Senin, 12 September 2011

Sejarah Kota Yogyakarta yang Pernah Menjadi Ibu Kota RI


Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa revolusi. Selain itu kota ini adalah ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paku Alam. Kota yang terkenal gudegnya ini.

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang dan terkait erat dengan masa perjuangan merebut dan mempertahankan Ri dari penjajah Belanda dan Jepang. Dari sekian cerita perjuangan yang paling popular adalah serangan umum 1 Maret 1949. Perang yang dimenangkan oleh para pejuang kemerdekaan dan sempat mempertahankannya selama 6 jam, sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional tentang eksistensi Republik Indonesia dan para pejuang RI. Serangan tersebut dilakukan secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman.

Kota perjuangan ini berdiri disebabkan adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Daerah-daerah yang masuk menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Kota Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII sebagaimana piagam tentang pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY. Selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi sejalan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dinyatakan dalam Pasal 1 bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakarta.

Walikota pertama yang dijabat oleh Ir. Moh Enoh pada awal pelaksanaan otonomi tersebut mengalami kesulitan. Namun dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pokok-pokok tentang pemerintahan daerah menjadi lebih jelas dengan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengamantakan untuk kembali ke UUD 1945 maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta, dan diperbaharui lagi melalui Tap. MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

Disebutkan bahwa DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II di mana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, maka keluarlah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut dengan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.

Sumber Pustaka:

1. www.jogjakota.go.id

2. wikipedia.org
Read more ...

Kronologis Gerilya TNI Sebelum Serangan 1 Maret 1949 Ke Yogyakarta


Berhasilnya tentara Belanda menduduki tempat-tempat penting di kota Yogyakarta dalam waktu relatif singkat, menimbulkan kesan yang dalam pada masyarakat dan dunia interanasional seakan pemerintahan RI bukanlah pemerintah layaknya, dan TNI itu tidak kuat. Para pemimpin kita pada waktu itu khwatir hal ini bisa menjadi alasan de facto pemerintahan RI itu tidak memiliki legitimasi yang kuat pada rakyat Indonesia.

Hal ini membuat Panglima Besar Jenderal Sudirman berpikir bagaimana caranya propaganda Belanda di dunia internasional dapat dipatahkan dan TNi dapat membuktikan masih eksis sebagai garda terdepan dalam menjaga tanah air tercinta ini.

Dari sini disusunlah berbagai rencana aksi Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara terkoordinasi yang direncanaan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat. Rencana ini pun mendapat dukungan dari Sri Sultan Hamangkoeboeono.

Untuk membangun jaringan TNI maka di tugaskan Letkol. dr. Wiliater Hutagalung pada awal Februari 1948 yang kemudian sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Pada pertemuannya dengan Panglima Besar (Pangsar) Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda.

Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai grand design adalah:
1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,
2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:

Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat. Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Dalam serangan ini siaran radio ini berhasil mengudarakan keberhasilan serangan 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang banyak diterima oleh pemirsa di luar negari, sehingga memberikan simpati para pejuangan TNI.
Tujuan utamanya adalah Bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang berseragam TNI.

Sebelum serangan 1 Maret yang sesungguhnya maka TNi yang tersebar dalam berbagai wilayah di Yogyarakat dan sekitarnya melakukan aksi yang bertujuan menjatuhkan moral musuh dan agar mereka tidak dapat istirahat dengan dengan. Sejak agresi militer Belanda II, tentara Belanda di tempatkan pada banyak pos-pos yang terpencar-pencar. Sabotase-sabotase TNI yang memutuskan saluran telepon, merusak jaringan rel kereta api yang sering digunakan untuk mengangkut perbekalan pasukan Belanda cukup efektif membuat banyak posisi-posisi mereka goyah. Kekuatan persenjataan yang canggih seakan tidak berarti manakala penyerangan TNI dan berbagai barisan rakyat dan lascar dilakukan secara mendadak di malam-malam hari. Setelah melakukan beberapa tembakan dengan presesi tinggi pada penjaga, sehingga menimbulkan korban dipihak Belanda, pasukan TNI cepat berbalik ke hutan-hutan dan kampong-kampung sekitar Yogyakarta.

Berbagai aksi dan sabotase pada fasilitas-fasilitas vital Belanda ini dilakukan sebagai awalan dan pemanasan bagi seluruh anggota TNI dan barisan rakyat Secara umum ini terus menerus dengan area yang menyebar sebagai awalan serangan sesungguhnya pada 1 maret 1949. Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki, tetapi usaha ini menjadi sia-sia manakala setelah perbakan instalasi komunikasi yang digunakan Belanda dengan mudah diputus lagi oleh para Pemuda baik TNI maupun masyarakat Yogyakarta yang mendukung perjuangan TNI.

Perang gerilya yang dilakukan SWK-SWK dari Wehrkreise III hamper tidak berhenti. Berbagai penghadangan dan sergapan terhadap pos maupun konvoi Belanda hamper tiap hari terjadi. Pada tanggal 21 Januari 1949, gerilya WK III dalampenghadangan patrol Belanda antara Yogyakarta – Bantul berhasil menghancurkan 2 truk Belanda, dan tanggal 10 Februari 1959 terjadi penghadangan yang serupa.

Selain itu satuan TNI juga melancarkan serangan atas kedudukan Belanda di bantul yang membawa korban cukup besar bagi Belanda; beberapa orang anggota tentara Belanda tewas. Kecuali oleh satuan TNI di daerah selatan SWK 102. Penghadangan dan serangan terhadap kedudukan Belanda juga dilakukan oleh anggota kepolisian khususnya dari satuan Brigade Mobil pimpinan IP II, J. Soeparno di daerah Bantul Timur. Gerakan dari satuan ini pun menimbulkan kerugian dan kesulitan bagi pihak Belanda.

Demikian juga dengan Taruna Militer Akademi (MA) Yogya di bawah Komanda Gubernur MA Sendiri, Kolonel Djatikoesumo yang memimpin 1 kompi minus, yang terdiri dari 3 pleton, satu pleton di antaranya merupakan pleton gabungan yang terdiri dari Taruna MA, Tentara Pelajar, dan Tentara Genie Pelajar. Kompi MA tergabung dalam SWK 104 di bawah pimpinan Mayor Kasno, yang juga instruktur MA.
Kegiatan yang dilakukan oleh Kompi MA selama perlawanan gerilya antara lain penghadangan terhadap Belanda, serta penyerangan terhadap pos Belanda sepanjang jalur jalan Yogya – Solo dan Yogya – Kaliurang. Selain itu, Kompi MA juga breperang dalam serangan umum keua tanggal 9 Januari 1949. Dalam serangan umum tersebut

Kegiatan yang dilakukan oleh KOmpi MA selama perlawanan gerilya, antara lain penghadangan terhadap Belanda dan penghadangan dan penyerangan di jalur jalan Yogyakarta – Solo, Yogyakarta – Kaliurang. Selain itu Kompi MA juga berperan dalam serangan umum kedua tanggal 9 Januari 1949. Dalam serangan umum tersebut seorang taruna yang berpangkat Vandrig Kadet Lily Rochly gugur sewaktu menyerang Markas Militer Belanda di Gondokusuman (Sekarang Musium TNI-AD).

Kegiatan para anggota gerilya SWK-SWK dari Wehrkreise III hamper tidak berhenti sebelum penyerangan umum 1 Maret 1549. Berbagai serangan di lancarkan di objek-objek vital dan pos-pos Belanda yang terutama sepanjang Yogya – Solo. Di daerah sekitar Kalasan Prambanan antara lain seranagn terhadap Bogem, Pasukan Taruna dibantu oleh Ki Raharjo dari SWK 105 dengan mengerahkan 2 seksi senapan mesin berat dan 1 seksi senapan. Serangan ini menyebabkan tentara Belanda melancarkan pembalasan terhadap satuan MA.

Serangan tentara Belanda terhadap satuan MA, dilancarkan di sekitar daerah Kringinan – Plataran, wilayah Cangkringan – Kalasan. Pada kegiatan pembersihan yang dilakukan oleh Satuan Pelopor (Baret Hijau/Merah) Belanda di darah yang dipergunakan sebagai basis gerilya MA, maka di desa Pelataran pada tanggal 14 Februari 1949, terjadi pertempuran yang sengit antara Belanda dengan para taruna yang sedang beristirahat, setelah selesai menyerang pos Belanda di Bogem.

Serangan yang dilakukan oleh satuan Belanda secara mendadak tersebut mendapat perlawanan yang gigih dari para kadet MA, sehingga mengakibatkan gugurnya 2 perwira remaja lulusan MA, 5 orang taruna, dan seorang anggota Tentara Pelajar serta 2 taruna luka-luka.

Serangan terhadap kedudukan tentara Belanda di darah Yogyakarta, selain direncanakan terlebih dahulu dan dilakukan secara mendadak, kadang-kadang pula dilakukan di luar perencanaan, atau secara tiba-tiba. Kegiatan serangan semacam ini banyak terjadi di dalam Kota Yogyakarta. Terutama yang dilakukan oleh anggota TP yang membuat kantong-kantong gerilya didalam kota.

Pada sekitar bulan Januari 1949 pasukan TP berhasil menculik Kapten Belanda di jalan Lempuyung, juga meledakkan tank Belanda di daerah Ngasem dan Mangkubumen. Selain itu aksi TP juga menyerang pos Belanda di desa Besi dan Kledokan sebelah selatan Pakem, serta serangan-serangan pendadakan lainya di dalam kota.

Bulan Januari 1949 Belanda telah melakukan serangan berulang-ulang ke Yogyakarta Barat, tetapi serangan Belanda ini tidak berarti dan tidak menimbulkan korban di pihak kita, tetapi sayangnya Belanda melakukan pembakaran perkampungan rakyat.

Pada Februari 1949 pasukan Belanda bertemu dengan pasukan Yon 151 Brigade 10 yang atas perintah Dan Wehrkreise III, mulai 1 Februari 1949 dipindahkan dari sector Yogya Utara ke Sektor Yogya Barat di Gedean yan glebih rawan serangan Belanda. Pertempuran ini mengakibatkan beberapa korban. Pada serangan Belanda di daerah SWK 103 A pada bulan Februari 1949 di desa Pare gugur inspektur Polisi Toet Harsono dan Lettu Bos Kandou, Staf Operasi dari SWK 103 A.

Pada tanggal 28 Februari terjadi insiden karena kesalahan tanggal oleh pleton Komaroedin bergerak ke utara, menyusup dan menyerbu pos pertahanan Belanda di sekitar Kantor Pos Besar di sebelah utara Alun-Alun Yogya, kemudian bertahan di sekolah Kaputran. Serangan pendadakan yang dilakukan Komaroudin sangat mengejutkan dan berhasil mendesak pasukan Belanda yang kemudian bertahan di pos sambil mengirim berita untuk meminta bantuan. Tidak lama kemudian dating satuan tank yang melakukan penembakan membabi buta. Tembakan salvo pasukan Komaroudin memaksa satuan Belanda mundur sejenak. Kemudian dating lagi satuan panser lain yang memperkuat barisan Belanda. Barisan kendaraan berlapis baja ini menembaki sekolah Kaputran, tempat gerilyawan melancarkan serangan.

Terpaksa pasukan Komaroudin menyebar , berlindung dan bertahan. Letnan Soegijono yang berkedudukan dekat dengan Letnan Komaroudin. Letnan Gedeon dan Sersan Soejoed berhasil menghubungi Letnan Komaroudin dan menjelaskan kesalahan tanggal penyerangan ini. Dijelaskan bawah hari ini baru tanggal 28 Februari 1949, sedangakn serangan umum akan dilakukan esok pada tanggal 1 Maret. Akhirnya Letnan Komaroudin langsung menarik pasukannya ke luar kota sebelum Belanda bertindak lebih jauh yang bisa mengacaukan rencana besar penyerangan 1 Maret 1949. Letnan Komaroudin kembali menempatkan pasukannya ke posisi awal .

Hari itu juga Belanda langsung menyisir daerah tempat berlarinya pasukan Letnan Koumaroudin di perkampungan sekitar Alun-Alun Selatan dan daerah Tamansari. Seorang gerilyawan berhasil menembakkan senjatanya di posisi terembunyi dan langsung menghajar dada perwira yang memimpin penyisiran tersebut. Akhirnya Belanda menghentikan penggeledahan rumah penduduk dan pasukannya mengurusi mayat perwira tersebut dan kembali ke markasnya.

Insiden dengan pasukan Komaroudin ini Belanda mengalami kerugian tewasnya seorang perwira dan hancurnya 3 buah kendaraan lapis baja dari salvo pasukan Komaroudin., sedangkan pasukan Komaroudin kehilangan Sersan Mayor Moehamad, Sersan Soebani dan Prajurit Moenit yang gugur saat berlindung di alun-alun utara karena tidak sempat mengundurkan diri.

Pada tanggal 28 Februari ini selain insiden Komaroudin terjadi juga insiden di Giwangan, yaitu saat sore jam 18.00 salah satu satuan yang bertugas di Giwangan melakukan sabotase yang seharusnya dilakukan pada jam 04.00 pagi tanggal 1 Maret. Satuan ini memutuskan jaringan telepon yang menghubungi Yogya dan Kotagede, tetapi sayangnya aksi mereka ini diketahui oleh Belanda yang langsung mengerahkan brencarier. Kontak senjata terjadi yang mengakibatkan satuan ini kacau balau. Tembakan gencar SMB 12,7 Belanda membuat pasukan ini terpaksa mundur. Dalam insiden ini seorang perwira Belanda mati, 2 orang TNI kita gugur yaitu Prajurit Soekro dan Soedarsono.

Pada tanggal 1 Maret 1949 pukul 06.00 bersamaan dengan bunyi sirene tanda jam malam berakhir, satuan gerilya serentak ke luar dari kedudukannya. Dengan tekad yang mantap dan semangat tinggi masing-masing satuan gerilya di bawah kendala komandanya, bergerak menyerbu sasaran yang telah ditetapkan.

Kota Yogyakarta pertama kalinya di serbu pasukan gerilyawan secara besar-besaran dan serentak pada banyak posisi yang terpencar. Secara umum terbagi 4 area serangan yaitu dari arah selatan oleh pasukan SWK 102 di pimpin oleh Mayor Sarjono, dari arah Barat oleh pasukan SWK 103 A di pimpin Mayor H.N. Soemoeal, dari arah utara pasukan SWK 104 di pimpin oleh Mayor Soekasno, dan dadri arah timur yang dilakukan oleh Pasukan SWK 105 yang dipimpin oleh Mayor Soedjono.

Singakat cerita (cerita serangan ini cukup panjang, mungkin akan dijelaskan dalam artikel sejarah secara tersendiri) serangan ini berhasil mengusir Belanda keluar dari Yogjakarta dan TNI sempat menguasai Yogyakarta selama lebih dari 6 jam, tetapi yang penting dari serangan ini masyarakat internasional tahu bahwa perjuangan TNI adalah perjuangan rakyat yang didukung penuh. Hal ini juga menunjukkan bahwa Pemerintah RI masih ada dan juga berdaulat. Secara diplomasi Indonesia banyak mengambil manfaat dari serangan 1 Maret 1949 ini.

Referensi : 1. Seskoad, Serangan Umum 1 Maret 1949 Latar belakang dan Pengaruhnya.

2. DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi atau Bertempur.

3. Sumber-sumber lainnya.
Read more ...

Kegigihan Panglima Besar Jenderal Soedirman dari Medan Gerilya


Soedirman (Ejaan Soewandi: Sudirman) yang lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Sejak kecil merupakan seorang santri yang taat dan soleh. Kecintaanya kepada rakyat dan tanah air memang sudah tertanam sejak dini dengan mengikuti kepanduan Hizbul Wathan. Soedirman juga seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Panglima Besar Jenderal Soedirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda.

Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.

Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.

Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.

Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Sumber : www.tokohindonesia.com
Read more ...

Sabtu, 10 September 2011

Rapat Raksasa Di Lapangan Ikada, 19 September 1945


Para Pemuda dan Mahasiswa yang memiliki rencana tersebut, dengan semangat juang tinggi yang menggunakan nama panitia “Komite aksi”, menganggap Pemerintah harus didesak dan dimotivasi terus agar sadar bahwa Rapat Raksasa ini penting untuk diselenggarakan guna menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Inilah perwujudan nyata dari proses demokrasi dan harus dikampanyekan kepada dunia. Bukankah Republik Indonesia secara defacto sudah ada melalui fakta adanya Rakyat, Wilayah dan Pemerintah. Dalam Rapat Ikada inilah khsusnya penduduk Jakarta dan sekitarnya akan membuktikan suatu legitimasi politik bahwa “Indonesia sekarang telah Merdeka” yang didukung rakyat.

Sebelum rapat ini dilaksakan sebetulnya banyak timbul polemik antara para tokoh dalam menyikapi rencana rapat raksasa tersebut. Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 September 1945 di gedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) membahas rencana rapat ini. Kurang disetujuinya rencana rapat tersebut oleh Pemerintah, antara lain atas pertimbangan rakyat yang berkumpul cukup banyak , yang akan memancing kemarahan militer Jepang dan mungkin mengakibatkan bentrokan fisik dimana dikhawatirkan akan jatuhnya banyak korban sia-sia.

Memang fihak militer Jepang jauh hari telah mengeluarkan larangan berkumpulnya massa lebih dari lima orang. Dan bukan hal yang tidak mungkin Pihak Jepang yang sekarang telah menjadi alat sekutu, sudah menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh SEAC (South East Asia Command) yaitu untuk mempertahankan keadaan Status Quo.

Pada tanggal 18 September 1945 jam 11.00 pagi, tiba-tiba Mr Achmad Subardjo selaku menteri Luar Negeri RI mengadakan konferensi Pers untuk menyampaikan keputusan Pemerintah yang isinya sepertinya menghilangkan harapan rakyat dengan menolak rencana Rapat Raksasa Ikada. Beliau juga memerintahkan agar rencana pembatalannya diberitakan dalam Berita Indonesia (sebuah surat kabar pada saat itu). Reaksi para pemuda dan mahasiswa yang hadir dalam konferensi tersebut sudah bisa diperkirakan sejak semula. Mereka menyatakan sikap bahwa “Apapun yang akan terjadi Rapat Raksasa Ikada akan tetap diadakan pada esok pagi yaitu tgl 19 September 1945”.

Pemuda-mahasiswa protes kepada Pemerintah dan berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada Pemerintah dan meminta keputusan ditinjau kembali. Desakan para hadirin agar Pemerintah sekali lagi bersidang, ahirnya ditanggapai oleh Men.Lu Achmad Subardjo dan berjanji untuk menyampaikannya kepada Presiden Sukarno.

Setelah bubaran, para pemuda-mahasiswa tidak langsung pulang kerumah tapi berkumpul ditempat kelompoknya masing-masing, untuk membicarakan tindakan selanjutnya. Sedikit gambaran Pasca Proklamasi, setidaknya ada 3 kelompok besar pemuda-mahasiwa yang berbeda dalam latar belakang politiknya. Yang pertama kelompok Prapatan 10 (asrama mahasiswa kedokteran Ikadaigakho) yang 100 % terdiri dari mahasiswa, kelompok Menteng 31 yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan kelompok BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar Indonesia) jl Cikini no.71. Terdiri dari campuran Mahasiswa dan Pelajar. Diluar itu ada juga kelompok yang tidak kalah partisipasinya dalam persiapan ini yaitu kelompok pelajar SMT (Sekolah menengah Tinggi) Jakarta. Dan dalam jumlah kecil ada juga para pemuda yang tergabung dalam asrama Indonesia merdeka dijalan Kebon Sirih no.80 Jakarta, dan pemuda dari Barisan Pelopor Jakarta. Mereka semua merupakan motor-motor persiapan Rapat Raksasa Ikada pada saat itu.

Jangan dilupakan juga pada saat itu terdapat banyak para pemuda ex tentara PETA dan HEIHO yang sudah menceburkan dirinya dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Organisasi mereka juga punya peranan yang menentukan dalam persiapan pengamanan Rapat Raksasa Ikada. Komandan BKR Jakarta pada saat itu adalah mantan Shodanco Mufraini Mukmin yang belakangan akan menjadi Komandan Resimen Jakarta. Yang tidak kalah pentingnya Polisi ex Jepang (Polisi macan) yang sudah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Merekalah satu-satunya kekuatan bersenjata yang ada dipihak RI pada saat itu , termasuk untuk pengamanan keselamatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet.

Setelah menunggu beberapa saat rupanya Pemerintah menepati janjinya untuk mengadakan rapat kabinet kembali. Pada tgl 18 September 1945, jam 20.00 bertempat dikediaman Presiden Sukarno, jl Pegangsaan Timur 56, Men.Lu Achmad Subardjo melaporkan kepada Presiden tentang pertemuannya dengan pemuda-mahasiswa pada pagi hari dimana mereka pada dasarnya tetap bertekad untuk melaksanakan Rapat Raksasa Ikada. Meskipun Rapat sebagian anggota kabinet ini berlangsung sampai jam 4.00 pagi, tapi tidak menghasilkan apa-apa dan diputuskan akan dilanjutkan di kantor KNIP di Lapangan Banteng besok paginya tgl 19 September 1945 dalam rapat pleno dimana anggota kabinet lengkap. Kembali kepada penuturan awal diatas dimana sedang berlangsungnya Rapat Kabinet tgl 19 September 1945, nampaknya semua unsur mengalami kegelisahan yang cukup mencekam.. Disatu fihak pemuda-mahasiswa panitia penyelenggara dari Komite Aksi yang sejak pagi hari sudah menghadapi masa yang terus berbondong-bondong menuju Ikada yang diperkirakan telah mencapai lebih dari 100.000 orang.

Kepada panitia ini massa rakyat menuntut untuk menghadirkan segera para pemimpin bangsa, khususnya Presiden Sukarno. Difihak yang lain Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta dan seluruh anggota Kabinet bersama anggota KNIP masih mengulur-ngulur waktu tampa tau harus berbuat apa. Nampaknya disini dibutuhkan seseorang tokoh sentral yang berani dan tegas untuk berkata ya atau tidak sama sekali. Sementara sekitar jam 12.00, kabinet sudah mengutus Mohammad Roem (Ketua KNIP Jakarta) dan Soewirjo (Walikota Jakarta) untuk menemui fihak militer Jepang untuk membicarakan hal-hal mengenai rapat raksasa tersebut. Dalam pembicaraan ini ada kesan bahwa fihak Jepang mulai kewalahan melihat pengumpulan masa yang makin lama makin besar tampa bisa berbuat sesuatu.

Mereka meminta Roem dan Suwirjo, membubarkan kumpulan massa rakyat tersebut. Hal ini dijawab Roem dan Soewirjo bahwa yang bisa membubarkan kumpulan massa itu hanya satu orang yaitu Presiden Sukarno. Kedua utusan Kabinet ini juga sempat menyaksikan keadaan dilapangan Ikada secara langsung, termasuk persiapan pasukan Tentara Jepang yang sudah sempat memobilisir sejumlah besar pasukan infantri bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus yang didukung pasukan tank dan panser. Semua hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Sukarno.

Ahirnya menjelang pukul 16.00 Presiden Sukarno tidak mungkin berpangku tangan lagi dan dengan tegas menyatakan “ Saudara-saudara menteri dengarkan keputusan saya. Saya akan pergi kelapangan Ikada untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya. Siapa yang mau tinggal dirumah boleh, terserah kepada saudara masing-masing”.

Dengan adanya keputusan tersebut maka berahirlah sidang kabinet, dan secara resmi Pemerintah menyetujui Rapat Raksasa Ikada dilangsungkan. Dan hampir semua hadirin dalam sidang digedung KNIP ini ternyata ikut menuju Lapangan Ikada mengikuti Presiden, menurut caranya masing-masing. Presiden Sukarno sendiri telah dijemput pemuda-mahasiswa dari panitia penyelenggara Komite Aksi.

Mobil yang dipergunakan mahasiswa tidak tanggung-tanggung sebuah mobil berwarna hijau militer Jepang (kuning hijau) bekas milik salah seorang pimpinan Kempetai. Kendaraan ini dikendarai oleh mahasiswa Sujono Joedodibroto (sekarang profesor ahli mata) dan dimuka dikawal dua buah motor indian yang dikendarai Subianto Djojohadikusumo (gugur sebagai letnan satu Polsi Tentara dalam peristiwa lengkong Tanggerang awal tahun 1946) dan Daan Yahya (mantan Panglima Divisi Siliwangi tahun 1948 dan gubernur militer Jakarta Raja tahun 1950).

Rupanya rombongan tidak langsung kelapangan Ikada tapi mampir di Asrama mahasiswa kedokteran jalan Prapatan no.10 Jakarta, karena Presiden Sukarno mau mengganti pakaian dahulu yang berwarna putih yang diambil dari rumah. Sekitar jam 16.00 tepat barulah rombongan Presiden yang dikawal mahasiswa ini yang kini sudah bertambah, termasuk mahasiswa Eri Sudewo, Sujono markas, Patiasina, Kamal dan sebagainya. Sebelum masuk kelapangan Ikada (kira-kira dimuka PLN sekarang), rombongan Presiden turun dari mobil yang langsung disambut rakyat.

Bersama rombongan besar rakyat inilah Presiden dan anggota kabinet berjalan bersama menuju tempat yang sudah disediakan. Nampak beberapa tokoh mendekati Presiden, antara lain Hatta, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Mufraini Mukmin dan sebagainya. Tapi baru beberapa meter mereka berjalan tiba-tiba sudah dihadang beberapa perwira Jepang yang meminta agar Rapat dibubarkan. Salah seorang perwira Jepang ini adalah Let.Kol Myamoto yang ditugaskan pimpinan militernya untuk berunding.

Melalui penterjemah yang juga seorang mahasiswa, Presiden Sukarno kemudian menjelaskan bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya. Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah kami satoe”.

Menunggu kesempatan baik, rombongan lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno keatas podium kayu setinggi kurang lebih 3 meter dikawal ajidan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan Merdeka…Merdeka…Merdeka, yang sambung menyambung. Maka Presidenpun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tampa bersuara antara lain beliau berkata :

“Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara? “

Kerumunan rakyat menjawab serentak, “Sanguuup”.

Lalu Presiden melanjutkan, “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam nasional….. Merdeka!….” .

"Merdekaaaaa....", sahut rakyat secara lebih gemuruh lagi.

Bukan jumlah waktunya Presiden berbicara, tetapi makna dari periwtiwa ini adalah sebuah, kedaulatan rakyat Indonesia yang diserahkan kepada Dwi Tunggal dan pemerintahan RI yang masih mudah. Bahkan sangat muda karena umumnya hanya baru 1 bulan saja.

Bukti kedaulatan itupun langsung di perlihatkan rakyat Indonesia kepada Penjajah Jepang. Rakyat pulang dengan tertib dan terkendali. Kumpulan massa yang dianggap pihak Jepang akan berbuat barbar, ternyata menunjukkan sebuah budaya dari negeri yang merdeka, dengan presiden yang memiliki kewibawaan atas rakyat, dan rakyatpun secara sukarela mendukungnya.

Peristiwa Rapat Raksasa Ikada ini telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung pemerintahan yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta dan siap sedia kapan saja untuk mempertahankan kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dari peristiwa ini juga mulai terjadinya benih perjuangan yang lebih terorganisir, baik rakyat, pemerintah dan angkatan bersenjata. Untuk menjalani tahap perjuangan berikutnya yang tidak lebih ringan dan penuh dengan pengorbanan.
Read more ...