Minggu, 10 November 2013

Muhammad Husni Thamrin Tokoh Betawi Penentang Kebijakan Belanda

Mohammad Husni Thamrin seorang tokoh Betawi yang lahir di Sawah Besar, Jakarta 16 Februari 1894. Ayahnya bernama Tabri Thamrin seorang keturunan Belanda dengan ibu orang Betawi.

Sejak kecil ia dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang nama Belanda, seorang wedana di masa pemerintahn Gubernur Jenderal Van der Wijck.

Setelah menamatkan HBS, ia bekerja di kantor kepatihan, kemudian di kantor Residen, dan akhirnya di perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM).

Tahun 1919 diangkat menjadi anggota Dewan Kota Batavia. Empat puluh tahun kemudian ia mendirikan Persatuan Kaum Betawi yang bertujuan memajukan pendidikan, perdagangan, kerajinan, dan kesehatan untuk penduduk Jakarta.
Dalam Dewan Kota ia mempunyai pengaruh yang besar, karena dianggap mampu, diangkat menjadi Wakil Wali Kota, tetapi hal itu tidak mencegahnya untuk mengecam tindakan Pemerintah Belanda yang menindas rakyat.

Tahun 1927 diangkat menjadi anggota Volksraad dan kemudian membentuk Fraksi Nasional untuk memperkuat kedudukan golongan nasionalis dalam dewan. Bersama Kusumom Utoyo, mengadakan peninjauan ke Sumatera Timur untuk menyelidiki nasib buruh perkebunan yang sangat menderita akibat adanya poenale sanctie.

Tindakan pengusaha perkebunan yang sewenang-wenang terhadap buruh, dibeberkannya dalam pidatonya di Volksraad. Pidato itu berpengaruh di luar negeri. Di Amerika Serikat timbul kampanye untuk tidak membeli tembakau Deli. Akibatnya, poenale santie diperlunak dan akhirnya dihapuskan sama sekali.

Partai politik yang dimasukinya adalah Partai Indonesia Raya. Setelah dr. Sutomo meninggal dunia, ia diangkat menjadi ketua Parindra. Sementara itu perjuangan dalam Volksraad tetap dilanjutkan.

Pada tahun 1939 ia mengajukan mosi agar istilah Nederlands Indie, Nederland Indische dan Inlander diganti dengan istilah Indonesia, Indonesisch, dan Indonesier. Mosi itu ditolak oleh Pemerintah Belanda walaupun mendapat dukungan sebagian besar anggota Volksraad.

Sejak itu, rasa tidak senangnya terhadap pemerintah jajahan semakin besar. Akibatnya, pemerintah Belanda mencurigai dan mengawasi tindak-tanduknya.

Tanggal 6 Januari 1941 Muhammad Husni Thamrin dikenakan tahanan rumah dengan tuduhan bekerja sama dengan pihak Jepang. Walau dalam keadaan sakit, teman-temannya dilarang berkunjung.

Tanggal 11 Januari 1941, beliau meninggal. Kematiannya penuh dengan intrik politik yang kontroversial.  Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh diri namun ada dugaan ia dibunuh oleh petugas penjara. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Di saat pemakamannya, lebih dari 10000 pelayat mengantarnya yang kemudian berdemonstrasi menuntuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.

Namanya diabadikan sebagai salah satu jalan protokol di Jakarta dan proyek perbaikan kampung besar-besaran di Jakarta ("Proyek MHT") pada tahun 1970-an


Jalan Husni Thamrin. Photo : flickr.com
Thamrin juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepakbola Hindia Belanda (sekarang Indonesia), karena pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden pada tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepakbola khusus untuk rakyat Hindia Belanda pribumi yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia (sekarang Jakarta).

Namanya di Jakarta diabadikan sebagai nama jalan, gedung dan sebuah patung. Jalan MH. Thamrin berlokasi di Jantung baru Kota Jakarta yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno, menggeser Rijswijk dan Noordwijk (1860-an). Dari sisi timur ujung utara jalan dan melihat ke seberang di Bank Indonesia, dulu ada rumah Eropa mewah dengan pohon besar dikirinya (1870).
Read more ...

Minggu, 19 Februari 2012

Agus Salim Cendikiawan Muslim Tokoh Diplomasi Dalam Usaha Mencapai Kemerdekaan Indonesia

Photo : www.jakarta.go.id.
Cendikiawan dan pemimpin Islam yang berpengaruh. Lahir di Kota Gadang (Sumatera Barat), 8 Oktober 1884. Ia seorang poliglot yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Jepang, dan Turki.

Dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden RI Sesudah tamat HBS (Hoogere Burger Schoof) memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendiri secara otodidak.

Bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah (1906-1911), sambil memperdalam pengetahuannya tentang Islam dan seluk beluk diplomasi internasional.

Duduk sebagai anggota pimpinan Sarekat Islam; juga anggota Volksraad. Karena terdapat pertentangan faham dalam pimpinan PSII, membuat Barisan Penyadar PSII (November 1936) yang kemudian menjelma menjadi Partai Penyadar yang dipimpin oleh H. Agus Salim-Sangaji. Aktif dalam Pan Islam, karena cita-citanya ingin mempersatukan umat Islam seluruh dunia. 1931, ikut serta sebagai penasihat teknis delegasi Verbond van Vakvereenigingen (NVV) dalam Konferensi Perburuhan Intemasional di Jenewa.

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, Haji Agus Salim ikut aktif khususnya dalam bidang diplomasi. Juni 1946 - Juli 1947, menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri; (Juli 1947-Desember 1949), sebagai Menteri Luar Negeri; memimpin delegasi RI ke Inter-Asian Relation Conference di New Delhi (India, 1947), dan wakil RI di UNO.

Mengunjungi negara-negara Arab, untuk mendapatkan pengakuan dengan cara menyebarkan cita-cita revolusi Indonesia, sehingga Mesir mengakui RI (10 Juni 1947).

Agus Salim, M. Natsir dan lain-lain berkeliling dari Negara-ke Negara untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan dunia.

Saat Delegasi resmi RI yang dipimpin oleh Agus Salim yang pada waktu itu menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri mengunjungi Mesir untuk mendapatkan pengakuan dunia sejak proklamasi Kemerdekaan.

Kunjungan ini menghasilkan perjanjian persahabatan RI dan Mesir (Juni, 1947). Tanggal 10 Juni 1947, Agus Salim berhasil mendapatkan dukungan Mesir untuk menjalin kekerabatan intim dengan Indonesia.

Dukungan ini cukup heroik dan penuh perjuangan. Pemerintah Mesir mengirim langsung konsul Jenderalnya di Bombay yang bernama Mohammad Abdul Mun’im ke Ibu Kota Negara, Yogyakarta, dengan menembus blokade Belanda untuk menyampaikan dokumen resmi pengakuan Mesir kepada Negara Republik Indonesia. Syukur perjalanan Mohammad Abdul Mun’im ke Yogyakarta yang penuh resiko ini berhasil sampai tujuan. Surat Resmi dari Pemerintah Mesir sampai ke tangan Presiden Soekarno.

Tidak hanya pemerintahannya saja, Rakyat Mesir pun bersimpati dengan perjuangan RI. Simpati ini berupa sebuah resolusi dari hasil rapat umum partai-partai politik dan organisasi massa pada 30 Juli 1947 Mesir. Dalam rapat tersebut juga dihadiri oleh Presiden Tunisia, Habib Burguiba, Kepala Negara Maroko, Allal A Fassi. Isi hasil rapat umum rakyat Mesir tersebut yaitu: (1). Pemboikotan barang-barang buatan Belanda di seluruh negara-negara Arab; (2). Pemutusan hub diplomatik antara negara-negara Arab dan Belanda. (3). Penutupan pelabuhan-pelabuhan dan lapangan-lapangan terbang di wilayah Arab terhadap kapal-kapal dan pesawat-pesawat Belanda (secara konkret poin ini dilaksanakan di Terusan Suez); (3). Pembentukan tim-tim kesehatan untuk menolong korban-korban agresi Belanda. Rakyat Mesir juga mengirimkan misi Bulan Sabit Merah ke Indonesia lengkap dengan obat, alat kesehatan dan tim dokter.

Tanggal 19 Desember 1948, sewaktu Yogyakarta diserbu oleh Belanda, ia ikut ditangkap bersama dengan Presiden Soekarno dan lain-lain, dan diasingkan ke Berastagi, kemudian Prapat dan Bangka. Setelah pengakuan kedaulatan (akhir 1949), ia aktif dalam bidang pendidikan, walaupun masih juga menjalankan tugas sebagai penasihat Pemerintah RI.

Pada tahun 1953, memberikan kuliah pada Cornell University, AS, tentang agama Islam dan pergerakan nasional di Indonesia; 1954, menerima jabatan guru besar Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Yogya, tapi wafat sebelum mulai memberikan kuliah perdananya.

Agus Salim wafat di Jakarta, 4 November 1954 dimakamkan di TMP Kalibata. Untuk mengabadikan namanya, jalan dimana ia tinggal di Jakarta, diberi nama Jl. H. Agus Salim yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Selatan.

Sumber : www.jakarta.go.id

Read more ...