Minggu, 10 November 2013

Perjuangan PPRI Kalimantan Barat Melawan Sekutu dan Belanda

Pasukan Sekutu dari Divisi Sikh di Kalimantan Barat

Pergerakan para pejuang pemuda melalui organisasi yang dibangun oleh pemuda dengan nama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI), benar-benar mengakar ke seluruh pemuda pejuang di Kalimantan Barat. 

Tujuan pembentukan PPRI tersebut adalah untuk menyebarluaskan berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh daerah di Kalbar.

Para pemuda Kalimantan melakukan protes atas masuknya tentara Inggris dan pasukan NICA ke Kalimantan. Mereka pada awalnya hanya berdalih untuk menyandra pasukan Jepang yang sudah mengalah dan melakukan pelucutan sejata yang masih ada di tangsi-tangsi Jepang di Kalimantan Barat.


PPRI Kalimantan Barat mengambil keputusan untuk mengadakan demonstrasi untuk menyatakan kehendak rakyat. Indonesia bukan negara yang kalah perang dunia II, sehingga berhak untuk mendapatkan peran, mendapatkan senjata rampasan dari Jepang dan tidak ikut dianeksasi oleh Sekutu.

Rapat raksasa yang diselenggarakan oleh PPRI dipusatkan di lapangan Kebon Sayur yang ternyata didukung secara antusias oleh banyak tokoh agama, tokoh masyarakat dari berbagai kalangan. Ribuan orang berkumpul dan membanjiri lapangan Kebon Sayur dari berbagai perutusan-perutusan di Kalimantan.

Perkumpulan besar ini jelas saja sangat dikhatirkan pasukan Sekutu, mereka ikut mengawasi dan memata-matai berbagai kegiatan para pemuda ini. Mereka juga secara diam-diam mendata orang-orang dan tokoh-tokoh pemuda yang dianggap berbahaya. Pasukan KNIL yang keturunan pribumi didikan Belanda ini secara diam-diam masuk dan menjalankan aksi intelejen terhadap bangsanya sendiri.

Pimpinan rapat raksasa itu di pimpin oleh seorang tokoh pemuda bernama Umri. Selain tokoh pemuda ini ada lagi tokoh pemuda lain yang menonjol seperti Jayadi Saman. Dengan antusias para pemuda itu mengikuti rapat tersebut. Para perutusan ini membicarakan soal Proklamasi Kemerdekaan yang telah didengungkan oleh Soekarno – Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini membuktikan bahwa Indonesia telah merdeka, sehingga tidak berhak untuk dikuasai oleh negara manapun termasuk juga Sekutu dan NICA.

Pulang dari rapat tersebut para pemuda yang terbakar rasa nasionalismenya secara berani menunjukan sikap yang tegas. Mereka bergelombolan pulang, tetapi sebelumnya mereka melakuan pawai untuk berkeliling kampung-kampung dengan berjalan kaki berramai-ramai dan juga secara berani menunjukkan sikap tidak suka kepada sekutu dengan berdemonstrasi di depan Markas Besar Sekutu yang menempati bekas gedung Keresidenan di Pontianak. Diantara para pemuda ada yang membawa bendera Merah Putih dan mereka juga melengkapi dengan bersenjataan seadanya untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Seorang pemuda dayak bernama Thomas Blaise menjadi juru bicara untuk menyampaikan maksud pemuda kepada beberapa Opsir Sekutu. Tetapi opsir itu marah-marah dan tidak mendengarkan apay yang disampaikan pemuda itu. Opsir itu juga berteriak-teriak agar meminta Thomas Blaise menyuruh massa segera bubar.

Beberapa opsir bule tentara Australia dan tentara KNIL pribumi keluar dengan memamerkan persenjataan berat dan pakaian seragam lengkap sambil menunjukkan sikap tidak bersahabat. Mereka berteriak-teriak mengusir para demontran yang masih berkumpul di Markas Besar Sekutu itu. Mereka juga mengejek-ejek dengan kata-kata yang merendahkan. Seorang tentara KNIL dengan sok mengarahkan moncong senjatanya ke arah para tokoh pemuda yang berada di barisan terdepan. Para pemuda pejuang justru tidak menunjukkan rasa takutnya mereka. Mereka justru berteriak-teriak membalas ejekan tentara Sekutu dan KNIL. Beberapa pemuda sudah menghunus pedang dan kelewang mereka bersiap jika seandainya tentara KNIL tersebut berani menembakkan senjata.

Suasana semakin tegang dengan keluarnya pasukan tambahan lain dari Markas Sekutu beberapa ratus tentara sekutu dengan persenjataan berat keluar markas. Mereka juga mempersiapkan senjata mesin dengan MM besar didepan gerbang.

Melihat kondisi ini dan khewatir akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi para pemuda pejuang seperti Umri dan Jayadi meminta para pemuda untuk membubarkan diri, tetapi ada sebagian yang masih menolak.

Tiba-tiba tentara Opsir Australia yang terlihat sebagai komandan lapangan di depan Markas Besar itu menembakkan senjata ke udara. Para serdadu Australia dan KNIL telah siap mengarahkan senjata ke kerumunan massa.

Menyadari kemungkinan yang terjadi dan ketidakseimbangan senjata akhirnya mereka membubarkan diri. Mereka pulang dengan tetap menerikkan kata-kata “Merdeka”, “Indonsia telah Merdeka”, “Alllahhu Akbar”, mereka juga meneriakkan kata-kata mengejek terhadap serdadu KNIL yang pribumi dengan kata-kata penghianat dan sebagainya.

Suasana kota Pontianak menjadi tegang. Sejak itu tentara Sekutu melakukan patroli diberbagai tempat yang dianggap rawan dan penjagaan terhadap tangsi dan gudang persenjataan diperkuat. Begitu juga dengan para pemuda yang semakin sering melakukan pertemuan-pertemuan rahasia untuk membuat tindakan kedepepan.

Tentara Sekutu juga mengumpulkan para residen yang dulunya menjadi pegawai Belanda untuk ikut mengendalikan suasana. Residen Asikin Noor yang telah lama menjadi bawahan Belanda meminta perlindungan terhadap Sekutu. Dia meminta dipindahkan ke Banjar Masin. Asikin Noor menjadi bulan-bulanan para pemuda ia merasa takut dan minta tinggal di Markas Besar Sekutu. Akhirnya permohonan Asikin Noor untuk dipindahkan direstui oleh Sekutu, dan dipindahkan ke Banjar Masin di terbangkan dengan pesawat terbang. Pengganti Asikin Noor yang menjabat sebagai Residen adalah seorang bule Belanda tentara NICA bernama Van Der Zwaal. Ia menempati kantor keresidenan dengan penjagaan sangat ketat, berbeda ketika residennya orang pribumi asli.

Tentara NICA secara diam-diam memperbanyak pasukan, bala bantuan pasukan NICA dikirimkan melalui kapal laut dan pesawat penumpang militer Australia berbendera Australia, tetapi berisi pasukan Belanda yang menamakan diri sebagai NICA. Pasukan NICA ini juga ikut dalam berbagai operasi pelucutan tentara Jepang dan operasi penguasaan kembali berbagai aset perang Jepang di Kalimantan, tetapi pakaian tentara Belanda ini masih menggunakan seragam tentara Australia dengan maksud penyamaran. Tetapi berbagai intrik ini sudah banyak diketahui oleh Para Pemuda pejuang yang menyadari adanya pasukan KNIL yang merupakan asuhan Belanda dan menerima kabar dari Pulau Jawa, khususnya dari Surabaya tentang pasukan NICA yang berbaju Inggris.

Beberapa waktu kemudian Tentara Sekutu dan NICA mengumumkan bahwa pasukan Australia sudah selesai menjalankan misi untuk melucuti tentara Jepang. Terhitung tentara Australia hanya menjalankan tugas selama satu bulan saja. Pasukan NICA secara progresif menyampaikan hal ini kesemua tempat. Sebagai penganti tentara sekutu adalah NICA, mereka belum menunjukkan bahwa NICA adalah Belanda. Bahkan Markas Besar Sekutu dalam beberapa waktu masih berbendera Australia tetapi berisi para tentara Belanda.

Patroli-patroli masa NICA semakin gencar dilakukan jauh sekali dengan masa pendudukan tentara Australia. Mereka juga menempatkan orang-orang pada berbagai pos-pos dan menugaskan petugas jaga secara bergantian. Dijalan-jalan semakin sering ditemukan tentara NICA mondar-mandir sambil menenteng senjata modern otomatis.

Untuk memperkuat kedudukan dan upaya pendekatan terhadap penduduk di Kalimantan Barat, tentara NICA membagi-bagikan makanan bekas yang sebenarnya warisan dari tentara Australia. Biskuit dan keju yang sebenarnya kedaluwarsa dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitar Markas Besar, karena kelaparan yang memang melanda di Pontianak mereka menerimanya dengan suka cita.

Tentara NICA semakin berani menunjukkan jati diri pasukan NICA ditambah lagi dengan mendatangkan 5 Kompi KNIL, berisi tentara Belanda dan sedikit orang pribumi. Tentara KNIL di pimpin oleh seorang pribumi antek Belanda bernama Hamid Algadri.

NICA membagi-bagikan beberapa kain dril kepada setiap pegawai yang baru saja diangkat untuk menjalankan pemerintahan NICA di Kalimantan Barat. Pegawai masa pendudukan Jepang yang mau berkerjasama diangkat menjadi pegawai dan digaji dengan mata Gulden. Mereka juga mendapatkan jatah beras dari stok beras bekas tentara Australia yang sudah meninggalkan Kalimantan.

Hamid Algadri yang orang pribumi dan mengerti bahasa Melayu ditugaskan NICA untuk melakukan perundingan dengan para tokoh PPRI. Mereka dirayu untuk bisa diajak berkerjasama untuk pendirian negara Borneo/Kalimantan dan keluar dari NKRI.

NICA mengundang tiga orang wakil PPRI yaitu Mutalib Rafai, Abu Hurirah, dan Muzanie Ranie untuk datang ke Markas Besar NICA di Keresidenan Pontianak. NICA melalui Hamid Algadri mengajak ketiga pemuda itu untuk mendukung usaha NICA untuk membentuk Republik Indonesia Serikat yang berarti keluar dari NKRI. Ketiga tokoh PPRI itu menolak dengan tegas dan malah dengan berani meminta agar NICA yang sebenarnya adalah Belanda itu keluar dari Kalimantan, karena Republik Indonesia sudah merdeka dan diproklamirkan.
Read more ...

Minggu, 11 September 2011

Perjuangan Raden Intan dan Raden Imba (1825 - 1860 M)


Radin Intan II adalah salah satu pahlawan nasional dari Propinsi Lampung yang yang memimpin perlawanan rakyat Lampung ketika melawan penjajahan Belanda. Atas jasa dan pengorbanannya dalam membela kepentingan rakyat, oleh pemerintah dijadikan sebagai pahlawan nasional, dan dibuatlah monumen di sekitar lokasi makamnya. Radin Intan II sebenarnya putra dari Raden Imba II, sedangkan Raden Imba II adalah putra dari Radin Intan.

Apabila dilihat dari silsilahnya Radin Intan I adalah keturunan dari Fatahillah yang merupakan anak dari Ratu Darah Putih dan Tun Penatih. Dia adalah pemimpin Keratuan Darah Putih di Lampung. Sedangkan Raden Imba II adalah keturunan Fatahillah anak dari Ratu Darah Putih dan Tun Penatih yang menikah dengan Ratu Mas. Sedangkan Radin Intan II adalah satu keturunan dari Fatahillah yang menyebarkan agama Islam di Banten sekitar abad XVI.

Radin Intan II dikenal sebagai pejuang dalam menentang penjajahan Belanda di Lampung dan gugur sebagai pahlawan. Ia adalah putra dari Raden Imba II, beliau dipelihara dan dibesarkan oleh ibu dan keluarganya dengan penuh rahasia. Ia lahir di hutan tahun 1831. Ketika Benteng Raja Gepei jatuh ke pemerintahan Belanda tahun 1834, ia berusia 3 tahun. Saat kecil Radin Intan II diliputi suasana perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya. Raden Intan II meninggal saat usia masih muda di saat ia belum menikah, sehingga tidak mempunyai keturunan lagi.

Sebelum kedatangan Belanda ke Lampung, Lampung merupakan salah satu daerah yang mendapat pengaruh kekuasaan dari Banten, hal itu disebabkan Lampung waktu itu, kaya akan rempah-rempah. Namun di saat kedatangan Belanda, secara perlahan Lampung dapat dikuasai oleh Belanda. Kedatangan Belanda ke Indonesia, tujuan utama adalah berdagang sambil mencari rempah-rempah.

Perlawanan Radin Intan terhadap penjajahan Belanda, pertama dilakukan oleh Radin Intan I. Raden Intan I (1751-1828), adalah penguasa Keratuan Darah Putih atau Negara Ratu yang berpusat di Kahuripan. Daerah ini sekarang termasuk wilayah Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan. Bagi Belanda Radin Intan I dianggap sebagai orang yang keras kepala, ia tidak mau menuruti apa perintah Belanda, bahkan iapun cenderung untuk melawan dari segala kebijakan yang dibuat pemerintah Belanda, seperti monopoli perdagangan lada.

Meskipun demikian dibalik sikap Radin Intan I yang keras kepala tersebut, Belanda tetap memperlakukan Radin Intan I dengan sifat yang lunak. Sikap lunak sengaja diperlakukan oleh pemerintah Belanda (khususnya Gubernur Jenderal Belanda, H.W. Daendels), sebab Daendels mengakui kepemimpinan Raden Intan I sebagai penguasa di Lampung. Disamping itu, perlakukan lunak Belanda khususnya Daendels tersebut didasarkan atas perhatian Belanda yang terpecah, dikarenakan perhatian Belanda lebih tercurah pada persiapan untuk menghadapi ancaman pasukan Inggris. Selanjutnya pada kwartal I abad 19 ini, Belanda juga harus menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830).

Dengan ketidak mampuan Daendels dalam mendekati Radin Intan I tersebut, akhirnya Radin Intan I mengambil langkah-langkah yang bagi Belanda sangat membahayakan, seperti menjalin hubungan persahabatan dengan Daeng Gajah dari Tulang Bawang dan Seputih. Raden Intan pun sengaja melepaskan diri dari ikatan Belanda. Dengan tindakan yang diambil Raden Intan ini, menandakan bahwa Radin Intan I dianggap oleh Belanda sebagai pemberontak dan akan melakukan suatu pemberontakan. Dengan adanya kekhawatiran tersebut, akhirnya fihak Belanda mengadakan perundingan dengan Radin Intan I yang isinya :
1. Radin Intan I bersedia mengakiri kekerasan dan membantu pemerintah Belanda.
2. Raden Intan I akan diakui kedudukannya, sebagaimana pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels.
3. Radin Intan I mendapat pensiun sebesar f.1200 per tahun dan saudara-saudaranya masing-masing sebesar f.600 per tahun.

Dari isi perundingan tersebut, pemerintah Belanda memberikan janji-janji kepada Radin Intan I, sehingga terciptalah suasana damai. Namun suasana damai tersebut, ternyata tidak memakan waktu lama, karena hubungan antara pemerintah Belanda dengan Radin Intan I kembali meruncing. Sebab-sebab meruncingnya hubungan kedua belah pihak tersebut dikarenakan Pemerintah Belanda secara sepihak melanggar kesepakatan damai dan dengan terang-terangan menempuh jalan kekerasan.

Pada awal bulan Desember 1825 pemerintah Belanda mengirim utusan untuk menangkap Radin Intan I, dengan cara mengirim Gezaghebber Lelievre di Telukbetung bersama Letnan Misonius. Kedatangan kedua orang Belanda tersebut dilengkapi dengan 35 serdadu dan 7 opas, bergerak menuju Negara Ratu. Awalnya Radin Intan I menerima dengan baik kedatangan kedua orang Belanda tersebut, dan Radin Intan pun bersedia dibawa ke Teluk Betung, tetapi dengan syarat Radin Intan meminta waktu 2 hari dikarenakan sedang sakit.

Tatkala kedua orang Belanda tersebut sedang istirahat di Negara Ratu, tiba-tiba diserang oleh pasukan Radin Intan I tanggal 13 Desember 1825, dan orang-orang Belanda pun berhasil dilumpuhkan. Korban tewas menimpa Lelievre bersama seorang sersan, sedangkan Letnan Misonius luka tertembak. Dengan kekalahan Belanda ini maka untuk sementara keadaan di Lampung kembali tenang, sebab Belanda mulai mencurahkan kekuatannya untuk menghadapi penyerangan Pangeran Diponegoro. Tiga tahun kemudian Radin Intan I jatuh sakit hingga meninggal dunia, sedangkan tahta sebagai pemimpin di Keratuan Darah Putih diwariskan kepada putranya yaitu Raden Imba II.

Raden Imba II yang mewarisi tahta sebagai Ratu di Lampung ternyata juga mewarisi sifat-sifat ayahnya yaitu anti terhadap penjajahan Belanda, dan berusaha untuk melawannya. Sikap anti terhadap penjajahan Belanda tersebut juga mendapat dukungan dari ayah mertuanya yaitu Kiai Arya Natabraja dan Kepala Marga Teratas Batin Mangundang, serta rakyat daerah Semangka. Semasa Raden Imba II menjabat sebagai Ratu Lampung, ia mempunyai hubungan ke luar istana yang sangat luas, yaitu menjalin hubungan persahabatan dengan kesultanan Lingga yang diwujudkan dengan perkawinan saudara perempuannya dengan Sultan Lingga, disamping itu Raden Imba II juga menjalin persahabatan dengan pelaut Bugis dan Sulu.

Dengan jalinan persahabatan yang dibina Raden Imba dengan beberapa wilayah di luar Lampung, membuat kekhawatiran di pihak tentara Belanda, sebab dikhawatirkan Raden Imba II menjalin suatu kekuatan untuk menyerang Belanda. Ternyata dugaan Belanda tersebut benar, Raden Imba II melakukan penyerangan di Teluk Lampung. Dengan bantuan rakyat setempat, Raden Imba II berhasil mengalahkan pasukan Belanda di dekat Kampung Muton. Serangan yang dilakukan Raden Imba II ini berakibat buruk, sebab petinggi pemerintah Belanda menderita kerugian, sehingga Asisten Residen Belanda untuk Lampung yaitu J.A. Dubois meminta bantuan bala tentaranya dari Batavia, untuk segera mengirim bantuannya guna memadamkan perlawanan Raden Imba II.

Bala bantuan pun datang dengan kekuatan lima buah Kapal Alexander dan Dourga, 300 serdadu Belanda, serta 100 serdadu Bugis. Bala bantuan tersebut dibawah pimpinan Kapten Hoffman dan Letda Kobold. Pasukan Belanda ini mendarat di Kalianda tanggal 8 Agustus 1832. Pasukan Belanda juga menuju Kampung Kesugihan dan Negara Putih, tapi sayang tempat tersebut sudah ditinggalkan oleh Raden Imba II. Untuk melampiaskan kekesalannya, Belanda membakar semua rumah yang ada di kampung tersebut.

Raden Imba II yang mengetahui kejadian tersebut langsung membangun kubu pertahanan yang tersebar di beberapa daerah, seperti di Raja Gepeh, Pari, Bedulu, Huwi Perak, Merambung, Katimbang, dan Sakti. Agar tidak kehabisan bahan makanan, Raden Imba II juga membangun lumbung-lumbung persedian makanan, begitu pula untuk mengimbangi kekuatan Belanda, Raden Imba II menambah senjata, dengan cara melakukan barter dengan Inggris yang berkuasa di Bengkulu. Pertempuran melawan Belanda pun kembali terjadi tanggal 9 September 1832 di daerah Gunung Tanggamus. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Hoffman. Namun dalam perlawanan melawan Belanda kali ini pasukan Raden Imba II kembali mengalami kemenangan. Dari pasukan Belanda banyak yang tewas, sedangkan Kapten Hoofman mengalami luka-luka. Dengan kekalahan tersebut, akhirnya pasukan Belanda ditarik mundur.

Dengan ditariknya pasukan Belanda dari daerah Gunung Tanggamus tersebut, bukan berarti pasukan Belanda menerima kekalahan. Artinya justru pasukan Belanda membangun kekuatan untuk membalas kekalahannya terhadap Raden Imba II. Kapten Hoffman untuk kedua kalinya memimpin penyerangan terhadap Raden Imba II. Kali ini Kapten Hofman mengerahkan kekuatan yang lebih besar, yaitu ditemani oleh 600 serdadu Belanda yang direkrut dari pasukan yang telah berpengalaman dalam melawan Pangeran Diponegoro. Kapten Hoffman juga mendapat bantuan pasukan dari Letnan Vicq de Cumtich. Pertempuran kali ini dapat dikatakan pertempuran besar yang terjadi di Benteng Raja Gepei. sebab dari keduanya mengalami kerugian yang sangat besar, yaitu pasukan Raden Imba II kehilangan 100 pasukannya, sedangan pasukan Belanda hanya 65 orang termasuk Letnan Neuenborger dan Letan Huiseman. Namun demikian Raden Imba II masih dapat berhasil memimpin pasukannya untuk mempertahankan Benteng Raja Gepei. Begitu pula pasukan Belanda masih tertahan dan mendapat bantuan pasukan dibawah pimpinan Kapten Beldhouder dan Kapten Pouwer. Namun kedua kapten tersebut tewas.

Beberapa kali kekalahan yang dialami oleh pasukan Belanda dalam menghadapi setiap perlawanan, bagi Belanda menjadikan suatu cambuk untuk mengirimkan bala bantuan yang lebih besar, begitu pula yang dialami Belanda dalam menghadapi beberapa kali perlawanan yang dilakukan oleh Raden Imba II. Tanggal 23 September 1834, pemerintah Belanda di Batavia kembali mengirimkan bantuan dalam jumlah yang besar, yaitu 21 opsir (perwira), dan 800 serdadu istimewa yang dilengkapi dengan meriam besar, bantuan tersebut dibawah pimpinan Kolonel Elout. Benteng Raja Gepei yang selama ini dijadikan tempat persembunyian Raden Imba II, oleh Belanda berhasil dihancurkan dan diduduki, namun Raden Imba II dan mertuanya Kyai Arya Natabraja berhasil meloloskan diri. Selanjutnya Raden Imba dan beberapa pasukannya menyingkir ke Kesultanan Lingga sekaligus minta perlindungan. Namun sayang tempat persembunyiannyapun diketahui oleh Belanda. Raja Lingga akhirnya mendapat tekanan dari Belanda, yang isinya apabila tidak menyerahkan Raden Imba II, Kerajaan Lingga akan mendapat serangan dari Belanda. Akhirnya Raden Lingga pun menyerahkan Raden Imba II meskipun dengan terpaksa.

Dengan diserahkannya Raden Imba II dan beberapa pengikutnya ke Belanda, maka mereka ditangkap dan dibawa ke Batavia. Pada saat di Batavia itulah mertua Raden Imba II dan hulu balangnya Raden Mangunang meninggal dunia. Sedangkan Raden Imba II dibuang ke Pulau Timor. Raden Imba II pun akhirnya meninggal di Pulau Timor. Sedangkan istrinya yang sedang hamil tua dipulangkan ke Lampung.

Dengan meninggalnya Raden Imba II, maka kekuasaan Lampung berada sepenuhnya di tangan Belanda. Selama itulah kurang lebih 15 tahun, Lampung sepi dari pemberontakan.

Istri Raden Imba yang telah hamil, beberapa waktu kemudian melahirkan seorang laki-laki sebagai anak yatim, karena Raden Imba II telah meninggal dunia. Anak tersebut diberi nama Radin Intan II. Ia meneruskan jejak leluhurnya sebagai orang yang anti penjajahan.

Pada tahun 1850, Radin Intan II telah menginjak usia 15 tahun, karena ia sebagai anak tunggal dari Raden Imba II, maka ia pun berhak meneruskan tahta memimpin Keratuan Darah Putih di Lampung, sehingga ia pun dilantik sebagai penguasa Negara Ratu tersebut. Ia mulai menata segala sarana dan prasarana yang telah rusak akibat perlawanan ayahnya terhadap Belanda. Di antaranya Radin Intan II memperbaiki benteng yang rusak, dan iapun membangun kembali benteng-benteng baru di antaranya di Galah Tanah, Pematang Sentok, Kahuripan, dan Salaitahunan. Semua benteng tersebut dilengkapi dengan parit dan terowongan rahasia. Sedangkan persenjataannya masih sangat sederhana untuk ukuran sekarang seperti keris, badik, pedang, dan meriam besar dan kecil. Sedangkan pasukannya dibagi menjadi unit-unit kecil yang terdiri atas 40 orang dengan dipimpin oleh seorang komandan prajurit, begitu pula sarana lain juga dipersiapkan seperti dapur umum atau pejunjongan (untuk menopang pejuang).

Pertahanan dipusatkan di Gunung Rajabasa, yang secara militer letak gunung ini sangat strategis dalam menghadapi serangan lawan dari manapun karena letaknya yang dikelilingi benteng-benteng pertahanan, seperti sebelah barat dan utara terdapat Benteng Merabung, Galah Tanah, Pematang Sentok, Katimbang, dan Salai Tabuhan. Sebelah timur terdapat Benteng Bendulu dan Hawi Perak, sedangkan di kaki-kaki gunung terdapat Benteng Raja Gepei Cempaka dan Kahuripan Lama.

Sepak terjang Radin Intan II hampir menyerupai ayahnya, yaitu menggalang persahabatan dengan beberapa tokoh penting seperti Singabranta, Wak Maas, dan Haji Wakhia, serta rakyat dari Marga Ratu dan Dataran. Tujuannya penggalangan tersebut adalah untuk meningkatkan kekuatan pasukan. Bagi Belanda, sepak terjang yang dilakukan oleh Radin Intan II ini dianggap membahayakan. Oleh sebab itu Belanda mengambil tindakan yaitu berupaya untuk membujuk dan melakukan diplomasi dengan Radin Intan II. Dengan syarat-syarat yang cukup menjanjikan, Belanda berusaha membujuk Radin Intan II agar menghindari permusuhannya dengan Belanda, dengan imbalan akan diberi pengampunan, ditawari biaya pendidikan, dan sebagainya.

Namun Radin Intan II menolak segala bujukan tersebut. Karena tawaran Belanda ditolak, maka Belanda pun pada tahun 1851 mengirim pasukan yang berkekuatan 400 serdadu yang langsung dipimpin oleh Kapten Tuch. Pasukan Belanda pun langsung menyerang/menyerbu Benteng Merambung, tetapi sayang penyerangan Belanda ini mengalami kegagalan. Dan kemenangan ada di pihak Radin Intan II.

Pada tahun 1853, pemerintah Belanda kembali mengajukan suatu perdamaian yang isinya agar Radin Intan II menghentikan penyerangan. Usulan perdamaian kali ini diterima oleh Radin Intan II, dan Radin Intan II pun menghentikan suatu peperangannya dengan Belanda sehingga suasana menjadi tenang. Namun sayang suasana tenang itupun hanya berlangsung 2 tahun yaitu sampai 1855. Dan tahun 1856 Radin Intan II kembali melakukan penyerangan.

Bila diruntut dari perlawanan satu ke perlawanan berikutnya, baik yang dilakukan oleh Radin Intan I, Raden Imba II, dan Radin Intan II, ternyata pemerintah Belanda selalu dipihak yang kalah. Oleh karena pemerintah Belanda ingin mengerahkan bala bantuannya sebanyak mungkin yang diminta dari Batavia, yang tujuannya untuk menghentikan perlawanannya di Keratuan Darah Putih Lampung.

Pada tahun 1856, bala bantuan dari Batavia tersebut benar-benar datang. Untuk bala bantuan kali ini dibawah pimpinan Kolonel Walleson yang dibantu Mayor Nauta, Mayor Van Oostade, dan Mayor AWP Weitzel. Bala bantuan ini/atau yang disebut ekspedisi ini terdiri atas 9 buah kapal perang, 3 buah kapal angkut peralatan, puluhan perahu mayung, dan jung dengan mengangkut 1.000 serdadu, dan 350 perwira, 12 meriam besar, serta 30 satuan zeni. Dengan datangnya bala bantuan tersebut, pasukan Belanda mendarat untuk merebut Pulau Sikepal (yaitu daerah Teluk Tanjung Tua), pada tanggal 10 Agustus 1856, dua hari kemudian pimpinan pasukan Belanda mengeluarkan ultimatum kepada Radin Intan II dan pimpinan rakyat lainnya agar menyerahkan diri dalam tempo 5 hari.

Dari Pulau Sikepal pasukan Walseson kemudian bersiap untuk menyerang Benteng Bendulu, penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1856 yaitu melalui daerah Ujau dan Kenali. Benteng Bendulu dapat dikuasai keesokan harinya tanpa perlawanan. Kemudian pasukan Belanda bergerak menuju Benteng Hawi Perak, sekitar pukul 8 pagi tanggal 18 Agustus 1856. Namun berita yang beredar, Benteng Bendulu telah direbut kembali oleh pasukan Radin Intan II. Dengan begitu Walleson dan pasukannya segera kembali berbalik arah ke Benteng Bendulu. Beteng Bendulu berhasil direbut kembali oleh Walleson dan selanjutnya dijadikan sebagai pangkalan (markas) pasukan Belanda dalam penyerbuan ke benteng-benteng pertahanan Radin Intan yang lain.

Dalam melakukan penyerangan terhadap benteng Katimbang, Walleson memecah kekuatan pasukan menjadi tiga kelompok yang bergerak melalui tiga arah yang berbeda; pasukan pertama dipimpin langsung oleh Kolonel Walleson yang bergerak dari pesisir selatan terus melingkar melalui lereng timur Gunung Rajabasa ke arah utara. Pasukan kedua yang dipimpin oleh Mayor van Costade bergerak dari pesisir selatan (Pulau Palubu, Kalianda, dan Way Urang) melingkar melalui lereng sebelah barat dan utara menuju Kelau dan Kunyaian, untuk merebut Benteng Merambung dan kemudian menuju Benteng Katimbang. Pasukan ketiga dipimpin oleh Mayor Nauta bergerak dari Penengahan melalui hutan untuk merebut Benteng Salaitahunan dan akhirnya menuju benteng Katimbang.

Keesokan harinya tanggal 19 Agustus 1856, pasukan Walleson berhasil merebut Benteng Hawi Perak, namun karena sesuatu hal, yaitu cuaca buruk, maka pasukan Walleson pun terpaksa balik kembali ke Bendulu. Sedangkan Benteng Hawi Perak dibakar. Setelah membakar benteng tersebut, selanjutnya pasukan Walleson bergabung dengan pasukan Mayor van Costade yang bergerak melalui lereng barat Rajabasa. Kemudian pada tanggal 27 Agustus 1856, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Walleson dan Van Costade berhasil merebut Benteng Merambung, Galah tanah, dan Pematang Sentok. Benteng Merambung berhasil direbut pada pukul 7 pagi dan Benteng Pematang Sentok direbut tanpa perlawanan.

Pada saat merebut Benteng Galah Tanah tersebut, pasukan Belanda mendapat perlawanan yang cukup sengit, sebab pasukan Radin Intan II siap bertahan, dalam mempertahankan benteng dengan senjata meriam dan ranjau darat. Akan tetapi akhirnya sekitar pukul 09.00 pagi Benteng Galah berhasil direbut pasukan Belanda. Sementara itu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Nauta dengan susah payah berhasil merebut Benteng Salai Tahunan. Dengan dikuasainya Benteng Galah dan Benteng Salai Tahunan, terbukalah jalan kearah Benteng Katimbang.

Tanggal 27 Agustus 1856, Benteng Katimbang mulai diserang oleh Belanda, sekitar pukul 12 siang. Alasan diserangnya benteng ini, karena memiliki persediaan logistik yang cukup besar yang dipertahankan oleh Raden Intan II dan pasukannya. Tetapi karena demi segi persenjataan yang tidak seimbang itulah maka Benteng Katimbang berhasil direbut oleh Belanda pada pukul 05.00 subuh. Radin Intan dan kawan-kawannya seperti Haji Makhia, Singa Branta, dan Wak Maas berhasil meloloskan diri.

Dengan larinya Radin Intan II dan beberapa temannya, pasukan Belanda berusahan mengejarnya. Dengan pengejaran pasukan Belanda tersebut, maka Radin Intan II melakukan gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda. Akhirnya pasukan Belanda pun dibuat jengkel oleh Raden Intan II. Oleh karena itu untuk menangkap Radin Intan II di persembunyian, pasukan Belanda melakukannya dengan berbagai cara yaitu menanyakan dimana keberadaan Radin Intan kepada penduduk ataupun beberapa wanita, sehingga keberadaan Radin Intan II pun dapat diketahui oleh Belanda, namun demikian Radin Intan II tidak dapat ditangkap karena tempat persembunyian Raden Intan selalu berpindah-pindah, yaitu dari tempat satu ke tempat lain.

Dengan kesulitan untuk menangkap Radin Intan tersebut, Belanda mulai membabi buta yaitu melakukan cara-cara yang tidak pada tempatnya seperti menangkap saudara atau orang-orang terdekatnya Radin Intan II seperti istri, anak, menantu, maupun saudara-saudara teman seperjuangan Radin Intan II. Kemudian pada tanggal 9 September 1856 bersamaan dengan hukuman mati Kiai Wakhia, dan dalam pertempuran berikutnya Wak Maas dibunuh oleh pasukan Belanda, dan lama-kelamaan Radin Intan II melakukan perjuangan secara sendirian.

Karena Belanda masih kesulitan dalam menangkap Radin Intan II, maka satu-satunya jalan Belanda melakukan tipu muslihat, yaitu dengan cara meminjam orang Lampung sendiri. Pasukan Belanda berhasil membujuk Kepala Kampung Tataan Udik yaitu Raden Ngarupat. Raden Ngarupat akhirnya termakan bujukan Belanda, iapun melalukan perintah Belanda dalam melakukan tipu muslihatnya. Caranya Raden Ngarupat mengundang Radin Intan II untuk makan malam di rumahnya. Ketika Raden Ngarupat sedang menghadapi hidangan, pasukan Belanda langsung menyergapnya. Radin Intan II yang ditemani saudara sepupunya langsung memberikan perlawanan. Namun sayang dengan kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya Radin Intan II gugur. Dengan gugurnya Radin Intan II, perlawanan terhadap Belanda sifatnya kecil yang bagi bagi Belanda mudah untuk mengalahkannya.

Sumber Pustaka
1. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 1, Disjarah AD bekerjasama dengan Angkasa, Bandung, 1973.
2. Dean G. Pruitt, dkk, Teori konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
3. Pahlawan Nasional Radin Intan II, Leaflet, Pemerintah Propinsi Lampung, Dinas Pendidikan, tahun 2004.
4. Tim Penyusun Kamus, kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990
Read more ...

Sabtu, 10 September 2011

Rapat Raksasa Di Lapangan Ikada, 19 September 1945


Para Pemuda dan Mahasiswa yang memiliki rencana tersebut, dengan semangat juang tinggi yang menggunakan nama panitia “Komite aksi”, menganggap Pemerintah harus didesak dan dimotivasi terus agar sadar bahwa Rapat Raksasa ini penting untuk diselenggarakan guna menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Inilah perwujudan nyata dari proses demokrasi dan harus dikampanyekan kepada dunia. Bukankah Republik Indonesia secara defacto sudah ada melalui fakta adanya Rakyat, Wilayah dan Pemerintah. Dalam Rapat Ikada inilah khsusnya penduduk Jakarta dan sekitarnya akan membuktikan suatu legitimasi politik bahwa “Indonesia sekarang telah Merdeka” yang didukung rakyat.

Sebelum rapat ini dilaksakan sebetulnya banyak timbul polemik antara para tokoh dalam menyikapi rencana rapat raksasa tersebut. Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 September 1945 di gedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) membahas rencana rapat ini. Kurang disetujuinya rencana rapat tersebut oleh Pemerintah, antara lain atas pertimbangan rakyat yang berkumpul cukup banyak , yang akan memancing kemarahan militer Jepang dan mungkin mengakibatkan bentrokan fisik dimana dikhawatirkan akan jatuhnya banyak korban sia-sia.

Memang fihak militer Jepang jauh hari telah mengeluarkan larangan berkumpulnya massa lebih dari lima orang. Dan bukan hal yang tidak mungkin Pihak Jepang yang sekarang telah menjadi alat sekutu, sudah menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh SEAC (South East Asia Command) yaitu untuk mempertahankan keadaan Status Quo.

Pada tanggal 18 September 1945 jam 11.00 pagi, tiba-tiba Mr Achmad Subardjo selaku menteri Luar Negeri RI mengadakan konferensi Pers untuk menyampaikan keputusan Pemerintah yang isinya sepertinya menghilangkan harapan rakyat dengan menolak rencana Rapat Raksasa Ikada. Beliau juga memerintahkan agar rencana pembatalannya diberitakan dalam Berita Indonesia (sebuah surat kabar pada saat itu). Reaksi para pemuda dan mahasiswa yang hadir dalam konferensi tersebut sudah bisa diperkirakan sejak semula. Mereka menyatakan sikap bahwa “Apapun yang akan terjadi Rapat Raksasa Ikada akan tetap diadakan pada esok pagi yaitu tgl 19 September 1945”.

Pemuda-mahasiswa protes kepada Pemerintah dan berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada Pemerintah dan meminta keputusan ditinjau kembali. Desakan para hadirin agar Pemerintah sekali lagi bersidang, ahirnya ditanggapai oleh Men.Lu Achmad Subardjo dan berjanji untuk menyampaikannya kepada Presiden Sukarno.

Setelah bubaran, para pemuda-mahasiswa tidak langsung pulang kerumah tapi berkumpul ditempat kelompoknya masing-masing, untuk membicarakan tindakan selanjutnya. Sedikit gambaran Pasca Proklamasi, setidaknya ada 3 kelompok besar pemuda-mahasiwa yang berbeda dalam latar belakang politiknya. Yang pertama kelompok Prapatan 10 (asrama mahasiswa kedokteran Ikadaigakho) yang 100 % terdiri dari mahasiswa, kelompok Menteng 31 yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan kelompok BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar Indonesia) jl Cikini no.71. Terdiri dari campuran Mahasiswa dan Pelajar. Diluar itu ada juga kelompok yang tidak kalah partisipasinya dalam persiapan ini yaitu kelompok pelajar SMT (Sekolah menengah Tinggi) Jakarta. Dan dalam jumlah kecil ada juga para pemuda yang tergabung dalam asrama Indonesia merdeka dijalan Kebon Sirih no.80 Jakarta, dan pemuda dari Barisan Pelopor Jakarta. Mereka semua merupakan motor-motor persiapan Rapat Raksasa Ikada pada saat itu.

Jangan dilupakan juga pada saat itu terdapat banyak para pemuda ex tentara PETA dan HEIHO yang sudah menceburkan dirinya dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Organisasi mereka juga punya peranan yang menentukan dalam persiapan pengamanan Rapat Raksasa Ikada. Komandan BKR Jakarta pada saat itu adalah mantan Shodanco Mufraini Mukmin yang belakangan akan menjadi Komandan Resimen Jakarta. Yang tidak kalah pentingnya Polisi ex Jepang (Polisi macan) yang sudah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Merekalah satu-satunya kekuatan bersenjata yang ada dipihak RI pada saat itu , termasuk untuk pengamanan keselamatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet.

Setelah menunggu beberapa saat rupanya Pemerintah menepati janjinya untuk mengadakan rapat kabinet kembali. Pada tgl 18 September 1945, jam 20.00 bertempat dikediaman Presiden Sukarno, jl Pegangsaan Timur 56, Men.Lu Achmad Subardjo melaporkan kepada Presiden tentang pertemuannya dengan pemuda-mahasiswa pada pagi hari dimana mereka pada dasarnya tetap bertekad untuk melaksanakan Rapat Raksasa Ikada. Meskipun Rapat sebagian anggota kabinet ini berlangsung sampai jam 4.00 pagi, tapi tidak menghasilkan apa-apa dan diputuskan akan dilanjutkan di kantor KNIP di Lapangan Banteng besok paginya tgl 19 September 1945 dalam rapat pleno dimana anggota kabinet lengkap. Kembali kepada penuturan awal diatas dimana sedang berlangsungnya Rapat Kabinet tgl 19 September 1945, nampaknya semua unsur mengalami kegelisahan yang cukup mencekam.. Disatu fihak pemuda-mahasiswa panitia penyelenggara dari Komite Aksi yang sejak pagi hari sudah menghadapi masa yang terus berbondong-bondong menuju Ikada yang diperkirakan telah mencapai lebih dari 100.000 orang.

Kepada panitia ini massa rakyat menuntut untuk menghadirkan segera para pemimpin bangsa, khususnya Presiden Sukarno. Difihak yang lain Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta dan seluruh anggota Kabinet bersama anggota KNIP masih mengulur-ngulur waktu tampa tau harus berbuat apa. Nampaknya disini dibutuhkan seseorang tokoh sentral yang berani dan tegas untuk berkata ya atau tidak sama sekali. Sementara sekitar jam 12.00, kabinet sudah mengutus Mohammad Roem (Ketua KNIP Jakarta) dan Soewirjo (Walikota Jakarta) untuk menemui fihak militer Jepang untuk membicarakan hal-hal mengenai rapat raksasa tersebut. Dalam pembicaraan ini ada kesan bahwa fihak Jepang mulai kewalahan melihat pengumpulan masa yang makin lama makin besar tampa bisa berbuat sesuatu.

Mereka meminta Roem dan Suwirjo, membubarkan kumpulan massa rakyat tersebut. Hal ini dijawab Roem dan Soewirjo bahwa yang bisa membubarkan kumpulan massa itu hanya satu orang yaitu Presiden Sukarno. Kedua utusan Kabinet ini juga sempat menyaksikan keadaan dilapangan Ikada secara langsung, termasuk persiapan pasukan Tentara Jepang yang sudah sempat memobilisir sejumlah besar pasukan infantri bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus yang didukung pasukan tank dan panser. Semua hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Sukarno.

Ahirnya menjelang pukul 16.00 Presiden Sukarno tidak mungkin berpangku tangan lagi dan dengan tegas menyatakan “ Saudara-saudara menteri dengarkan keputusan saya. Saya akan pergi kelapangan Ikada untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya. Siapa yang mau tinggal dirumah boleh, terserah kepada saudara masing-masing”.

Dengan adanya keputusan tersebut maka berahirlah sidang kabinet, dan secara resmi Pemerintah menyetujui Rapat Raksasa Ikada dilangsungkan. Dan hampir semua hadirin dalam sidang digedung KNIP ini ternyata ikut menuju Lapangan Ikada mengikuti Presiden, menurut caranya masing-masing. Presiden Sukarno sendiri telah dijemput pemuda-mahasiswa dari panitia penyelenggara Komite Aksi.

Mobil yang dipergunakan mahasiswa tidak tanggung-tanggung sebuah mobil berwarna hijau militer Jepang (kuning hijau) bekas milik salah seorang pimpinan Kempetai. Kendaraan ini dikendarai oleh mahasiswa Sujono Joedodibroto (sekarang profesor ahli mata) dan dimuka dikawal dua buah motor indian yang dikendarai Subianto Djojohadikusumo (gugur sebagai letnan satu Polsi Tentara dalam peristiwa lengkong Tanggerang awal tahun 1946) dan Daan Yahya (mantan Panglima Divisi Siliwangi tahun 1948 dan gubernur militer Jakarta Raja tahun 1950).

Rupanya rombongan tidak langsung kelapangan Ikada tapi mampir di Asrama mahasiswa kedokteran jalan Prapatan no.10 Jakarta, karena Presiden Sukarno mau mengganti pakaian dahulu yang berwarna putih yang diambil dari rumah. Sekitar jam 16.00 tepat barulah rombongan Presiden yang dikawal mahasiswa ini yang kini sudah bertambah, termasuk mahasiswa Eri Sudewo, Sujono markas, Patiasina, Kamal dan sebagainya. Sebelum masuk kelapangan Ikada (kira-kira dimuka PLN sekarang), rombongan Presiden turun dari mobil yang langsung disambut rakyat.

Bersama rombongan besar rakyat inilah Presiden dan anggota kabinet berjalan bersama menuju tempat yang sudah disediakan. Nampak beberapa tokoh mendekati Presiden, antara lain Hatta, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Mufraini Mukmin dan sebagainya. Tapi baru beberapa meter mereka berjalan tiba-tiba sudah dihadang beberapa perwira Jepang yang meminta agar Rapat dibubarkan. Salah seorang perwira Jepang ini adalah Let.Kol Myamoto yang ditugaskan pimpinan militernya untuk berunding.

Melalui penterjemah yang juga seorang mahasiswa, Presiden Sukarno kemudian menjelaskan bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya. Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah kami satoe”.

Menunggu kesempatan baik, rombongan lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno keatas podium kayu setinggi kurang lebih 3 meter dikawal ajidan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan Merdeka…Merdeka…Merdeka, yang sambung menyambung. Maka Presidenpun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tampa bersuara antara lain beliau berkata :

“Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara? “

Kerumunan rakyat menjawab serentak, “Sanguuup”.

Lalu Presiden melanjutkan, “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam nasional….. Merdeka!….” .

"Merdekaaaaa....", sahut rakyat secara lebih gemuruh lagi.

Bukan jumlah waktunya Presiden berbicara, tetapi makna dari periwtiwa ini adalah sebuah, kedaulatan rakyat Indonesia yang diserahkan kepada Dwi Tunggal dan pemerintahan RI yang masih mudah. Bahkan sangat muda karena umumnya hanya baru 1 bulan saja.

Bukti kedaulatan itupun langsung di perlihatkan rakyat Indonesia kepada Penjajah Jepang. Rakyat pulang dengan tertib dan terkendali. Kumpulan massa yang dianggap pihak Jepang akan berbuat barbar, ternyata menunjukkan sebuah budaya dari negeri yang merdeka, dengan presiden yang memiliki kewibawaan atas rakyat, dan rakyatpun secara sukarela mendukungnya.

Peristiwa Rapat Raksasa Ikada ini telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung pemerintahan yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta dan siap sedia kapan saja untuk mempertahankan kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dari peristiwa ini juga mulai terjadinya benih perjuangan yang lebih terorganisir, baik rakyat, pemerintah dan angkatan bersenjata. Untuk menjalani tahap perjuangan berikutnya yang tidak lebih ringan dan penuh dengan pengorbanan.
Read more ...