Sabtu, 31 Agustus 2019

Peranan Palang Merah Indonesia pada Masa Perjuangan Kemerdekaan RI

PMI masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Untuk segera mengulangi aspek-aspek kemanusiaan dalam perjuangan membela kemerdekaan,khususnya para korban pertempuran,dibentuklah palang merah Indonesia (PMI).

PMI tidak berpihak pada pihak mana pun, baik ras, agama, suku, negara tetapi berupaya untuk pertolongan dan perlindungan jiwa korban musibah bencana alam atau musibah bencana sosial, dan juga korban konflik.

Sejarah berdirinya dimulai sejak usaha-usaha untuk membentuk PMI jauh sebelum 1945, tetapi secara resmi pada tanggal 3 September 1945 sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.  Perhimpunan bermisi kemanusiaan ini secara resmi berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No 25 tahun 1950 dan ditetapkan sebagai salah satu dari organisasi perhimpunan nasional yang menjalankan tugas misi kemanusiaan sesuai Keputusan Presiden No 246 tahun 1963.

Secara global organisasi ini dibawah International Red Cross and Red Crescent Movement yang bergerak secara internasional untuk seluruh negara. Misi organisasi ini adalah bagain dari kesepakatan dalam Konvensi Genewa (Jenewa)  1863,  Konvensi Den Haag 1907,  Konvensi Jenewa tahun 1906, Konvensi Jenewa 1929 dan yang terakhir Konvensi Jenewa tahun 1949. Sampai tahun 2016 sudah 163 negara melakukan ratifikasi Konvensi Jenewa dan Protokol Jenewa tahun 1949. Protokol Jenewa adalah tiga kesepakatan tambahan dari hasil Konvensi Jenewa tahun 1949.

Konvensi  Jenewa  pada  tahun  1949  yang  secara khusus memberikan perlindungan bagi  para korban perang demikina juga hakhak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer, perlindungan bagi korban luka, dan menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan perang.

PMI kemudian menjadi bagian juga dari Komite Palang Merah Internasional (ICRC) pada tanggal 15 Juni 1950.  Pada tahap berikutnya PMI diakui sebagai anggota tetap Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) pada bulan  Oktober 1950.

Markas PMI di Jakarta, 1945.
Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) merupakan organisasi  yang mendukung aksi-aksi kemanusiaan yang pelaksanaannya dilakukan oleh perhimpunan nasional dinegara masing-masing atas nama IFRC mereka juga bertindak sebagai juru bicara dan sebagai wakil Internasional mereka.

IFRC ikut membantu mengembangkan sumber daya manusia dan penyebaran pengetahuan tentang HPI dan mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan untuk Perhimpunan Nasional dan ICRC diberbagai  negara anggota.

PMI pada masa perjuangan kemerdekaan RI
Sejarah PMI sering dikacaukan dengan sejarah Het Nederland-Indiche Rode Kruis yang berdiri sejak tanggal 21 Oktober 1873, yang kemudian menjadi  Nederland Rode Kruis Afdeling Indische (NERKAI) milik pemerintah Belanda. PMI tidak sama dengan NERKAI.

Pada masa penjajahan adanya NERKAI  di Indonesia ini justru merusak dan mengganggu aksi-aksi kemanusiaan PMI. Sebagai contoh pada terjadinya pertempuran hebat di Surabaya 1945 sehingga banyak berjatuhan korban sipil dan juga tentara. Banyak simpati mengalir dari dunia internasional terhadap rakyat Indonesia dan  perjuangan TKR sehingga dikirimlah bantuan dana dan obat-obat melalui organisasi internasional seperti International Committee of the Red Cross (ICRC),  tetapi sayangnya ternyata bantuan tersebut justru jatuh ke NERKAI yang digunakan untuk kepentingan penjajahan Blanda. Alih-alih untuk membantu bangsa terjajah tetapi justru adanya Nerkai malah memperkuat penjajahan itu. Untung saja hal itu segera disadari oleh ICRC sehingga pihak ICRC mengontak pihak PMI di Jakarta untuk meminta alamat PMI agar tidak salah kirim lagi.

Perihal aset NERKAI yang kemudian dikendalikan oleh PMI adalah bagian dari de facto kemerdekaan Indonesia yang tidak dapat diingkari lagi oleh Belanda. Walaupun secara resmi ada peralihan aset NERKAI yang dilakukan tanggal 16 Januari 1950 hanyalah seremonial belaka, karena semua aset Belanda di Indonesia sudah menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia. 

Pada era setelah Proklamasi Kemerdekaan Presiden Soekarno memerintahkan Mentri Kesehatan Dr.Boentaran Martoadmodjo untuk menindaklanjuti pembentukan PMI. Langkah ini diawali dengan  menunjuk lima orang dibawah pimpinan Prof.Dr.R.Mochtar untuk mulai mempersiapkan berbagai hal terkait pembentukan PMI itu.

Para tokoh dari lima orang tersebut yaitu Dr. R. Mochtar sebagai Ketua, Dr. Bahder Djohan sebagai Penulis dan tiga anggota panitia yaitu Dr. R. M. Djoehana Wiradikarta, Dr. Marzuki, Dr. Sitanala, Dr Boentaran mempersiapkan terbentuknya Palang Merah Indonesia.

Pada tanggal 17 september 1945 terbentuk Pengrus Besar Pleno PMI yang diketuai oleh Drs.Moh Hatta dan sebagai ketua pengrus besar harian ditunjuk Dr.Boentaran Martoadmodjo.

Tidak terkira besarnya jasa Palang Merah Indonesia didalam masa perjuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan.Pertempuran-pertempuran melawan musuh yang bersenjatakan jauh lebih kuat dan modern telah mengakibatkan banyaknya korban yang jatuh.

Berkat peranan Palang Merah Indonesia banyak korban yang dapat diselamatkan dan sebagian dari mereka dapat kembali dimedan pertempuran.dan serangan-serangan membabi buta dari tentara  Jepang, Inggris,dan Belanda telah sedikit dikurangi penderitaanya berkat pertolongan dari Palang Merah Indonesia.

Didalam usahanya untuk memperoleh obat-obatan dan peralatan kesehatan lainya, serta untuk memperoleh simpati dunia pada umumnya, Palang Merah Indonesia telah mengadakan hubungan dengan maksud memperoleh bantuan secara internasional dan juga relasi kemanusiaan yang ada diberbagai negara.

Sejarah perjuangan nasional untuk  meraih kemerdekaan selalu paralel dengan perjuangan PMI dari dulu sampai kini. Pada masa pertempuran bulan November 1945 di Surabaya contohnya. Peran dari para pejuang kemanusiaan di PMI sudah jelas nyata di Surabaya.

Ketika itu PMI di Surabaya disebut sebagai Palang Merah 45 yang di pimpin oleh Dokter Sidakjuar. Pos-pos yang dibangun untuk aktifitas PMI juga sangat darurat dengan segala keterbatasan. Contohnya pos yang dibangun di Gunungsari.

Penderitaan para pejung yang terluka dan terkena peluru sangat banyak, sehingga aksi-aksi Palang Merah 45 benar-benar heroik juga. Para pejuang PMI melakukan operasi dadakan ditempah, atau mengirim mereka kerumah sakit terdekat di Balongbendo dan Sidoarjo, tetapi yang sudah parah dikirim ke Rumah Sakit Budi Puji, Mojokerto. Saat operasi penyelamatan korban ini pesawat-pesawat sekutu berputar-putar diatas udara Surabaya menembaki para pejuang.

Pada masa perang kemerdekaan di Bali tahun 1945-1946 peran dari para sukarelawan PMI demikian penting, apalagi korban bayak berjatuhan di pihak RI. Palang Merah di Pulau Bali  berada di bawah kepemimpinan dr. Subadi, sayangnya pada masa itu beliau di tawan Jepang, kemudian mengalami penyiksaan oleh tentara Jepang.

Tokoh lain relawan PMI yang berjasa dalam perjuangan pergerakan kemerdekeaan Indonesia juga adalah pendiri dari  UGM, Prof. Dr.. Sardjito yang pada masa pertempuran hebat Bandung Lautan Api berperan penting mendirikan PMI pertama di Bandung. Dr. Sarjito juga ikut terlibat dalam perebutan Pusat Penelitian Medis Institut Pasteur yang menjadi tempat instalasi penting Belanda yang kemudian menjadi tempat markas PMI pertama di Bandung. Di lokasi pada masa perjuangan digunakan untuk melakukan pertolongan untuk pejuang-pejuang yang terluka.

Pada masa selanjutnya Institut Pasteur berubah menjadi Fakultas Kedokteran UGM setelah dipindah ke Klaten. Pemindahan perangkat penelitian medis yang penting itu akibat adanya serangan agresi Belanda I. Salah satu perangkat penting adalah perangkat penghasil vaksin serta obat-obatan utama. Pemindahan menggunakan kereta api yang dikuasai oleh Republik Indonesia. 

Demikian panjang perjalanan peran dan manfaat PMI bagi berdirinya Indonesia. Saat ini peran dari PMI dan juga organisasi sejenis Bulan Sabit Merah (Mer-C) yang organisasi internasionalnya berada dalam satu rumah IFRC semakin meluas sesuai dengan prinsip nilai kemanusiaan, penanggulangan bencana, kesiapsiagaan penanggulangan bencana, kesehatan dan perawatan di masyarakat.

Deklarasi kesepakatan itu tertuang dalam Deklarasi Hanoi (United for Action) yang berisi program penanggulangan bencana, penanggulangan wabah penyakit, remaja dan manula, kemitraan dengan pemerintah, organisasi dan manajemen kapasitas sumber daya serta humas dan promosi, maupun Plan of Action merupakan keputusan dari Konferensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-27 di Jenewa Swiss tahun 1999.

Sumber dan referensi :
- http://www.pmi.or.id
- Dr. A.H. Nasution, "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia", 1994.
- http://www.ifrc.org/en/who-we-are/governance/the-governing-board
- Kementerian Penerangan Indonesia, "Lukisan Revolusi Indonesia",  1949.
- http://www.balairungpress.com/2018/07/ugm-luncurkan-film-perjuangan-sardjito-pada-masa-revolusi/
- https://www.icrc.org
Read more ...

Sabtu, 10 September 2011

Rapat Raksasa Di Lapangan Ikada, 19 September 1945


Para Pemuda dan Mahasiswa yang memiliki rencana tersebut, dengan semangat juang tinggi yang menggunakan nama panitia “Komite aksi”, menganggap Pemerintah harus didesak dan dimotivasi terus agar sadar bahwa Rapat Raksasa ini penting untuk diselenggarakan guna menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Inilah perwujudan nyata dari proses demokrasi dan harus dikampanyekan kepada dunia. Bukankah Republik Indonesia secara defacto sudah ada melalui fakta adanya Rakyat, Wilayah dan Pemerintah. Dalam Rapat Ikada inilah khsusnya penduduk Jakarta dan sekitarnya akan membuktikan suatu legitimasi politik bahwa “Indonesia sekarang telah Merdeka” yang didukung rakyat.

Sebelum rapat ini dilaksakan sebetulnya banyak timbul polemik antara para tokoh dalam menyikapi rencana rapat raksasa tersebut. Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 September 1945 di gedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) membahas rencana rapat ini. Kurang disetujuinya rencana rapat tersebut oleh Pemerintah, antara lain atas pertimbangan rakyat yang berkumpul cukup banyak , yang akan memancing kemarahan militer Jepang dan mungkin mengakibatkan bentrokan fisik dimana dikhawatirkan akan jatuhnya banyak korban sia-sia.

Memang fihak militer Jepang jauh hari telah mengeluarkan larangan berkumpulnya massa lebih dari lima orang. Dan bukan hal yang tidak mungkin Pihak Jepang yang sekarang telah menjadi alat sekutu, sudah menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh SEAC (South East Asia Command) yaitu untuk mempertahankan keadaan Status Quo.

Pada tanggal 18 September 1945 jam 11.00 pagi, tiba-tiba Mr Achmad Subardjo selaku menteri Luar Negeri RI mengadakan konferensi Pers untuk menyampaikan keputusan Pemerintah yang isinya sepertinya menghilangkan harapan rakyat dengan menolak rencana Rapat Raksasa Ikada. Beliau juga memerintahkan agar rencana pembatalannya diberitakan dalam Berita Indonesia (sebuah surat kabar pada saat itu). Reaksi para pemuda dan mahasiswa yang hadir dalam konferensi tersebut sudah bisa diperkirakan sejak semula. Mereka menyatakan sikap bahwa “Apapun yang akan terjadi Rapat Raksasa Ikada akan tetap diadakan pada esok pagi yaitu tgl 19 September 1945”.

Pemuda-mahasiswa protes kepada Pemerintah dan berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada Pemerintah dan meminta keputusan ditinjau kembali. Desakan para hadirin agar Pemerintah sekali lagi bersidang, ahirnya ditanggapai oleh Men.Lu Achmad Subardjo dan berjanji untuk menyampaikannya kepada Presiden Sukarno.

Setelah bubaran, para pemuda-mahasiswa tidak langsung pulang kerumah tapi berkumpul ditempat kelompoknya masing-masing, untuk membicarakan tindakan selanjutnya. Sedikit gambaran Pasca Proklamasi, setidaknya ada 3 kelompok besar pemuda-mahasiwa yang berbeda dalam latar belakang politiknya. Yang pertama kelompok Prapatan 10 (asrama mahasiswa kedokteran Ikadaigakho) yang 100 % terdiri dari mahasiswa, kelompok Menteng 31 yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan kelompok BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar Indonesia) jl Cikini no.71. Terdiri dari campuran Mahasiswa dan Pelajar. Diluar itu ada juga kelompok yang tidak kalah partisipasinya dalam persiapan ini yaitu kelompok pelajar SMT (Sekolah menengah Tinggi) Jakarta. Dan dalam jumlah kecil ada juga para pemuda yang tergabung dalam asrama Indonesia merdeka dijalan Kebon Sirih no.80 Jakarta, dan pemuda dari Barisan Pelopor Jakarta. Mereka semua merupakan motor-motor persiapan Rapat Raksasa Ikada pada saat itu.

Jangan dilupakan juga pada saat itu terdapat banyak para pemuda ex tentara PETA dan HEIHO yang sudah menceburkan dirinya dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Organisasi mereka juga punya peranan yang menentukan dalam persiapan pengamanan Rapat Raksasa Ikada. Komandan BKR Jakarta pada saat itu adalah mantan Shodanco Mufraini Mukmin yang belakangan akan menjadi Komandan Resimen Jakarta. Yang tidak kalah pentingnya Polisi ex Jepang (Polisi macan) yang sudah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Merekalah satu-satunya kekuatan bersenjata yang ada dipihak RI pada saat itu , termasuk untuk pengamanan keselamatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet.

Setelah menunggu beberapa saat rupanya Pemerintah menepati janjinya untuk mengadakan rapat kabinet kembali. Pada tgl 18 September 1945, jam 20.00 bertempat dikediaman Presiden Sukarno, jl Pegangsaan Timur 56, Men.Lu Achmad Subardjo melaporkan kepada Presiden tentang pertemuannya dengan pemuda-mahasiswa pada pagi hari dimana mereka pada dasarnya tetap bertekad untuk melaksanakan Rapat Raksasa Ikada. Meskipun Rapat sebagian anggota kabinet ini berlangsung sampai jam 4.00 pagi, tapi tidak menghasilkan apa-apa dan diputuskan akan dilanjutkan di kantor KNIP di Lapangan Banteng besok paginya tgl 19 September 1945 dalam rapat pleno dimana anggota kabinet lengkap. Kembali kepada penuturan awal diatas dimana sedang berlangsungnya Rapat Kabinet tgl 19 September 1945, nampaknya semua unsur mengalami kegelisahan yang cukup mencekam.. Disatu fihak pemuda-mahasiswa panitia penyelenggara dari Komite Aksi yang sejak pagi hari sudah menghadapi masa yang terus berbondong-bondong menuju Ikada yang diperkirakan telah mencapai lebih dari 100.000 orang.

Kepada panitia ini massa rakyat menuntut untuk menghadirkan segera para pemimpin bangsa, khususnya Presiden Sukarno. Difihak yang lain Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta dan seluruh anggota Kabinet bersama anggota KNIP masih mengulur-ngulur waktu tampa tau harus berbuat apa. Nampaknya disini dibutuhkan seseorang tokoh sentral yang berani dan tegas untuk berkata ya atau tidak sama sekali. Sementara sekitar jam 12.00, kabinet sudah mengutus Mohammad Roem (Ketua KNIP Jakarta) dan Soewirjo (Walikota Jakarta) untuk menemui fihak militer Jepang untuk membicarakan hal-hal mengenai rapat raksasa tersebut. Dalam pembicaraan ini ada kesan bahwa fihak Jepang mulai kewalahan melihat pengumpulan masa yang makin lama makin besar tampa bisa berbuat sesuatu.

Mereka meminta Roem dan Suwirjo, membubarkan kumpulan massa rakyat tersebut. Hal ini dijawab Roem dan Soewirjo bahwa yang bisa membubarkan kumpulan massa itu hanya satu orang yaitu Presiden Sukarno. Kedua utusan Kabinet ini juga sempat menyaksikan keadaan dilapangan Ikada secara langsung, termasuk persiapan pasukan Tentara Jepang yang sudah sempat memobilisir sejumlah besar pasukan infantri bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus yang didukung pasukan tank dan panser. Semua hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Sukarno.

Ahirnya menjelang pukul 16.00 Presiden Sukarno tidak mungkin berpangku tangan lagi dan dengan tegas menyatakan “ Saudara-saudara menteri dengarkan keputusan saya. Saya akan pergi kelapangan Ikada untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya. Siapa yang mau tinggal dirumah boleh, terserah kepada saudara masing-masing”.

Dengan adanya keputusan tersebut maka berahirlah sidang kabinet, dan secara resmi Pemerintah menyetujui Rapat Raksasa Ikada dilangsungkan. Dan hampir semua hadirin dalam sidang digedung KNIP ini ternyata ikut menuju Lapangan Ikada mengikuti Presiden, menurut caranya masing-masing. Presiden Sukarno sendiri telah dijemput pemuda-mahasiswa dari panitia penyelenggara Komite Aksi.

Mobil yang dipergunakan mahasiswa tidak tanggung-tanggung sebuah mobil berwarna hijau militer Jepang (kuning hijau) bekas milik salah seorang pimpinan Kempetai. Kendaraan ini dikendarai oleh mahasiswa Sujono Joedodibroto (sekarang profesor ahli mata) dan dimuka dikawal dua buah motor indian yang dikendarai Subianto Djojohadikusumo (gugur sebagai letnan satu Polsi Tentara dalam peristiwa lengkong Tanggerang awal tahun 1946) dan Daan Yahya (mantan Panglima Divisi Siliwangi tahun 1948 dan gubernur militer Jakarta Raja tahun 1950).

Rupanya rombongan tidak langsung kelapangan Ikada tapi mampir di Asrama mahasiswa kedokteran jalan Prapatan no.10 Jakarta, karena Presiden Sukarno mau mengganti pakaian dahulu yang berwarna putih yang diambil dari rumah. Sekitar jam 16.00 tepat barulah rombongan Presiden yang dikawal mahasiswa ini yang kini sudah bertambah, termasuk mahasiswa Eri Sudewo, Sujono markas, Patiasina, Kamal dan sebagainya. Sebelum masuk kelapangan Ikada (kira-kira dimuka PLN sekarang), rombongan Presiden turun dari mobil yang langsung disambut rakyat.

Bersama rombongan besar rakyat inilah Presiden dan anggota kabinet berjalan bersama menuju tempat yang sudah disediakan. Nampak beberapa tokoh mendekati Presiden, antara lain Hatta, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Mufraini Mukmin dan sebagainya. Tapi baru beberapa meter mereka berjalan tiba-tiba sudah dihadang beberapa perwira Jepang yang meminta agar Rapat dibubarkan. Salah seorang perwira Jepang ini adalah Let.Kol Myamoto yang ditugaskan pimpinan militernya untuk berunding.

Melalui penterjemah yang juga seorang mahasiswa, Presiden Sukarno kemudian menjelaskan bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya. Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah kami satoe”.

Menunggu kesempatan baik, rombongan lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno keatas podium kayu setinggi kurang lebih 3 meter dikawal ajidan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan Merdeka…Merdeka…Merdeka, yang sambung menyambung. Maka Presidenpun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tampa bersuara antara lain beliau berkata :

“Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara? “

Kerumunan rakyat menjawab serentak, “Sanguuup”.

Lalu Presiden melanjutkan, “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam nasional….. Merdeka!….” .

"Merdekaaaaa....", sahut rakyat secara lebih gemuruh lagi.

Bukan jumlah waktunya Presiden berbicara, tetapi makna dari periwtiwa ini adalah sebuah, kedaulatan rakyat Indonesia yang diserahkan kepada Dwi Tunggal dan pemerintahan RI yang masih mudah. Bahkan sangat muda karena umumnya hanya baru 1 bulan saja.

Bukti kedaulatan itupun langsung di perlihatkan rakyat Indonesia kepada Penjajah Jepang. Rakyat pulang dengan tertib dan terkendali. Kumpulan massa yang dianggap pihak Jepang akan berbuat barbar, ternyata menunjukkan sebuah budaya dari negeri yang merdeka, dengan presiden yang memiliki kewibawaan atas rakyat, dan rakyatpun secara sukarela mendukungnya.

Peristiwa Rapat Raksasa Ikada ini telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung pemerintahan yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta dan siap sedia kapan saja untuk mempertahankan kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dari peristiwa ini juga mulai terjadinya benih perjuangan yang lebih terorganisir, baik rakyat, pemerintah dan angkatan bersenjata. Untuk menjalani tahap perjuangan berikutnya yang tidak lebih ringan dan penuh dengan pengorbanan.
Read more ...