Sabtu, 31 Agustus 2019

Peranan Palang Merah Indonesia pada Masa Perjuangan Kemerdekaan RI

PMI masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Untuk segera mengulangi aspek-aspek kemanusiaan dalam perjuangan membela kemerdekaan,khususnya para korban pertempuran,dibentuklah palang merah Indonesia (PMI).

PMI tidak berpihak pada pihak mana pun, baik ras, agama, suku, negara tetapi berupaya untuk pertolongan dan perlindungan jiwa korban musibah bencana alam atau musibah bencana sosial, dan juga korban konflik.

Sejarah berdirinya dimulai sejak usaha-usaha untuk membentuk PMI jauh sebelum 1945, tetapi secara resmi pada tanggal 3 September 1945 sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.  Perhimpunan bermisi kemanusiaan ini secara resmi berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No 25 tahun 1950 dan ditetapkan sebagai salah satu dari organisasi perhimpunan nasional yang menjalankan tugas misi kemanusiaan sesuai Keputusan Presiden No 246 tahun 1963.

Secara global organisasi ini dibawah International Red Cross and Red Crescent Movement yang bergerak secara internasional untuk seluruh negara. Misi organisasi ini adalah bagain dari kesepakatan dalam Konvensi Genewa (Jenewa)  1863,  Konvensi Den Haag 1907,  Konvensi Jenewa tahun 1906, Konvensi Jenewa 1929 dan yang terakhir Konvensi Jenewa tahun 1949. Sampai tahun 2016 sudah 163 negara melakukan ratifikasi Konvensi Jenewa dan Protokol Jenewa tahun 1949. Protokol Jenewa adalah tiga kesepakatan tambahan dari hasil Konvensi Jenewa tahun 1949.

Konvensi  Jenewa  pada  tahun  1949  yang  secara khusus memberikan perlindungan bagi  para korban perang demikina juga hakhak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer, perlindungan bagi korban luka, dan menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan perang.

PMI kemudian menjadi bagian juga dari Komite Palang Merah Internasional (ICRC) pada tanggal 15 Juni 1950.  Pada tahap berikutnya PMI diakui sebagai anggota tetap Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) pada bulan  Oktober 1950.

Markas PMI di Jakarta, 1945.
Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) merupakan organisasi  yang mendukung aksi-aksi kemanusiaan yang pelaksanaannya dilakukan oleh perhimpunan nasional dinegara masing-masing atas nama IFRC mereka juga bertindak sebagai juru bicara dan sebagai wakil Internasional mereka.

IFRC ikut membantu mengembangkan sumber daya manusia dan penyebaran pengetahuan tentang HPI dan mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan untuk Perhimpunan Nasional dan ICRC diberbagai  negara anggota.

PMI pada masa perjuangan kemerdekaan RI
Sejarah PMI sering dikacaukan dengan sejarah Het Nederland-Indiche Rode Kruis yang berdiri sejak tanggal 21 Oktober 1873, yang kemudian menjadi  Nederland Rode Kruis Afdeling Indische (NERKAI) milik pemerintah Belanda. PMI tidak sama dengan NERKAI.

Pada masa penjajahan adanya NERKAI  di Indonesia ini justru merusak dan mengganggu aksi-aksi kemanusiaan PMI. Sebagai contoh pada terjadinya pertempuran hebat di Surabaya 1945 sehingga banyak berjatuhan korban sipil dan juga tentara. Banyak simpati mengalir dari dunia internasional terhadap rakyat Indonesia dan  perjuangan TKR sehingga dikirimlah bantuan dana dan obat-obat melalui organisasi internasional seperti International Committee of the Red Cross (ICRC),  tetapi sayangnya ternyata bantuan tersebut justru jatuh ke NERKAI yang digunakan untuk kepentingan penjajahan Blanda. Alih-alih untuk membantu bangsa terjajah tetapi justru adanya Nerkai malah memperkuat penjajahan itu. Untung saja hal itu segera disadari oleh ICRC sehingga pihak ICRC mengontak pihak PMI di Jakarta untuk meminta alamat PMI agar tidak salah kirim lagi.

Perihal aset NERKAI yang kemudian dikendalikan oleh PMI adalah bagian dari de facto kemerdekaan Indonesia yang tidak dapat diingkari lagi oleh Belanda. Walaupun secara resmi ada peralihan aset NERKAI yang dilakukan tanggal 16 Januari 1950 hanyalah seremonial belaka, karena semua aset Belanda di Indonesia sudah menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia. 

Pada era setelah Proklamasi Kemerdekaan Presiden Soekarno memerintahkan Mentri Kesehatan Dr.Boentaran Martoadmodjo untuk menindaklanjuti pembentukan PMI. Langkah ini diawali dengan  menunjuk lima orang dibawah pimpinan Prof.Dr.R.Mochtar untuk mulai mempersiapkan berbagai hal terkait pembentukan PMI itu.

Para tokoh dari lima orang tersebut yaitu Dr. R. Mochtar sebagai Ketua, Dr. Bahder Djohan sebagai Penulis dan tiga anggota panitia yaitu Dr. R. M. Djoehana Wiradikarta, Dr. Marzuki, Dr. Sitanala, Dr Boentaran mempersiapkan terbentuknya Palang Merah Indonesia.

Pada tanggal 17 september 1945 terbentuk Pengrus Besar Pleno PMI yang diketuai oleh Drs.Moh Hatta dan sebagai ketua pengrus besar harian ditunjuk Dr.Boentaran Martoadmodjo.

Tidak terkira besarnya jasa Palang Merah Indonesia didalam masa perjuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan.Pertempuran-pertempuran melawan musuh yang bersenjatakan jauh lebih kuat dan modern telah mengakibatkan banyaknya korban yang jatuh.

Berkat peranan Palang Merah Indonesia banyak korban yang dapat diselamatkan dan sebagian dari mereka dapat kembali dimedan pertempuran.dan serangan-serangan membabi buta dari tentara  Jepang, Inggris,dan Belanda telah sedikit dikurangi penderitaanya berkat pertolongan dari Palang Merah Indonesia.

Didalam usahanya untuk memperoleh obat-obatan dan peralatan kesehatan lainya, serta untuk memperoleh simpati dunia pada umumnya, Palang Merah Indonesia telah mengadakan hubungan dengan maksud memperoleh bantuan secara internasional dan juga relasi kemanusiaan yang ada diberbagai negara.

Sejarah perjuangan nasional untuk  meraih kemerdekaan selalu paralel dengan perjuangan PMI dari dulu sampai kini. Pada masa pertempuran bulan November 1945 di Surabaya contohnya. Peran dari para pejuang kemanusiaan di PMI sudah jelas nyata di Surabaya.

Ketika itu PMI di Surabaya disebut sebagai Palang Merah 45 yang di pimpin oleh Dokter Sidakjuar. Pos-pos yang dibangun untuk aktifitas PMI juga sangat darurat dengan segala keterbatasan. Contohnya pos yang dibangun di Gunungsari.

Penderitaan para pejung yang terluka dan terkena peluru sangat banyak, sehingga aksi-aksi Palang Merah 45 benar-benar heroik juga. Para pejuang PMI melakukan operasi dadakan ditempah, atau mengirim mereka kerumah sakit terdekat di Balongbendo dan Sidoarjo, tetapi yang sudah parah dikirim ke Rumah Sakit Budi Puji, Mojokerto. Saat operasi penyelamatan korban ini pesawat-pesawat sekutu berputar-putar diatas udara Surabaya menembaki para pejuang.

Pada masa perang kemerdekaan di Bali tahun 1945-1946 peran dari para sukarelawan PMI demikian penting, apalagi korban bayak berjatuhan di pihak RI. Palang Merah di Pulau Bali  berada di bawah kepemimpinan dr. Subadi, sayangnya pada masa itu beliau di tawan Jepang, kemudian mengalami penyiksaan oleh tentara Jepang.

Tokoh lain relawan PMI yang berjasa dalam perjuangan pergerakan kemerdekeaan Indonesia juga adalah pendiri dari  UGM, Prof. Dr.. Sardjito yang pada masa pertempuran hebat Bandung Lautan Api berperan penting mendirikan PMI pertama di Bandung. Dr. Sarjito juga ikut terlibat dalam perebutan Pusat Penelitian Medis Institut Pasteur yang menjadi tempat instalasi penting Belanda yang kemudian menjadi tempat markas PMI pertama di Bandung. Di lokasi pada masa perjuangan digunakan untuk melakukan pertolongan untuk pejuang-pejuang yang terluka.

Pada masa selanjutnya Institut Pasteur berubah menjadi Fakultas Kedokteran UGM setelah dipindah ke Klaten. Pemindahan perangkat penelitian medis yang penting itu akibat adanya serangan agresi Belanda I. Salah satu perangkat penting adalah perangkat penghasil vaksin serta obat-obatan utama. Pemindahan menggunakan kereta api yang dikuasai oleh Republik Indonesia. 

Demikian panjang perjalanan peran dan manfaat PMI bagi berdirinya Indonesia. Saat ini peran dari PMI dan juga organisasi sejenis Bulan Sabit Merah (Mer-C) yang organisasi internasionalnya berada dalam satu rumah IFRC semakin meluas sesuai dengan prinsip nilai kemanusiaan, penanggulangan bencana, kesiapsiagaan penanggulangan bencana, kesehatan dan perawatan di masyarakat.

Deklarasi kesepakatan itu tertuang dalam Deklarasi Hanoi (United for Action) yang berisi program penanggulangan bencana, penanggulangan wabah penyakit, remaja dan manula, kemitraan dengan pemerintah, organisasi dan manajemen kapasitas sumber daya serta humas dan promosi, maupun Plan of Action merupakan keputusan dari Konferensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-27 di Jenewa Swiss tahun 1999.

Sumber dan referensi :
- http://www.pmi.or.id
- Dr. A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia", 1994.
- http://www.ifrc.org/en/who-we-are/governance/the-governing-board
- Kementerian Penerangan Indonesia, "Lukisan Revolusi Indonesia",  1949.
- http://www.balairungpress.com/2018/07/ugm-luncurkan-film-perjuangan-sardjito-pada-masa-revolusi/
- https://www.icrc.org
Read more ...

Jumat, 14 Oktober 2011

Penderitaan Budak Afrika yang Tragis


Sejarah kelam kemanusiaan yang sangat menyayat hati dan sulit terlupakan dalam sejarah kemanusiaan adalah perbudakan. Penistaan derajat manusia ini terjadi pada abad pertengahan dan bahkan sampai pada akhir abad 21.

Setelah banyak bangsa-bangsa di Afrika dan Asia merdeka maka perbudakan lambat laun semakin dikikis. Peran Konferensi Asia Afrika di Bandung yang di prakarsai oleh Presiden Sukarno menjadi salah satu pencetus munculnya kemerdekaan-kemerdekaan tersebut, juga ikut mendorong penghapusan budak ini.

Untuk mendapat buruh murah, negara-negara Barat melakukan perbudakan. Di antara sebagian contoh yang paling buruk dan mengerikan dari pelanggaran kemanusian negara Kapitalis adalah perdagangan budak Afrika.

Antara tahun 1562 dan 1807 penguasa-penguasa Eropa memaksa pindah lebih kurang 11 juta orang Afrika kulit hitam dari Pantai Barat Afrika; mereka dibawa ke Amerika. Mereka dimasukkan ke dalam kapal-kapal kolonialis Eropa, dengan kondisi yang menyedihkan, kekurangan makanan, berhimpitan untuk membangun mimpi baru negara kolonial, yakni membangun dunia baru Amerika.

Banyak di antara mereka yang ditimpa penyakit sampai kematian. Budak kulit hitam dianggap bagaikan binatang ternak yang tidak ada nilainya sama sekali. Mereka dipaksa bekerja pada perkebunan, tambang, dan proyek lain yang membutuhkan banyak tenaga manusia.

Pulau Goree yang berada di Sinegal, masyarakat Senegal menyebutnya Ber, tetapi Portugis menamainya Ila de Palma. Penjajah Belanda menyebutnya Good Reed dan diubah Perancis menjadi Goree, yang berarti ”pelabuhan baik” dan ada yang mengartikan sebagai ”pulau yang memberi hasil” (hasil dari perdagangan budak).

Pulau tersebut menjadi saksi bisu sepanjang empat abad pada masa lalu tentang kesedihan, tangisan, dan penderitaan 15 juta-20 juta warga Afrika yang ditampung sebelum dikirim ke Eropa dan Amerika, tanpa pernah mengenal jalan pulang.

Berbagai negara eropa barat seperti Portugis, Perancis, Belanda dan Amerika pulang pergi dengan menangkapi penduduk sipil baik laki-laki, perempuan, dewasa bahkan pun anak-anak di pulau tersebut.

Penangkapan dilakukan bahkan seperti binatang buruan, dijerat atau diambil paksa dari anggota keluarganya. Penangkapan besar-besaran yang dilakukan di Pulau Goreee ini dilakukan oleh tentara orang-orang eropa atau para pemimpin lokal uang telah dibayar.

Pulau yang berukuran 900 meter kali 350 meter itu telah membawa jauh ingatan ke masa silam, ke abad ke-15 sampai ke-19 ketika jutaan manusia Afrika Barat dirampas haknya dan dijadikan budak untuk dijadikan komoditas perdagangan. Peradapan kapitalisme paling bertanggungjawab atas perendahan martabat manusia ini.

Selain itu kawasan lain di Afrika Timur, Zanzibar, menjadi pusat perdagangan budak. Penangkapan penduduk kulit hitam miskin di Afrika Barat oleh para pemimpin Afrika sendiri dilakukan untuk dijual sebagai budak kepada bangsa Eropa.

Perdagangan budak Afrika pernah menjadi ladang bisnis yang paling menggiurkan, yang digerakkan oleh sindikat perdagangan segitiga antara Afrika, Eropa, dan Amerika. Pedagang Eropa membawa komoditas murah ke Afrika Barat, khususnya ke Senegal, Gambia, dan Guinea berupa kapas, alkohol, alat-alat tembaga, dan lain-lain untuk ditukar dengan budak Afrika dari para pedagang besar Afrika.

Budak-budak itu kemudian dibawa ke Eropa dan sebagian lagi ke Amerika. Sesampai di pelabuhan Amerika, para budak itu dijual kepada para pemilik perkebunan dan pabrik-pabrik dengan barteran tembakau, gula, dan barang-barang lain.

Para budak yang terdiri dari pria dan perempuan, dewasa atau bahkan anak-anak, diangkut dengan kapal kayu dengan kondisi kaki atau leher terikat dengan lima kilogram bola besi agar tidak gampang melarikan diri, seperti terjun ke laut. Ketika ditangkap, pria dan perempuan yang dijadikan budak umumnya dalam kondisi sehat-sehat. Namun, sekitar enam juta orang meninggal karena sakit, kekurangan makanan, dan tidak tahan siksaan selama di penampungan ataupun dalam perjalanan menyeberang Samudra Atlantik menuju Amerika.

Penderitaan manusia yang dijadikan budak ini terus berlanjut. Sebelum berlayar dalam keadaan dipasung selama 3-4 bulan ke Amerika, para budak umumnya tiga bulan berada di penampungan Pulau Goree. Kapal pertama menuju Amerika tahun 1518.

Budak AfrikaSebenarnya perjuangan rakyat dan pemimpin Afrika muncul dan tenggelam, seiring dan selama berlalunya masa perbudakan Afrika yang hampir empat abad. Salah satu perjuangan itu adalah datang dari Raja Kongo Zanga Bamba yang mengirim surat protes kepada Raja Portugal tahun 1526. Dalam surat itu dijelaskan, pedagang Portugal bekerja sama dengan sindikat Afrika terlibat aksi penangkapan terhadap penduduk Afrika miskin untuk dijadikan budak di negara-negara Barat. Sejumlah pemimpin Afrika Barat juga melarang pengangkutan budak melewati wilayah kekuasaannya.

Namun upaya pemimpin dan bangsa Afrika melarang perdagangan budak selalu gagal lantaran perjuangan yang hanya bersifat lokal dan tidak memiliki kekuatan senjata yang memadai. Sementara para pemburu budak dari Eropa rata-rata memiliki tentara dan bersenjata api yang sangat ditakuti pada waktu itu. Sindikat dan mafia perdagangan budak juga sudah terlalu kuat. Sekitar 11 juta warga Afrika pun menjadi korban kekejaman dalam bisnis perbudakan selama empat abad di masa lalu.

Sejarah Kapitalisme adalah paralel dengan sejarah perbudakan dan penjajahan yang menuhankan kebebasan manusia dan materi sebagai sesuatu yang sangat penting mendorong mereka untuk menghalalkan berbagai cara demi meraih kepentingan itu. Untuk meraih keuntungan material yang besar, Barat membutuhkan modal yang besar, pasar yang luas, sumber bahan mentah dan energi murah serta buruh yang murah. Untuk itulah mereka melakukan kolonialisasi.

Kapitalisme juga yang melahirkan kolonialisme barat terhadap negara-negara di Asia dan Afrika. Penjajahan barat di berbagai belahan dunia lain dengan membawa misi glory (kejayaan) , gold (emas), dan gospel (kristenisasi). Negara-negara ini kemudian menimbulkan penderitaan yang luar biasa terhadap kawasan yang mereka jajah. Terjadilah kerja paksa, perampokan kekayaan alam sampai pembunuhan massal.

Sumber Gambar Budak di Kapal : Perpustakaan Kongres (cph 3a42003) juga Harper's Weekly, 2 Juni 1860
Sumber Gambar Budak dipermainkan dikapal : "La France Maritim" oleh Amédée Gréhan (ed.), Paris 1837
Sumber Gambar Budak Dijual : Perpustakaan Kongres (cph 3a42003) juga Harper's Weekly, 2 Juni 1860
Sumber Data : http://africanhistory.about.com
Read more ...