Seorang pahlawan nasional, bernama kecil Raden Mas Ontowiryo, lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 Nopember 1785. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III, ingin mengangkatnya sebagai raja, tetapi ia menolak karena ibunya bukan permaisuri. Sekitar tahun 1820-an campur tangan Belanda dalam persoalan Kerajaan Yogyakarta makin besar. Peraturan tata tertib yang dibuat Pemerintah Belanda sangat merendahkan raja-raja Jawa, para bangsawan diadu domba sehingga dalam istana terdapat golongan yang pro dan yang anti Belanda. Kedua golongan itu saling curiga mencurigai. Sementara itu, tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil untuk perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belanda.
Diponegoro mulai memperlihatkan perasaan tak senang dan meninggalkan keraton untuk menetap di Tegalrejo. Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Belanda menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Tanggal 20 Juni 1825 pasukan Belanda menyerang Tegalrejo, dan mulailah perang terbesar yang pernah terjadi di Jawa (1825-1830).
Diponegoro membangun pusat pertahanan baru di Selarong dan perang dilancarkan secara gerilya, gerakan pasukan berpindah-pindah, sehingga sulit dihancurkan. Tahun-tahun pertama pasukannya unggul, Belanda menghadapi banyak kesulitan, lalu mengganti siasat. Di tempat-tempat yang sudah dikuasai didirikan benteng-benteng, sehingga gerakan pasukan Diponegoro dapat dibatasi. Selain itu, beberapa orang tokoh perlawanan dibujuk sehingga mereka menghentikan perang.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Sejak tahun 1829 perlawanan semakin berkurang, tapi belum padam. Belanda berjanji akan memberi hadiah sebesar 50.000 gulden kepada siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro. Kekuatan perlawanan tambah lemah, tapi ia tidak mau menyerah. Karena tidak berhasil menangkap, pimpinan tentara Belanda menjalankan muslihat. Pangeran Diponegoro diundang ke Magelang 28 Maret 1830 diajak berunding, namun justru ditangkap.
Pada 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC pada 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang yang dilukiskan kembali oleh Raden Saleh merupakan karya masterpiece yang pernah dibuat di Indonesia. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro.
Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
Pada tanggal 30 April 1830 keputusan pun keluar. Sebelum dibuang ke Manado, Diponegoro disekap di Penjara Bawah Tanah Stadhuis. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno dipindahkan lagi ke Manado. Tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. Tahun 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Jl. Diponegoro Makassar, Sulawesi Selatan. Juli 2008 Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai saat ini keturunan Ki Sodewo masih tetap eksis dan salah satunya menjadi wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono.
Pangeran Diponegoro memiliki 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku. Di Jakarta, untuk menghargai jasanya namanya diabadikan sebagai nama jalan di Menteng (menggantikan Oranje Boulevard) dan dibuatkan sebuah patung yang menghiasi pelataran Monas.
Sumber bahan :
1. www.jakarta.go.id
2. wikipedia.org
3. wangsawijaya.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar