatan mereka melemah setelah tank-tank tidak beroperasi. Tiga pesawat musuh di lapangan udara juga berhasil dihancurkan pejuang kita.

Pada hari inipun serangan-serangan kita sudah mulai teratur, konsolidasi kita dibawah bombardir musuh cukup sukses. BKR mulai bisa mengatur pembagian tugas-tugas pertempuran untuk pertama kalinya, yakni sektor timur, tengah dan utara.

Sektor Timur dipimpin oleh Mayor Kadim dari TKR, posnya berada di Karangmenjangan. Pasukan-pasukan yang dilibatkan pada sektor ini, yaitu: PA Laut ( Letnan Kolonel Sutejo Eko), PRI (Sidik Arslan),

Lama kelamaan kekuatan RI semakin solid, apalagi bantuan pejuang dari Madura, Bali, Malang, Semarang, Blitar, Kudus, Jokjakarta dan sekitarnya banyak yang sudah datang. TKR, Polisi, PRI, Laskar-laskar kampung, petani, pelajar, ulama, santri, pedagang, guru semuanya bercampur baru menjadi satu. Pada berbagai front bahkan tangsi-tangsi yang berisi pasukan Sekutu mulai terdengar santer bahwa amunisi mereka sudah mulai terkuras. Tembak-tembakan mereka hampir-hampir jarang.

Ada sebagian pejuang kita yang dengan keyakinan penuh, menyebut Allahhu Akbar, Allahu Akbar masuk keberbagai tangsi-tanski tersebut dan berjibaku jarak dekat. Satu demi satu cara-cara seperti ini mulai melumpuhkan kekuatan Sekutu.

Tentara Sekutu semakin lama semakin kelelahan, mereka tidak tidur dan juga tidak sempat makan. Serangan yang tidak ada habisnya dari berbagai penjuru membuat tentara Sekutu merasa berada di neraka. Sedangkan pejuang dapat melakukan itu dengan keluar wilayah pertempuran di luar Surabaya atau masuk ke perkampungan.

Serbuan para pejuang kita ke pos-pos pertahanan Sekutu diperkuat juga dengan aksi blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah.

Suplai-suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan jatuh ke tangan pasukan Indonesia.

Faktor ini sangat mempengaruhi moral dan kekuatan pasukan Sekutu di Surabaya. Sementara bantuan Sekutu dari Jakarta dan Jawa Barat belum bisa datang, karena berbagai hadangan pasukan TKR pimpinan Jendral Sudirman dan pejuang rakyat di Malang, Semarang, Blitar dan daerah-daerah perjalanan penuh dengan pertempuran yang sama beratnya.

Wajar saja jika tentara Sekutu lama-kelamaan moralnya semakin hancur dan stamina semakin terkuras. Mereka benar-benar merinding ketakutan karena pasukan pejuang yang tidak ada habisnya. Bahkan ada beberapa tangsi mereka yang mengibarkan bendera putih, tetapi pejuang rakyat yang berasal dari berbagai laskar itu tidak mengerti aturan pertempuran, malah masuk dan berramai-ramai menggasak habis mereka.

Bayangkan saja tentara sekutu yang di boncengi NICA dengan kekuatan terbesar di Asia Tenggara pada akhirnya terdesak. Sementara bantuan pasukan Sekutu dari Jakarta dan Jawa Barat masih dalam perjalanan yang penuh dengan penghadangan.

Saat-saat terdesak seperti itu, akhirnya Admiral Helfrich meminta tolong kepada Presiden Sukarno untuk menghentikan serangan rakyat yang tiada habisnya, yang tabur seperti lebah. Mati satu datang seribu. Tiada rasa malu Admiral Helfrich yang pernah menolak permintaan Soekarno, meminta bantuan. Admiral Helfrich memanggil Ir. Soekanro "Tuan Presiden", padahal sebelumnya pada saat para Pemimpin Bangsa ini meminta untuk menghentikan ultimatum Sekutu, mereka tidak mengakui pemerintah RI.

Secara jujur seperti yang diakuinya dalam Memories Admiral Helfrich menggambarkan betapa sukarnya keadaan pasukan Inggris. Amunisi yang terbatas, kelaparan, terjepit dimana-mana, sehingga seandainya saja pada waktu itu Presiden Sukarno tidak memerintahkan untuk menghentikan perang, maka ia bersedia untuk mencium kaki untuk bantuan tersebut.

Dalam konferensi di Jakarta yang dilakukan pihak Sekutu pada tanggal 23 November 1945 dan Konferensi Singapura pada tanggal 6 Desember 1945 diantara panglima-panglima mereka. Mereka sepakat untuk tidak memasuki lagi Surabaya, dan pasukan dikonsentrasikan di Jawa Barat karena faktor psikologis perang ini.

Pada  dasarnya Inggris terlalu yakin bahwa kekuatan. Pasukan Inggris Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di hutan-rimba Burma. Reputasi ini membawa pengaruh moril para serdadu Inggris yang datang ke Surabaya.

Kenyataanya saat itu serdadu  “The Fighting Cock” sedang sekarat di Surabaya, moril tempur yang rontok, amunisi yang abis dan persediaan makanan menipis.  Faktor sebenarnya yang terjadi para Komandan Inggris seperti  Brigadir Jenderal Mallaby  juga tidak terlalu peduli dengan data itu, kemenang Perang Dunia II membuat mereka menjadi lalai. Mereka tidak tahu kekuatan bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Informasi yang diterima Inggris mengenai kekuatan para pejuang adalah peta kekuatan masa Hindia Belanda berkuasa, tetapi setelah Jepang berkuasa, banyak memberikan pelatihan militer ke para pejuang Republik. Demikian juga persenjataan Jepang banyak yang direbut oleh para Pejuang.

Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” oleh rakyat Surabaya mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal yang tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan diserang, sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Inggris.

Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih dari lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby.

Dua pesawat terbang mereka juga berhasil ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.

Akhirnya mereka mengakui walaupun memengkan perang melawan Jepang, ternyata melawan rakyat Indonesia jauh lebih sulit. Juga dijelaskan walaupun kemenangan pada akhirnya tetapi sebenarnya karena ada faktor diplomasi kepada pemimpin-pemimpin Indonesia untuk tidak mengerahkan tentaranya ke Surabaya, dan memang pemerintah pusat di Jakarta waktu itu pernah melarang untuk berperang melawan tentara Sekutu.

Atas dasar kepentingan diplomasi di dunia internasional Sukarno pada akhirnya meminta TKR dan para pejuang rakyat untuk menghentikan serangan dan mundur. TKR dan tentara rakyat diminta untuk melakukan cease fire. Walaupun dengan berat hati, para pejuang ini mematuhi perintah pemimpin pemerintahan yang masih baru ini.

Di satu sisi rakyat Surabaya sebenarnya ingin menunjukkan kepada Sekutu dan dunia internasional bahwa pemerintahan kita adalah memerintahan yang berdaulat yang dipatuhi oleh rakyatnya. Hal ini yang mau tidak mau membuat mereka mematuhi keputusan itu.

TKR dan tentara pelajar berusaha melakuan konsolidasi untuk menghentikan sementara serangan. Walaupun disana sini masih ada suara letusan dan ledakan tetapi secara umum pertempuran sudah jauh berkurang.

Para pejuang yang dikomandani langsung oleh Jenderal Sudirman pun ditarik, sehingga iring-iringan bantuan militer Divisi 5, amunisi dan bantuan logistik ke Surabaya dapat dikatakan berjalan lancar. Saat dimana menjadi titik balik kemenangan sekutu akan tiba.

TKR dan rakyat Surabaya tidak kalah dalam perang Surabaya ini, tetapi karena faktor lain yaitu pertimbangan diplomasi pimpinan pusat maka kita mengalah. Coba bayangkan jika Divisi 5 yang akan ke Surabaya terus dihambat oleh pasukan yang dikomandoi Jenderal Sudirman ini di Malang, Semarang dan Belitar sekitarnya ini berjalan terus dan tidak dihentikan karena permintaan pimpinan pusat di Jakarta, maka tentara Inggris di Surabaya benar-benar akan lumpuh.

Tidak akan ada gunanya lagi pasukan dari Jakarta dan Jawa Barat datang ke Surabaya jika datang hanya  dengan merinding ketakutan, bulu kuduk berdiri dan moral yang turun melihat teman-teman serdadu Inggris di Surabaya kalah dan terdesak. Arek-arek Suroboyo sudah marah alang kepalang. Tidak ada gunanya lagi. Tentu mereka datang untuk perperang dengan moral yang sangat rendah dan pasukan yang sudah sedikit, dan pada akhirnya hanya sebagai korban yang bakal dihabisi berikutnya.

Kesempatan yang diberikan oleh para pemimpin Indonesia waktu itu benar-benar dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh Sekutu. Pasukan sekutu merapihkan barisan, peluang untuk bernapas yang memberikan kesempatan pasukan dari Jakarta dan Jawa Barat untuk segera datang ke Surabaya dengan kekuatan penuh. Dengan segala kekuatan persenjataan modern mereka. Dengan bantuan pasukan udara yang jauh lebih masif.

Sebenarnya pada saat yang sama hampir 1,2 juta pejuang dari berbagai tempat seperti Jawa Barat, Bali, NTB, Makasar, Lampung, Jambi bahkan Medan sedang menuju tempat yang sama, Surabaya. Walaupun setelah tentara dai Jakarta, Jawa Barat Semarang tiba di Surabaya sekutu kembali dapat bertahan tetapi ada saat dimana pihak sekutu benar-benar bisa dikalahkan asalkan para pemimpin pada waktu itu berpikir untuk melakukan perang total tanpa ada perjuangan diplomasi.

Perjuangan diplomasi kita menghapuskan peluang kita, tetapi perjuangan diplomasi kita disaat yang lain juga mendatangkan kesempatan yang lain. Tetapi tentunya dengan cerita yang lain. Cerita yang seakan-akan kita merdeka dengan diberi kesempatan oleh Komisi Tiga Negara sebagai refresentasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk terjadinya perdamaian antara Indonesia dan Belanda.

Seandainya saja kita benar-benar perang total waktu itu, maka Inggris akan benar-benar bertekuk lutut. Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya.

Seperti kesaksian kesaksian Kapten R.C. Smith yang memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:

”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).

Sayangnya Soekarno menyerukan  menghentikan serangan dan "cease fire" disaat pasukan Inggris sudah terjepit disana-sini.  Seharusnya jika bangsa Indonesia sebagai pemenang perang, maka kita dapat menuntut Inggris dan Belanda sebagai negara yang kalah perang. Mereka harus bayar apa yang kita tuntut. Mungkin juga penjajah Belanda sudah akan keleuar Indonesia sejak 1945, bukan pada 1949 setelah serangan umum 1 Maret 1949.

Dukungan Sekutu untuk mengembalikan Belanda kembali menjajah Indonesia adalah hasil keputusan Konferensi Yalta untuk wilayah Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda.

Dari sini kita bisa lihat bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh Inggris. Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945.

Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari yang setuju bertempur - tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees).

Demikian juga para pemimpin Republik Indonesia pada saat itu tidak menghentikan politik bertempur rakyat Surabaya. Hal yang harus diingat dalam pertempuran kali ini, TKR dan rakyat tidak kalah, tetapi memang pertempuran dan serangan dihentikan. Jangan terkecoh dengan laporan Divisi 23 militer Inggris ke pemerintah Inggris Raya bahwa mereka kembali menang perang. Justru yang terjadi adalah Brigade 49 dari Divisi 23 kalah di medan pertempuran Kota Surabaya.

Sumber data dan informasi :
- Dr. A.H. Nasution, ”Diplomasi atau Bertempur oleh Dr. A.H. Nasution”
- Sutomo, ”Pertempuran 10 November 1945 Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor” Sejarah”
- Perpustakaan DHD 45 Propinsi Jatim, ” 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949”
Read more ...

Kamis, 29 Agustus 2019

Pertempuran Medan Area yang Frontal dan Sengit

Para Pemuda Pejuang di Medan
Masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan Sekutu yang disusupi NICA adalah saat paling berdarah-darah  dari episode perjuangan RI mencapai Indonesia Merdeka yang sudah diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakil Rakyat Indonesia.  Hal ini pun terjadi di Medan, Sumatra Utara.

Sesuai dengan perkembangan di Pulau Jawa dan instruksi dari pusat Komando Milter TKR di Yogyakarta maka pada tanggal 13 September 1945 terjadi konsolidasi  tentara-tenara dari BKR dan lascar-laskar dibentuk ulang menjadi Tentara Keamanan Rakya di Medan.

Pihak sekutu yang diwakili oleh Komando Asia Tenggara (South East Asia Command atau SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mounbatten. Pasukan Sekutu yang bertugas di Indonesia adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.

Pada tanggal 9 Oktober 1945 tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly. Tentara NICA yang datang dari Brigade 4 dari Divisi India ke-26.

Awalnya mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara yang berdalih akan melucuti tentara Jepang di Indonesia dan membebaskan tawanan perang yang dipenjara di tangsi-tangsi Jepang. Sebagian besar tawanan itu adalah tentara Belanda dan interniran dari keluarga serdadu Belanda.

Para perwira tinggi Sekutu dan NICA dipersilahkan untuk menginap di Hotel de Boer, Hotel Astoria,  Grand Hotel dan hotel lainnya. Sementara serdadu lainnya mendirikan tenda-tenda dan barak di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat lain.

Bahkan tim Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulau Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi dengan dibantu oleh Gubernur M. Hassan dan pejabat pemerintah di Sumatra Utara . Hal yang sangat mengejutkan adalah semua tawanan militer itu tidaklah dipulangkan tetapi langsung dibentuk dalam satuan-satuan tempur KNIL.

Semua kondisi kondusif itu berubah total setelah sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia sambil menghina.

Aksi seorang NICA direspon keras oleh rakyat Medan. Mereka sangat marah sehingga  para pemuda melakukan penyerangan dan pengrusakan terhadap hotel dan orang-orang NICA yang menginap disana. Akibat kejadian ini menimbulkan korban dipihak NICA 96 orang luka-luka. Insiden ini terus berlanjut dan menyebar ke tempat-tempat lain seperti  di  Berastagi  dan juga di Pematang Siantar.

Respon dari rakyat Medan itu direspon keras oleh Pihak Sekutu.  Pada tanggal 1 Desember 1945, Jenderal T. E. D. Kelly  mengeluarkan perintah untuk memberi ultimatum ke pihak Republik dengan memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan, tetapi para pemuda menghiraukan seruan tentara Sekutu tersebut.

Konflik Sekutu dan Pihak Republik tak bisa dihindari lagi. Pertempuran terus berlanjut gaung sentiment di hotel itu menjadi tidak sederhana, karena seluruh Kota Medan menjadi area perang yang frontal.  Pasukan Inggris dan NICA melakukan patrol masuk keluar kampung di Kota Medan untuk melakukan pembersihan terhadap para gerilyawan pejuang.

Tidak hanya sampai disitu Pihak Inggris dan NICA juga melakukan penyerangan terhadap pusat-pusat konsolidasi TKR di Medan.  Serangan ini banyak memakan korban di pihak TKR dan juga pihak Inggri – NICA. Salah satu serangan Sekutu pada 10 Desember 1945 dimana pasukan Inggris dan NICA berusaha  membumihanguskan markas Tenatara Keamanan Rakyat (TKR) di Trepes. Untungnya usaha sekutu itu gagal karena kekuatan rakyat dari berbagai daerah turut membantu TKR.

Para pemuda yang  turut berjuang menculik salah satu perwira Sekutu dan truk militer Inggris di rebut. Jenderal T. E. D Kelly mengancam pihak yang menculik perwira akan langsung ditembak mati.

Pada bulan April 1946 pasukan Inggris – NICA berhasil menguasai Kota Medan,  Para Pejuang Republik terpaksa mundur dan berpindah-pindah tempat dan kemudian ke Siantar dan perang gerilya dijalankan.  Pada tanggal 10 Agustus 1946 pasukan Inggris dan NICA Belanda menuju Tebing Tinggi yang menimbulkan pertempuran sengit dan korban di kedua kubu.

Untuk mengurangi korban yang  terus berjatuhan TKR mendur ke Gubernur, Makras Divisi TKR, Walikota RI akhirnya dipindahkan ke Pematang Siantar.  Pemindahan ini beserta Gubernur  Sumatra Utara, Walikota Medan dan para pejabat Divisi TKR. Pertempuran besar dan frontal mereda, tetapi perang kecil disana-sini masih terus terjadi.

Itu semua bukan berarti pihak Republik kalah karena konsolidasi terus dilakukan. Pada 10 Agustus 1946, di Tebingtinggi, dikumpulkan berbagai komandan-komandan dari beberapa sector yang terlibat dalam perjuangan di Medan Area. Konsolidasi ini memperkuat basis TKR dengan membentuk satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando itu dibagi atas 4 sektor. Masing-masing sector dibagi lagi atas 4 sub sector. Satu sector dibekali kekuatan satu batalyon.

Tempat pusat komando diputuskan di Sudi Mengerti (Trepes), dari sini perjuangan di Medan khususnya dan Sumatra Utara umumnya diteruskan.

Sumber dan Referensi :
-  Dr. A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia",Penerbit Angkasa Bandung, 1995.
-  Dr. A.H. Nasution, "Catatan-catatan Sekitar Politik Militer Indonesia", CV. Pembimbing, 1955.
- Adam Malik, "Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945". Wijaya Jakarta, 1962.
-  wikipedia.org
Read more ...

Rabu, 28 Agustus 2019

Puputan Margarana I Gusti Ngurah Rai Melawan Belanda

I Gusti Ngurah Rai.
Inilah kisah heroik yang bener-bener meneteskan air mata, bagaiamana seorang komandan tempur terdepan berada bersama anak buahnya dan tidak gentar untuk menghadapi Belanda sampai titik darah penghabisan.

Dialah Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang  terkenal dengan istilah Puputan Margarana-nya. Dia mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Rl No. 063/TK/Tahun 1975 tanggal 9 Agustus 1975 dengan pangkat terakhir.  Brigadir Jenderal yang dikebumikan di Taman Pujaan Bangsa Margarana.

I Gusti Ngurah Rai lahir pada tanggal 30 Januari 1917 di Desa Carangsari, Badung, Bali. Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Patjung dan ibunya I Gusti Ayu Kompyang.  Awalnya I Gusti Ngurah Rai  mendapatkan pendidikan militer  dari kolonial Hindia Belanda di Gianyar, Bali, sejak  Desember  tahun  1936. Pendidikan militer ini dikhususkan untuk para bangsawan.

Selesai pendidikan di Gianyar kemudian melanjutkan ke  Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO),  Magelang, Jawa Timur dengan spesialisasi artileri perang.  Selesai pendidikan dengan pangkat letnan dua kemudian menjadi bagian dari Korps Prayudha Bali.  I Gusti Ngurah Rai sempat berdinas di kemiliteran Belanda di masa penjajahan Hindia Belanda.

Pada Perang Dunia II Jepang melakukan serangan ke Pearl Harbor dan menguasai sebagain besar Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Jepang masuk ke Bali melalui Pantai Sanur tanggal 18 sampai tanggal 19 Februari 1942.  Invasi ini benar-benar tanpa perlawanan berarti dari Belanda, maupun dari Pihak Republik. Belanda keluar dari Indonesia dan senjatanya di lucuti tentara Jepang. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai tidak aktif lagi di dinas militer Belanda.

I Gusti Ngurah Rai bersama Pasukan Ciung Wanara
Pada masa pendudukan Jepang para mantan militer Belanda  yang pribumi  banyak dipekerjaan berbagai instansi untuk kepentingan Jepang. Waktu itu Ngurah Rai bekerja sebagai pegawai pada Mitsui Hussan Kaisya, yaitu sebuah perusahan untuk mengumpulkan  dan membeli hasil pertanian para penduduk.

Pada riwayat selanjutnya Pemerintah Jepang  mulai membentuk  badan kemiliteran dari para penduduk Indonesia yang diberi nama Pembela Tanah Air (PETA), Haiho (prajurit cadangan) dan Kompetai (polisi Jepang). Pada masa kedepan setelah Jepang kalah perang para anggota PETA dan Haiho ini bergabung ke BKR atau TKR.

Para pemuda yang pernah terjun ke dunia militer dipaksa untuk ikut dalam organisasi kemiliteran ini, tetapi I Gusti Ngurah Rai menolak dan lebih ingin untuk membentuk sendiri  untuk kepentingan bangsa Indonesia sendiri.  Secara diam-diam  Ngurah Rai sudah mengumpulan para pemuda di Bali, kemudian perkumpulan itu diberi nama  “Gerakan Anti Fasis” (GAF) yang menentang penjajahan Jepang, yang perkembangannya kedepan dibentuk menjadi Badan Keamanan Rakyat.

Pada masa zaman Nippon inilah I Gusti Ngurah Rai menikahi wanita yang bernama Ni Desok Putu Kari. Dari pernikahan ini memperoleh  tiga  anak laki-laki dan satu orang  perempuan.  Sayangnya anak yang perempuan meninggal tidak lama paska diahirkan.

Ketika itu dorongan untuk membentuk badan resmi kemiliteran untuk kepentingan persiapan kemerdekaan Republik Indonesia sudah mulai besar.  Hasratnya itu baru terlaksana setelah Jepang tekuk lutut kepada Sekutu karena yang menghancurkan dua kota Jepang yaitu  Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom. Dorongan ini semakin kuat karena berbagai elemen masyarakat di tempat lain juga telah melakukan konsolitasi untuk membangun organisasi militer yang lebih resmi.

Pada masa selesai Perang Dunia  II dan tidak lama setelah itu  Proklamasi dikumandangkan oleh Ir. Soekarno di Jakarta,  I Gusti Ngurah Rai  yang semasa  dinas sudah berpangkat kolonel ilmunya dimanfaatkan untuk mendidik para pemuda yang akan bergabung ke  Badan Keamanan Rakyat  di Bali. Banyak pada pemuda yang turut bergabung, sebagian besar adalah para pemuda dari  “Gerakan Anti Fasis” (GAF). 

Untuk mengumpulkan senjata dari kepentingan BKR di Bali, I Gusti Ngurah Rai dan kawan-kawannya melakukan aksi perebutan senjata diberbagai tangsi-tangsi  dan kantor-kantor pemerintah Nippon. Usaha perebutan senjata ini terkadang secara damai tetapi juga terpaksa dengan aksi militer, karena ada juga tentara Jepang yang  hanya mau menyerahkan senjatanya kepada Sekutu.

Informasi bahwa Jepang telah bertekuk lutut dan akan menyerahkan senjatanya kepada Sekutu banyak didengar oleh para pemuda di Bali sehingga inisiatif untuk segera melucuti tentara Jepang banyak bermunculan. Usaha mengumpulkan senjata ini lebih giat lagi setelah Jepang menyerahkan kekuasaan pemerintahan sementara di Bali kepada  Gubernur Mr. Ketua Puja  pada tanggal 8 Oktober 1945.

Para pemuda di Bali mengikuti perkembangan dari Jakarta dan Yogyakarta yang meminta untuk segera membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), karena memang sebelumnya sudah terbentuk BKR, maka BKR bertransformasi menjadi  TKR yang diputuskan dalam rapat pada bulan November 1945 di  Puri Raja Badung, di Denpasar. 

Hasil putusan rapat itu juga mengangkat  Mayor I Gusti Ngurah Rai menjadi Kepala Divisi TKR Sunda Kecil di Bali.   Wayan Ledang  diangkat sebagai sebagai Kepala Staf, sedangkan Kepala Barisan Penggempur diserahkan kepada I Gusti Putu Wisnu.  Sebagai Kepala Devisi TKR I Gusti Ngurah Rai hanya bermodalkan senjata bekas penyembunyian pada masa dinas menjadi militer Belanda pada Satuan Prayoga tahun 1942.

Pasukan yang sudah terbentuk itu kemudian diberinama TKR Sunda Kecil. Pasukan TKR Sunda Kecil terkenal dengan kemampuan dalam bertempur. Walau baru berdiri tetapi berbagai pertempuran harus sudah dihadapi baik terhadap sisa-sisa pasukan Jepang&ndi Bali.

Pada tanggal 15 Desember 1945 di pihak Jepang sebagian Angkatan Lautnya ditarik ke Jepang, tetapi ternyata digantikan lagi dengan Angkatan Darat. Sikap serdadu Jepang Angkatan Darat ternyata lebih tegas dari pada Angkatan Lautnya. Tersiar kabar bahwa Jepang akan melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para pemimpin di Bali dan akan menuntut atas pengembalian tangsi dan kantor Jepang yang direbut oleh para pemuda Republik.

Atas sikap Jepang itu TKR dan laskar-laskar rakyat melakukan dibeberapa tempat seperti di Denpasar, Tabanan dan Singaraja yang menyebabkan korban berpuluh-puluh orang di pihak Jepang. Pada saat itu pihak Republik berpangkalan di Puri Kasiman. Serangan itu direspon oleh pihak Jepang dan kemudian melakukan penangkapan. Salah satu yang ditangkap adalah dr. Subadi yang menjadi Kepala Palang Merah di Bali. Korban-korban yang ditawan disiksa oleh Jepang sebagai aksi balas dendam. Sebagian tawanan tidak diketahui lagi termasuk dr. Subadi.

Pasukan BKR dengan senjata sederhana

Pada tanggal 2 Maret 1946 tentara Sekutu  yang diboncengi pasukan NICA (Netherlands India Civil Administration) mendarat di Sanur, Denpasar.   Kedatangan Sekutu ini merupakan misi dari  perjanjian Wina yang disepakati tahun 1942 antara para Sekutu pemenang Perang Dunia II. Salah satunya adalah mengembalikan kekuasan lama sebelum Jepang , negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki Jepang ke pemilik koloni sebelumnya. Dalam hal ini pendudukan Indonesia akan dikembalikan ke Belanda.

Tentara NICA Mendarat di Bali
Pasukan Sekutu berkompoi dengan truk dan tank memasuki kawasan perkotaan dan  pedesaan untuk melucuti tentara Jepang dan mengumpulkan senjatanya. Tentara Jepang hanya menunggu didalam tangsi-tangsi dan kantor Nippon.

Tentara Jepang yang diwajibkan untuk menyerahkan semua senjatanya kepada Sekutu semakin sulit untuk diajak berunding untuk menyerahkan senjatanya kepada para pemuda untuk kepentingan persenjatan TKR yang masih baru. Bahkan mereka menunjukkan permusuhan kepada para Pemuda di Bali. 

Hasil kesepakatan para  pemuda terpaksa mereka  melakukan serangan serentak  yang rencananya akan lakukan pada tanggal 13 Desember 1945 terhadap tangsi-tangsi Jepang, tetapi sayangnya pihak Jepang sudah mengetahui rencana ini sehingga pihak Jepang jutru melakukan penyerangan duluan. Pihak Jepang juga banyak melakukan penangkapan terhadap para pemuda salah satunya adalah Gubernur Mr. Ketua Puja untuk menghentikan niat para pemuda untuk merebut senjata Jepang.

Pada saat itu aksi-aksi pasukan Jepang terhadap para pemuda membuat konsolidasi dan konsentrasi pembentukan Tentara Keamanan Rakyat jadi berantakan. Senjata-senjata yang semula sudah dikumpulkan para pemuda diambil lagi oleh Jepang. 

Kondisi yang tidak menguntungkan ini menyebabkan  I Gusti Ngurah Rai bersembunyi ke Munsiang di Tabanan Utara. Dari sini konsolidasi para pemuda dibangun lagi.  I Gusti  Ngurah Raid an para pemuda mencari cara untuk mendapatkan pasokan senjata untuk memperkuat TKR yang baru terbentuk. Dari hasil rapat diputuskan untuk mencari senjata di Pulau Jawa.

I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta dan berusaha mengontak orang-orang di Markas Umum TKR di Yogyakarta. Sayangnya kondisi di Yogyakarta juga tidak berbeda jauh dengan di Bali yang fasilitar TKR-nya masih terbatas dan sulit, tetapi kedatangannya ke Yogyakarta menjadi konsolidasi secara nasional yang penting.

Agar  kekuatan militer tetap ada dan para pemuda TKR tetap memiliki semangat tempur, berbagai persenjataan seadanya dikumpulan termasuk juga membuat bambo runcing.  Pusat-pusat kekuatan rakyat dan TKR digunung-gunung  dan hutan juga dibuat agar Jepang dan Sekutu tidak mudah datang. Berbagai pertahanan semu dan jebakan-jebakan juga dirancang untuk menipu  tentara Jepang dan Belanda yang berpusat di kota-kota.

Di lain tempat hasil Perundingan Linggarjati, Jawa Barat, pada tanggal 15 November 1946 menyebabkan Republik Indonesia secara de facto hanya diakui memiliki Jawa, Sumatra dan Madura. Jelas perundingan ini sangat merugikan bangsa Indonesia.  Pulau Bali akan masuk ke dalam Republika Indonesia Timur yang dikendalikan oleh Belanda.

Hasil perundingan ini banyak ditentang oleh rakyat Bali yang tidak menginginkan Republik ini dipecah-pecah dan bahwa Proklamasi Kemerdekaan yang disampaikan  pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan untuk Jawa, Sumatra dan Madura saja tetapi untuk seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merouke.

Keputusan Linggarjati itu ditanggapi oleh I Gusti Ngurah Rai yang mengatakan, ”Jangan gentar, Sunda kecil harus mampu’berdiri sendiri. Lanjutkan perjuangan dengan apa yang ada walaupun perhatian dari pusat kurang.”

I Gusti Ngurah Rai meningkatkan aktifitas gerilyanya dengan serangan-serangan seporadis yang cepat kemudian segera masuk ke hutan.  Salah satu aksi serangan gerilya ke Tabanan terjadi pada tanggal 18 November 1946, tiga hari setelah Perundingan Linggarjati. Serangan ini benar-benar mendadak diluar perkiraan Belanda, sehingga pihak Belanda banyak yang tewas.

Pada tanggal 20 November 1946 aksi gerilya I Gusti Ngurah Rai dipusatkan untuk mendapatkan senjata dari tentara dan polisi NICA yang sedang ada di Tabanan. Operasi ini berhasil baik dan TKR mendapatkan beberapa pucuk senjata dan pelurunya, bahkan seorang komandan polisi Belanda pribumi juga ikut menggabungkan diri dalam perjuangan I Gusti Ngurah Rai.

Terjadi juga berbagai serangan kecil dimana-mana yang membuat posisi Belanda mulai kewalahan sehingga meminta didatangkan pasukan dari berbagai tempat di Sunda Kecil.  Dengan sesegera mungkin pihak Belanda mengumpulkan seluruh kekuatannya di Bali untuk menghadapi pasukan TKR yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai.

Termasuk juga pasukan Belanda yang ada di Pulau Lombok dan Sunda Kecil lainnya ditarik ke Pulau Bali. Pasukan Ngurah Rai berhadapan dengan berbagai satuan militer Belanda seperti “Gajah Merah” dan “Anjing NICA”, juga satuan polisi Belanda.

Belanda juga mendatangkan pesawat-pesawat tempur dari Makassar untuk berbagai  operasi di Tabanan. Pada tanggal 20 November 1946 itu juga pesawat-pesawat tersebut berputar-putar diatas Tabanan untuk melihat dan menyerang pasukan gerilya TKR yang masuk ke Tabanan. Terpaksa pasukan TKR mundur kearah Dusun Marga dengan menyusuri hutan disekitar Gunung Agung.  Pada hari yang sama hampir semua pasukan TKR  berkumpul dan terkonsolidasi di Dusun Marga.

Belanda benar-benar menjaga sekitar desa dengan kekuatan penuh dan berlapis. Kemudian pada jam 05.30 tanggal 20 November 1946  pasukan Belanda benar-benar merangsak ke dalam Dusun Marga, Desa Kalaci. Kondisi perbekalan dan peluru yang kurang I Gusti Ngurah Rai membuat taktik menunggu. Posisi I Gusti Ngurah Rai yang belum diketahui pasti menyebabkan Belanda mencari-cari di sekitar Desa Marga.

Pada jam 9.00 pagi pasukan Belanda sudah mengetahui posisi tentara TKR. Pada jarak yang dekat pertempuran sengit terjadi.  Di udara pesawat pengintai Belanda terus berputar untuk memastikan posisi-posisi pasukan Ciung Wanara. Serangan dari timur, barat dan selatan harus dihadapi oleh tentara TKR.

Pada kurang lebih jam 10.00 senjata mesin yang sebelumnya tidak digunakan karena harus menghemat  peluru terpaksa digunakan untuk menghentikan  laju pasukan Belanda. Untungnya hal ini berhasil menghentikan laju pasukan Belanda dalam jarak yang sudah dekat, dan justru keadaan menjadi membalik pasukan baris depan Belanda banyak yang tewas tertembak. Komandan Belanda meminta bantuan didatangkan lagi pasukan tambahan, juga pesawat-pesawat tempur.

Pasukan Ciung Wanara tetap memberikan perlawanan sengit, justru tentara Belanda banyak terjadi korban sehingga mereka tidak berani untuk mendekat. Dalam kondisi yang semakin sulit dan jumlah pasukan yang tinggal satu kompi saja I Gusti Ngurah Rai berusaha meloloskan diri dari posisi kepungan yang mengunci. 

Pasukan Ngurah Rai menggunakan kondisi alam untuk berlindung dan bergerak kearah utara menyusuri lembah.  Pesawat Belanda lagi berputar-putar di atas lembah dan tidak ingin kehilangan targetnya. Kemudian melakukan tembakan-tembakan dari udara.

I Gusti Ngurah Rai memerintahkan anak buahnya untuk berpencar. Sayangnya disekitar lembah ada jurang yang dalam. Tembakan dari udara juga diselingi dengan peluncuran roket dari pesawat-pesawat yang membuat pasukan Ciung Wanara benar-benar terjepit.

Di sisi lain pasukan Belanda juga terus mendekat dan melakukan berondong tembakan. Kondisi yang kritis ini tidaklah mengendurkan semangat I Gusti Ngurah Rai. Dia berteriak kepada anak buahnya. “Puputan,” Seru I Gusti Ngurah Rai.  Akhirnya pertempuran yang tidak seimbang itu menyebabkan I Gusti Ngurah Rai gugur bersama dengan seratus orang anggota pasukan Divisi Sunda Kecil gugur.

Sumber dan Referensi :
- Indrawati Muninjaya, Nyoman Sirna, Biografi Drs. I Nyoman Sirna MPH, "Sang Guru, Sebuah Memoar Tentang Perjuangan dan Pengabdian"
- Dr. A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia", 1984.
- Wayan Djegug A Giri, "Puputan Margarana", Denpasar: YKP, 1990.
-  M. Soenjata Kartadarmadja, "I Gusti Ngurah Rai", 1985.
- I Gusti Ngurah Pindha, "Perang Bali - Sebuah Kisah Nyata", 
-  wikipedia.org
Read more ...