Jumat, 30 Agustus 2019

Perjuangan Surabaya 10 November 1945, Antara Diplomasi atau Bertempur

Senjata warisan Jepang sangat efektif di Surabaya
Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 membakar moral arek-arek Surabaya untuk terus mempertahankannya.  Pada 3 September 1945, Residen Soedirman dan rakyat Surabaya merayakan proklamasi itu dan membacakan lagi apa yang sudah dibacakan oleh Soekarno di Jakarta dan dilanjutkan dengan aksi pengibaran Sang Saka Merah Putih di seluruh pelosok Kota Surabaya.

Di hari itu kabar akan kedatangannya Sekutu,  Inggris dan NICA sudah santer terdengar. Sebuah kontradiksi antara semangat proklamasi dengan kenyataan getir atas kedatangan kembali menjadi romantika sendiri bagi Rakyat Surabaya.

Pertempuran bersejarah 10 November 1945 yang paling berdarah dalam efisode Perjuangan Kemerdekaan RI  itu sudah akan dimulai, tetapi semangat dan optimisme dalam perayaan kemerdekaan atas diterimanya kabar proklamasi yang sudah dikomandangkan di Jakarta membahagiakan dan menenggelamkan rasa takut.

Di sisi lain rakyat Surabaya masih yakin bahwa kedatangan itu hanya sementara, karena seperti yang disampaikan bahwa kedatangan Sekutu hanya untuk melucuti senjata Jepang dan mengembalikan tawanan interniran dan tentara Belanda oleh Jepang.

Kabar kedatangan Sekutu yang menang perang itu semakin jelas, setelah pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet-pamlet pengumuman bahwa Sekutu/Belanda akan mendarat di Surabaya untuk menjalan tugas sebagai (Allied Forces Netherlands East Indies).

Kabar kedatangan ini telah menyebabkan para interniran dan orang-orang Pro Belanda pada masa penjajahan Hindia Belanda merasa mendapatkan angin segar.  Mereka merayakan kedatangan itu. Bahkan yang lebih berani adalah yang dilakukan para interniran yang berada di Orange Hotel. Pada tanggal 19 September 1945 mereka secara lancang mengibarkan bendera merah putih biru yang benar-benar menyinggung perasaan Arek-Arek Suraboyo.

Melihat ada bendera Belanda di atas Hotel Orange para pemuda segara sigap langsung naik dan merobek bagian biru dari bendera Belanda itu. Perang mulut terjadi yang berlanjut pada perkelahian dan insiden antara orang-orang Pro Belanda di hotel itu dengan para pemuda Surabaya.  Perkelahian itu membuat seorang interniran Belanda,  Mr. Ploegman tewas.

Pada 25 Oktober 1945 pihak Sekutu yang datang atas nama AFNEI yang didalamnya ada tentara Inggris, Australia dan NICA (Belanda yang secara administrasi sipil tercatat pada Hindia Belanda)  mendarat di Surabaya. Secara keseluruhan kedatangan Sekutu sudah dimulai sejak September 1945 sebanyak tiga divisi British-Indian Divisions secara lengkap telah mendarat di Jawa dan Sumatera, tetapi khusus untuk Surabaya satu devisi sendiri.

Kekuatan yang paling besar dari tamu yang tidak diundang ini adalah serdadu Inggris yaitu Brigade ke-49 dengan kekuatan 6.000 serdadu dipimpin Brig. Jend. A.W.S. Mallaby.  Pasukan ini adalah pasukan yang berpengalaman dalam Perang Dunia II, sehingga secara moril mereka datang dalam keadaan yang angkuh dan sombong. Selain itu ada juga pasukan yang sangat berpengalaman dari kancah Perang Dunia II yang terdiri dari pasukan Gurkha dan Nepal dari India Utara.

Pada besok harinya tanggal 26-27 Oktober 1945 beberapa pesawat Inggris menjatuhkan selebaran yang ditandatangani oleh  Mayjen. D.C. Hawthorn, Panglima Sekutu untuk wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di atas Kota Surabaya yang memerintahkan agar penduduk Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata. Barang siapa yang memegang senjata api selain Sekutu akan ditembak.

Arek-arek Surabaya mengabaikan selebaran itu, tidak satu pun penduduk Surabaya datang ke markas Sekutu untuk menyerahkan senjata. Apa yang terjadi justru berbagai insiden sejak tanggal 28 Oktober 1945 di seluruh pelosok Kota Surabaya.

Tetapi di Pusat bersikap lain. Perjuangan melalui diplomasi oleh para pemimpin bangsa juga dijalankan. Berturut-turut pada jam 21.00 sampai  jam 23.00 kontak dilakukan melalui Pemerintah Pusat di Jakarta tidak berhasil merubah pendirian Pimpinan Tentara Inggris, Mayjen. D.C. Hawthorn untuk mencabut ultimatumnya dan menjelaskan bahwa TKR berhak memegang senjata. Inggris tidak mengakui Pemerintahan RI yang baru saja berdiri dan juga TKR.

Puncaknya tanggal 30-31 Oktober 1945 tentara Inggris meninggalkan Gedung Internatio Brig. Mallaby meninggal, mobilnya meledak terbakar. Tanggal 9 Nopember 1945 ultimatum yang ditandatangani oleh May. Jend. E.S. Masergh Panglima Divisi Tentara Sekutu di Jawa Timur, minta rakyat menyerahkan senjata tanpa syarat sebelum jam 18.00 dan apabila tidak melaksanakan sampai jam 06.00 tanggal 10 Nopember 1945 pagi akan ditindak dengan kekuatan militer Angkatan darat, Laut dan Udara.

Gubernur Soerjo berpidato yang merupakan penegasan, "Lebih baik hancur daripada dijajah kembali" . Tanggal 10 Nopember 1945, terjadi pertempuran dahsyat di pelosok kota, perlawanan massal rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu, sehingga korban berjatuhan di mana-mana, selama 18 hari Surabaya bagaikan neraka. Dengan hancurnya kubu laskar rakyat di Gunungsari pada tanggal 28 Nopember 1945 menyebabkan sementara seluruh Kota Surabaya jatuh ke tangan Sekutu.

Pertempuran yang paling berdarah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia ini meletus. Mulai pukul 06.00 kanonnade Inggris membombardir Surabaya dengan meriam-meriam dari Kapal Perang. Surabaya Utara benar-benar hujan ledakan. Pelabuhan, Gedung Pengadilan, Kantor PTT, Gedung-gedung Pemerintahan dan kampung-kampung hancur lebur. Orang pribumi, Arab, Cina yang berada pada daerah utara banyak yang menjadi korban. Lokasi-lokasi seperti Pasar Turi, Kramat Gantung, Maspati, Pasar Besar benar-benar rata dengan tanah.

Suara Bung Tomo yang menggelegarkan nusantara dari stasiun radio Pemberontakan mengudara. Rangkaian kata-kata yang membangkitkan bulu kuduk apalagi pada masa itu, pada masa sekarang saja kita masih bisa membayangkan betapa heroiknya para pemuda Indonesia yang secara gagah berani maju ke medan perang berhadapan dengan tentara Inggris dan NICA yang bersenjata modern, tetapi bagi para Pemuda Indonesia kehormatan dan kemuliaan bangsa Indonesia adalah nomor satu, biarkan hanya bersenjata bambu runcing, kelewang atau senapan bekas NIPON  perlawanan harus dilakukan.

Ratusan ribu pejuang rakyat masuk kota Surabaya dari berbagai arah. Sementara Sekutu mengerahkan semua kekuatannya di Jawa Timur. Angkatan laut, udara dan darat mereka yang bersenjata modern dikerahkan semua. Jam 09.00 Inggris mulai juga melakukan aksi serangan udara, dengan menghujani bom-bom pada hampir seluruh daerah di Kota Surabaya dan pinggiran kota.

Hari pertama serangan Inggris dan NICA yang dimulai dari utara, tempat kapal-kapal perang mereka bersandar di pelabuhan ini tidak ada ampun banyak sekali rakyat kita yang menjadi korban. Pasukan Sekutu benar-benar pesta pembunuhan, wanita, orang tua, anak-anak mereka sikat tanpa ampun. Kampung-kampung yang sudah rata dengan tanah mereka masuki, jika ada rakyat yang masih terlihat hidup atau bergerak langsung mereka berondong.

Pukul 09.15 barulah fihak Indonesia mengeluarkan perintah untuk melancarkan serangan balasan, yang dilakukan secara ”jibaku”. Dengan tiada kesatuan pimpinan taktis dalam operasi ini, pemuda-pemuda TKR, Polisi, PRI, dan lain-lainnya berjuang seperti banteng yang mengamuk ke arah kolone-kolone dan posisi-posisi musuh. Hal ini menimbulkan korban yang tidak sedikit dikedua belah pihak.

Pada hari pertama ini garis pertahanan kita membujur dari barat ke timur kota Surabaya. Dari daerah Asem Jajar ke Selatan Pasar Turi. Melalui jalan kereta api yang tinggi samai Kali Mas dan sepanjang kali tersebut membelok ke utara sampai ke Jembatan Ferwerda, mengarah ketimur lagi melalui Kali Pegirikan. Di daerah Asem Jajar serangan-serangan balasan kita berhasil membuat pasukan musuh dipukul mundur. Kantor pos di utara berkali-kali pindah tangan dan akhirnya kita bumi hanguskan.

Hari kedua juga pertempuran ini masih kurang seimbang, tentara Sekutu masih mendominasi berbagai front pertempuran. Sehingga banyak pejuang kita yang menjadi suhada.

Pemuda-pemuda pemberani dengan gagah berani melawan tank-tank Sherman Inggis yang modern. Mereka ini bahkan berani mati menubrukkan diri ke tank-tank tersebut dengan membawa bahan peledak. Banyak sekali tank-tank sekutu yang rusak parah dan tewasnya pengendara didalamnya. Jika tank-tank ini rusak, para pejuang melembarkan bom bensin kedalamnya. Usaha-usaha ini tidak sia-sia banyak dari tank-tank tidak berani bergerak bebas. Mereka malah statis di satu tempat.

Rakyat Indonesia merupakan bangsa pemberani, walaupun berhadapan dengan senjata modern seperti tank-tank itu, mereka tidak takut bahkan dengan keberaniannya yang luarbiasa ini pasukan tank-tank Inggris ini malah yang takut untuk kelaur dari wilayah-wilayah yang mereka kuasa saja. Hal ini menguntungkan pejuang kita.

Senjata-senjata buatan Jepang dalam perang dunia kedua juga lumayan membantu, bahkan senjata berat ini merontokkan 2 pesawat udara Inggris dan menewaskan penumpangnya. Salah satu penumpang yang tewas adalah seorang perwira Inggris yang bernama Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds dari artireli.

Seluruh Indonesia pada waktu itu banyak yang memasang radionya siang-malam. Mendengarkan berita dan pidato-pidato dari Surabaya, termasuk suara Bung Tomo yang menggunakan stasiun ”Radio Pemberontakan” yang menggaungkan semangat perjuangan itu. Seluruh rakyat Indonesia merasa mencekam dan mendidih rasa nasionalismenya menunggu berita-berita dari suatu pertempuran antara rakyat bersenjata yang belum terlatih melawan pihak Sekutu yang menggunakan senjata modern dari laut, udara dan darat.

Tetapi seiring dengan bertambahnya perjuangan dari berbagai pelosok Surabaya dan suara lantang Bung Tomo dari Radio Perjuangan. Ratusan ribu perjuang rakyat yang datang bagaikan tawon itu tidak ada habis-habisnya. Dari Besuki, Malang, Kediri, Madiun, Bojonegoro, bahkan Semarang dan sebagainya.

Salah satu keberhasilan perjuang yang sangat penting adalah keberhasilan pejuang kita dengan menggunakan altireli buatan Jepang mampu merusak lapangan terbang musuh. Sehingga nyaris pesawat terbang Inggris tidak dapat mengudara dalam beberapa hari.

Pada hari keempat, 13 November 1945 pertempuran terus berjalan dengan hebat. Garis pertahanan kita masih membujur dari barat ke timur. Dari daerah Asem Jajah keselatan Pasar Turi, Rel kereta yang tinggi hingga Kali Mas. Di daerah Asem Jajar kita dapat memukul mundur Sekutu.

Hari ketiga ini Tank-Tank Shermen sudah benar-benar tidak digunakan lagi. Kita dapat secara efektif menghancurkan tank tersebut bersama 3 atau 5 tentara didalamnya hanya dengan satu atau dua orang pemuda berani mati kita. Musuh kita benar-benar kapok menggunakan tank-tank ini.

Bombardemen dari laut menjadi menggila pada hari ini. Dari kampung-kampung dekat pelabuhan sampai Simpang Lonceng benar-benar luluh lantak.

Pada hari ini kemenangan kita adalah pada logistik dan suplay makanan. Pasokan makanan berupa nasi bungkus, ketela pohon, pisang dan lain-lain membanjir masuk kota Surabaya. Sehingga dimanapun posisi pejuang nyaris tidak sulit dalam menemukan makanan. Pada umumnya makanan-makanan ini mengalir dari luar kota.

Simpati rakyat kita demikian besarnya sehingga hal ini benar-benar mempermudah para pejuang kita dalam medan pertempuran. Demikian membanjirnya makanan bahkan banyak makanan yang membasi karena tidak tertempung lagi. Lucunya nasi-nasi basi yang telah dibuang pejuang kita ini malah diambil oleh tentara Inggris untuk mereka makan.

Hari Kelima tanggal 14 November 1945. Pertempuran berjalan terus. Pasukan sekutu mulai terdesak, kekuatan mereka melemah setelah tank-tank tidak beroperasi. Tiga pesawat musuh di lapangan udara juga berhasil dihancurkan pejuang kita.

Pada hari inipun serangan-serangan kita sudah mulai teratur, konsolidasi kita dibawah bombardir musuh cukup sukses. BKR mulai bisa mengatur pembagian tugas-tugas pertempuran untuk pertama kalinya, yakni sektor timur, tengah dan utara.

Sektor Timur dipimpin oleh Mayor Kadim dari TKR, posnya berada di Karangmenjangan. Pasukan-pasukan yang dilibatkan pada sektor ini, yaitu: PA Laut ( Letnan Kolonel Sutejo Eko), PRI (Sidik Arslan),

Lama kelamaan kekuatan RI semakin solid, apalagi bantuan pejuang dari Madura, Bali, Malang, Semarang, Blitar, Kudus, Jokjakarta dan sekitarnya banyak yang sudah datang. TKR, Polisi, PRI, Laskar-laskar kampung, petani, pelajar, ulama, santri, pedagang, guru semuanya bercampur baru menjadi satu. Pada berbagai front bahkan tangsi-tangsi yang berisi pasukan Sekutu mulai terdengar santer bahwa amunisi mereka sudah mulai terkuras. Tembak-tembakan mereka hampir-hampir jarang.

Ada sebagian pejuang kita yang dengan keyakinan penuh, menyebut Allahhu Akbar, Allahu Akbar masuk keberbagai tangsi-tanski tersebut dan berjibaku jarak dekat. Satu demi satu cara-cara seperti ini mulai melumpuhkan kekuatan Sekutu.

Tentara Sekutu semakin lama semakin kelelahan, mereka tidak tidur dan juga tidak sempat makan. Serangan yang tidak ada habisnya dari berbagai penjuru membuat tentara Sekutu merasa berada di neraka. Sedangkan pejuang dapat melakukan itu dengan keluar wilayah pertempuran di luar Surabaya atau masuk ke perkampungan.

Serbuan para pejuang kita ke pos-pos pertahanan Sekutu diperkuat juga dengan aksi blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah.

Suplai-suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan jatuh ke tangan pasukan Indonesia.

Faktor ini sangat mempengaruhi moral dan kekuatan pasukan Sekutu di Surabaya. Sementara bantuan Sekutu dari Jakarta dan Jawa Barat belum bisa datang, karena berbagai hadangan pasukan TKR pimpinan Jendral Sudirman dan pejuang rakyat di Malang, Semarang, Blitar dan daerah-daerah perjalanan penuh dengan pertempuran yang sama beratnya.

Wajar saja jika tentara Sekutu lama-kelamaan moralnya semakin hancur dan stamina semakin terkuras. Mereka benar-benar merinding ketakutan karena pasukan pejuang yang tidak ada habisnya. Bahkan ada beberapa tangsi mereka yang mengibarkan bendera putih, tetapi pejuang rakyat yang berasal dari berbagai laskar itu tidak mengerti aturan pertempuran, malah masuk dan berramai-ramai menggasak habis mereka.

Bayangkan saja tentara sekutu yang di boncengi NICA dengan kekuatan terbesar di Asia Tenggara pada akhirnya terdesak. Sementara bantuan pasukan Sekutu dari Jakarta dan Jawa Barat masih dalam perjalanan yang penuh dengan penghadangan.

Saat-saat terdesak seperti itu, akhirnya Admiral Helfrich meminta tolong kepada Presiden Sukarno untuk menghentikan serangan rakyat yang tiada habisnya, yang tabur seperti lebah. Mati satu datang seribu. Tiada rasa malu Admiral Helfrich yang pernah menolak permintaan Soekarno, meminta bantuan. Admiral Helfrich memanggil Ir. Soekanro "Tuan Presiden", padahal sebelumnya pada saat para Pemimpin Bangsa ini meminta untuk menghentikan ultimatum Sekutu, mereka tidak mengakui pemerintah RI.

Secara jujur seperti yang diakuinya dalam Memories Admiral Helfrich menggambarkan betapa sukarnya keadaan pasukan Inggris. Amunisi yang terbatas, kelaparan, terjepit dimana-mana, sehingga seandainya saja pada waktu itu Presiden Sukarno tidak memerintahkan untuk menghentikan perang, maka ia bersedia untuk mencium kaki untuk bantuan tersebut.

Dalam konferensi di Jakarta yang dilakukan pihak Sekutu pada tanggal 23 November 1945 dan Konferensi Singapura pada tanggal 6 Desember 1945 diantara panglima-panglima mereka. Mereka sepakat untuk tidak memasuki lagi Surabaya, dan pasukan dikonsentrasikan di Jawa Barat karena faktor psikologis perang ini.

Pada  dasarnya Inggris terlalu yakin bahwa kekuatan. Pasukan Inggris Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di hutan-rimba Burma. Reputasi ini membawa pengaruh moril para serdadu Inggris yang datang ke Surabaya.

Kenyataanya saat itu serdadu  “The Fighting Cock” sedang sekarat di Surabaya, moril tempur yang rontok, amunisi yang abis dan persediaan makanan menipis.  Faktor sebenarnya yang terjadi para Komandan Inggris seperti  Brigadir Jenderal Mallaby  juga tidak terlalu peduli dengan data itu, kemenang Perang Dunia II membuat mereka menjadi lalai. Mereka tidak tahu kekuatan bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Informasi yang diterima Inggris mengenai kekuatan para pejuang adalah peta kekuatan masa Hindia Belanda berkuasa, tetapi setelah Jepang berkuasa, banyak memberikan pelatihan militer ke para pejuang Republik. Demikian juga persenjataan Jepang banyak yang direbut oleh para Pejuang.

Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” oleh rakyat Surabaya mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal yang tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan diserang, sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Inggris.

Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih dari lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby.

Dua pesawat terbang mereka juga berhasil ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.

Akhirnya mereka mengakui walaupun memengkan perang melawan Jepang, ternyata melawan rakyat Indonesia jauh lebih sulit. Juga dijelaskan walaupun kemenangan pada akhirnya tetapi sebenarnya karena ada faktor diplomasi kepada pemimpin-pemimpin Indonesia untuk tidak mengerahkan tentaranya ke Surabaya, dan memang pemerintah pusat di Jakarta waktu itu pernah melarang untuk berperang melawan tentara Sekutu.

Atas dasar kepentingan diplomasi di dunia internasional Sukarno pada akhirnya meminta TKR dan para pejuang rakyat untuk menghentikan serangan dan mundur. TKR dan tentara rakyat diminta untuk melakukan cease fire. Walaupun dengan berat hati, para pejuang ini mematuhi perintah pemimpin pemerintahan yang masih baru ini.

Di satu sisi rakyat Surabaya sebenarnya ingin menunjukkan kepada Sekutu dan dunia internasional bahwa pemerintahan kita adalah memerintahan yang berdaulat yang dipatuhi oleh rakyatnya. Hal ini yang mau tidak mau membuat mereka mematuhi keputusan itu.

TKR dan tentara pelajar berusaha melakuan konsolidasi untuk menghentikan sementara serangan. Walaupun disana sini masih ada suara letusan dan ledakan tetapi secara umum pertempuran sudah jauh berkurang.

Para pejuang yang dikomandani langsung oleh Jenderal Sudirman pun ditarik, sehingga iring-iringan bantuan militer Divisi 5, amunisi dan bantuan logistik ke Surabaya dapat dikatakan berjalan lancar. Saat dimana menjadi titik balik kemenangan sekutu akan tiba.

TKR dan rakyat Surabaya tidak kalah dalam perang Surabaya ini, tetapi karena faktor lain yaitu pertimbangan diplomasi pimpinan pusat maka kita mengalah. Coba bayangkan jika Divisi 5 yang akan ke Surabaya terus dihambat oleh pasukan yang dikomandoi Jenderal Sudirman ini di Malang, Semarang dan Belitar sekitarnya ini berjalan terus dan tidak dihentikan karena permintaan pimpinan pusat di Jakarta, maka tentara Inggris di Surabaya benar-benar akan lumpuh.

Tidak akan ada gunanya lagi pasukan dari Jakarta dan Jawa Barat datang ke Surabaya jika datang hanya  dengan merinding ketakutan, bulu kuduk berdiri dan moral yang turun melihat teman-teman serdadu Inggris di Surabaya kalah dan terdesak. Arek-arek Suroboyo sudah marah alang kepalang. Tidak ada gunanya lagi. Tentu mereka datang untuk perperang dengan moral yang sangat rendah dan pasukan yang sudah sedikit, dan pada akhirnya hanya sebagai korban yang bakal dihabisi berikutnya.

Kesempatan yang diberikan oleh para pemimpin Indonesia waktu itu benar-benar dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh Sekutu. Pasukan sekutu merapihkan barisan, peluang untuk bernapas yang memberikan kesempatan pasukan dari Jakarta dan Jawa Barat untuk segera datang ke Surabaya dengan kekuatan penuh. Dengan segala kekuatan persenjataan modern mereka. Dengan bantuan pasukan udara yang jauh lebih masif.

Sebenarnya pada saat yang sama hampir 1,2 juta pejuang dari berbagai tempat seperti Jawa Barat, Bali, NTB, Makasar, Lampung, Jambi bahkan Medan sedang menuju tempat yang sama, Surabaya. Walaupun setelah tentara dai Jakarta, Jawa Barat Semarang tiba di Surabaya sekutu kembali dapat bertahan tetapi ada saat dimana pihak sekutu benar-benar bisa dikalahkan asalkan para pemimpin pada waktu itu berpikir untuk melakukan perang total tanpa ada perjuangan diplomasi.

Perjuangan diplomasi kita menghapuskan peluang kita, tetapi perjuangan diplomasi kita disaat yang lain juga mendatangkan kesempatan yang lain. Tetapi tentunya dengan cerita yang lain. Cerita yang seakan-akan kita merdeka dengan diberi kesempatan oleh Komisi Tiga Negara sebagai refresentasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk terjadinya perdamaian antara Indonesia dan Belanda.

Seandainya saja kita benar-benar perang total waktu itu, maka Inggris akan benar-benar bertekuk lutut. Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya.

Seperti kesaksian kesaksian Kapten R.C. Smith yang memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:

”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).

Sayangnya Soekarno menyerukan  menghentikan serangan dan "cease fire" disaat pasukan Inggris sudah terjepit disana-sini.  Seharusnya jika bangsa Indonesia sebagai pemenang perang, maka kita dapat menuntut Inggris dan Belanda sebagai negara yang kalah perang. Mereka harus bayar apa yang kita tuntut. Mungkin juga penjajah Belanda sudah akan keleuar Indonesia sejak 1945, bukan pada 1949 setelah serangan umum 1 Maret 1949.

Dukungan Sekutu untuk mengembalikan Belanda kembali menjajah Indonesia adalah hasil keputusan Konferensi Yalta untuk wilayah Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda.

Dari sini kita bisa lihat bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh Inggris. Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945.

Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari yang setuju bertempur - tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees).

Demikian juga para pemimpin Republik Indonesia pada saat itu tidak menghentikan politik bertempur rakyat Surabaya. Hal yang harus diingat dalam pertempuran kali ini, TKR dan rakyat tidak kalah, tetapi memang pertempuran dan serangan dihentikan. Jangan terkecoh dengan laporan Divisi 23 militer Inggris ke pemerintah Inggris Raya bahwa mereka kembali menang perang. Justru yang terjadi adalah Brigade 49 dari Divisi 23 kalah di medan pertempuran Kota Surabaya.

Sumber data dan informasi :
- Dr. A.H. Nasution, ”Diplomasi atau Bertempur oleh Dr. A.H. Nasution”
- Sutomo, ”Pertempuran 10 November 1945 Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor” Sejarah”
- Perpustakaan DHD 45 Propinsi Jatim, ” 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar